Itