Selasa, 12 Februari 2013

Beda Tapi Cinta



Itulah judul serial “Lolly Love” yang aku lihat di TransTV hari Minggu sore yang lalu. Dikisahkan sepasang sahabat bernama Lolly dan Aga yang sama-sama mempunyai hobi fotografi. Lolly mengajak Aga untuk hunting foto di kawasan yang terkenal kental akan budaya China. Aga langsung setuju dan antusias menyambut ajakan Lolly. Disana, Aga melihat seorang cewek Chinese berkulit putih, berambut panjang, dan manis sekali, sampai Aga dibuat terpesona olehnya. Beberapa hari, cewek itu menjadi objek foto Aga. Sampai akhirnya Lolly –yang ternyata kenal dengan cewek pujaan Aga itu– mengenalkan Aga pada Ling-Ling, anak dari pemilik komunitas barongsay di tempat tersebut.

Keinginan kuat Aga untuk dekat dengan Ling-Ling membuatnya mendaftar untuk ikut latihan barongsay. Pulang latihan, Aga mengajak Ling-Ling makan malam, dan mulai dari situlah kedekatan mereka menumbuhkan benih-benih cinta. Sang pelatih barongsay –seorang cowok muda yang tidak disebutkan namanya– rupanya cemburu melihat kedekatan Aga dan Ling-Ling. Saat latihan, beberapa kali ia menendang kaki Aga dengan dalih bahwa kuda-kuda yang dilakukan Aga salah dan kurang kuat. Aga tersungkur, tangan dan kakinya terluka. Ling-Ling segera menolong Aga mengobati luka-lukanya. Tidak suka melihat hal tersebut, sang pelatih menelepon orang tua Ling-Ling agar segera datang ke tempat latihan.

Aga makin terpesona oleh kebaikan hati Ling-Ling. Akhirnya ia mengutarakan perasaan cintanya. Alangkah bahagianya ia, karena ternyata Ling-Ling pun mengungkapkan rasa yang sama. Namun di tengah kebahagiaan tersebut, kedua orang tua Ling-Ling datang dan mereka sangat marah melihat anaknya bersama dengan seorang pemuda pribumi.
“Jangan dekati anak saya!” amuk Papanya Ling-Ling pada Aga.
“Tapi kenapa, Om?” tanya Aga kecewa.
“Karena kamu beda!” kemarahan Papa Ling-Ling tak terbendung dan segera mengajak Ling-Ling pulang.

Di rumahnya, kemarahan Papa Ling-Ling masih belum usai. Berulang kali ia menyampaikan ketidaksukaannya atas hubungan Ling-Ling dengan Aga yang berbeda latar belakang: RAS. Ling-Ling masih mempertahankan pendapatnya, “Perbedaan itu indah!” tegasnya.
Sang Papa begitu marah saat Ling-Ling membantah aturannya, sehingga ia menampar Ling-Ling. Hati Ling-Ling hancur, lalu ia berlari ke kamarnya.

Beberapa hari kemudian, kondisi kesehatan Ling-Ling menurun karena ia sangat sedih. Pandangan matanya kosong, dan ia tak mau makan sama sekali. Si Mama berulang kali membujuknya agar mau makan, begitu pula Lolly, ia datang menjenguk sahabatnya itu. Upaya mereka berdua tidak berhasil. Ling-Ling tetap seperti orang linglung. Pada Lolly, si Mama mengungkapkan kesedihannya atas kondisi Ling-Ling. Ia sangat stres dan terpukul, seolah-olah ikut merasakan kesedihan putrinya. Dari kejauhan, si Papa mendengar percakapan mereka berdua, lalu ia merenung. Akhirnya si Papa menelepon cowok muda pelatih barongsay itu dan memberikan sebuah perintah padanya.

Hari berikutnya, Lolly datang membujuk Ling-Ling agar mau ikut dengannya berjalan-jalan. Ling-Ling yang awalnya ogah-ogahan akhirnya mau ikut dengan Lolly. Mereka menyaksikan pertunjukan barongsay. Tiba-tiba salah satu barongsay mendekati Ling-Ling, lalu Aga muncul dari balik kostum itu. Ling-Ling sangat terkejut, sekaligus senang melihat Aga. Akhirnya Papa dan Mamanya juga muncul, lalu si Papa menyampaikan bahwa ia menyetujui hubungan Ling-Ling dengan Aga. Semua bahagia. Perbedaan itu tidak lagi menjadi masalah diantara mereka. Begitulah akhir cerita dari serial tersebut.

Tema itu dipilih oleh pihak televisi karena di hari Minggu lalu, semua warga keturunan Tionghoa merayakan Tahun Baru Cina atau Imlek. Sejak beberapa tahun lalu, waktu era pemerintahan almarhum Gus Dur, warga keturunan Tionghoa memperoleh kemerdekaan untuk berekspresi, merayakan tahun barunya, dan menampilkan seni kebudayaannya, bahkan tahun barunya ditetapkan sebagai hari libur nasional. Orang-orang keturunan Tionghoa sudah bukan warga yang dianggap ‘pendatang’ dan dikucilkan, mereka tidak perlu takut-takut atau diam-diam lagi saat melakukan ritual keagamaan atau budayanya. Semua warga negara Indonesia sama kedudukannya dan berhak memperoleh perlakuan yang sama pula.

Aku selalu suka cerita yang happy ending. Tapi lewat cerita “Lolly Love” kemarin, aku agak ganjil saat melihat mengapa begitu gampangnya keluarga Ling-Ling akhirnya menyetujui hubungan Ling-Ling dengan Aga? Padahal di dunia nyata, perbedaan itu sangat susah ditoleransi. Ya, karena aku merasakannya sendiri.
Tidak ada seorang pun yang bisa memilih keadaan seperti apa ia hendak dilahirkan. Misalnya aku minta orang tua si A karena mereka kaya, atau orang tua si B aja karena mereka orang terkenal, tentu ga mungkin seperti itu. Aku dilahirkan dari keluarga keturunan Tionghoa, bukan di negara China lho, tapi di Indonesia. Besar di Indonesia, bergaul dengan orang-orang Indonesia, aku warga negara Indonesia, dan aku sangat cinta Indonesia!
Memang sih, aku belum pernah merasakan peristiwa rasis yang sangat kentara, seperti yang dialami oleh orang-orang terdahulu. Tapi peristiwa rasis terjadi padaku persis seperti yang dialami oleh Ling-Ling dan Aga di serial televisi itu.

Tiba-tiba cinta datang kepadaku...
Saat ku mulai mencari cinta...

Aku ga menyangka kalau aku bisa suka kepadanya. Pasanganku yang sekarang bukan orang keturunan Tionghoa sepertiku. Tapi siapa yang bisa menolak datangnya cinta? Saat dia bilang suka dan memintaku jadi pacarnya, aku berpikir sangat keras, karena aku tahu perbedaan itu bukanlah hal yang mudah untuk dijembatani. Bayangan penolakan dari keluargaku pun udah jelas di pikiranku. Tapi akhirnya aku memilih jalan ini, aku ga mau membohongi perasaanku dan jadi tersiksa karenanya. Dari awal dia pun tahu, kalau hubungan kami yang berbeda ras ini akan sulit dilalui. Dia mengambil pilihan untuk mengungkapkan perasaannya padaku, walaupun “Aku tahu kemungkinannya lebih besar ditolak daripada diterima,” katanya mengenang tindakan beraninya waktu itu.

Hubungan ini bukan coba-coba. Awalnya memang sulit, kami mengalami banyak perbedaan prinsip. Tapi justru dari perbedaan itu, aku belajar banyak hal darinya. Kami saling memahami pola pikir masing-masing, juga perilaku dan kebiasaan, yang tentunya dibawa dari pengalaman masa lalu dan didikan dari keluarga. Lama-lama aku menyadari bahwa seperti kata Ling-Ling: perbedaan itu indah. Benar! Hubungan kami cocok-cocok aja, malah jadi lebih berwarna karena kami saling menyesuaikan diri untuk hidup secara lebih universal, tidak menonjolkan salah satu budaya tertentu.

Sudah diduga, hubungan pacaranku sangat ditentang oleh orang tuaku. Macam-macam alasan dikemukakan. Terutama menurut mereka, karena perbedaan ras tersebut adalah hal yang mendasar. Padahal menurutku, perbedaan mendasar itu adalah keyakinan atau agama. Kalau aku dan dia sudah seagama, apa masalahnya? Aku bukannya ga setuju dengan alasan-alasan yang mereka ungkapkan, tapi yang membuat aku ga setuju adalah kenapa perbedaan itu menimbulkan anggapan bahwa ras dan budayanya sendiri lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan ras dan budaya lain? Waktu sekolah dulu kan selalu diajari Bhinneka Tunggal Ika, tapi mengapa praktek rasis masih terjadi di tengah dunia yang terus menyerukan agar sesama manusia hidup berdampingan dengan rukun dan damai...

Tuhan memang satu, kita yang tak sama...
Haruskah aku lantas pergi meski cinta tak kan bisa pergi....
Bukankah cinta anugerah, berikan aku kesempatan....

Sudah lama aku memperjuangkan cinta kami agar mendapat restu dari keluargaku, tentunya ga cuma sehari-dua hari restu itu datang dengan mudah seperti kisah Ling-Ling dan Aga. Selama itu pula kami saling memberi dukungan dan banyak berdiskusi, langkah apa yang harus kami tempuh, apakah harus bertahan atau ga diteruskan. Mungkin banyak orang akan mundur, ketika hubungan cintanya mendapat tentangan dari orang tua. Alasannya karena ga mau menyakiti perasaan mereka, atau ga mau dicap sebagai anak durhaka yang ga berbakti dan ga tahu berterima kasih. Tapi kami belum mau menyerah untuk berjuang, walaupun harus melewati 99 rintangan dan 77 cobaan sekalipun. Cinta itu ga salah kok, yang “salah” menurut pandangan orang adalah karena stereotype yang diciptakan oleh manusia itu sendiri, yang masih membentuk sekat-sekat kaku sehingga membatasi pembauran dan percampuran antarkebudayaan.

Hei, ini Indonesia! Kita berbagi tanah, air, dan udara yang sama. Kita hidup di Indonesia, negara seribu satu pulau yang kaya budaya; bukan di negara China, negara Jawa, negara Sunda, atau negara-negara seperti itu! Perbedaan itu indah, dan buktinya sudah banyak kok pasangan berbeda ras yang menikah dan hidup bahagia. Perbedaan budaya itu bukanlah hal yang harus diubah, tidak harus dipaksakan supaya jadi cocok, tapi harus diterima dan ditoleransi keberadaannya.
Memang ga semua orang sudah berpikiran terbuka seperti ini dan masih memegang teguh tradisi keluarga yang menentang hubungan berbeda ras. Perasaan takut ga akan diterima lagi oleh keluarga, malu, ga dapat menyesuaikan diri dengan keluarga pasangan, atau bahkan bingung nantinya harus mengikuti budaya yang mana kerap dirasakan oleh pasangan tersebut. Tapi kalau aku dan pacarku sih sudah berpikiran terbuka: bukan Jawa, bukan China, tapi kami Indonesia!

Aku senang melihat cerita antara Ling-Ling dan Aga itu, berharap pula suatu saat nanti hubunganku berakhir happy ending direstui oleh keluarga. Tapi sekaligus aku sedih kenapa jalan yang harus kami tempuh ga semudah restu atas kisah kasih mereka. Huhuhu.....T_T Aku ga menyesal dengan pilihanku sekarang, tapi masa iya aku harus mogok makan dulu seperti Ling-Ling supaya bisa mendapat restu orang tua???

Walaupun cuma film, tapi tema cerita itu memotret keadaan Indonesia yang mulanya menganggap perbedaan merupakan masalah besar, kini berubah menjadi semakin terbuka dan menerima keberagaman. Berbagai kisah serupa juga diangkat ke layar lebar seperti film “? (Tanda Tanya)” yang menampilkan banyak tokoh dengan kompleksnya perbedaan di antara mereka, “CIN(T)A” dan “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta” yang menceritakan cinta sepasang pria dan wanita yang bukan hanya berbeda ras, tapi juga berbeda agama.

Banyak pihak telah membuat film dan cerita tentang perbedaan –tertama perbedaan ras dan agama– yang mulanya merupakan isu sensitif menjadi media untuk mempersatukan. Pro dan kontra selalu menyertai dibuatnya kisah-kisah itu, seperti halnya di dunia nyata. Tapi aku yakin, berpegang pada prinsip “semua orang tua pasti ingin anaknya bahagia”, setiap pribadi tentu berhak memperjuangkan kebahagiaannya sendiri dan bertanggung jawab terhadap hal itu. Jadi aku akan terus berjuang dan berdoa untuk STOP RACISM! Karena semua manusia sama derajatnya di hadapan Tuhan. Tuhan tidak mengajari umatNya untuk menciptakan golongan-golongan sendiri, tapi Tuhan mengajarkan cinta kasih dan perdamaian untuk semua manusia.

Akhir kata, mengutip salah satu dialog dalam film CIN(T)A yang sangat aku suka:
Mengapa Tuhan menciptakan kita beda-beda, padahal Dia cuma ingin disembah dengan satu cara?
Makanya Tuhan menciptakan cinta, supaya yang beda-beda bisa nyatu....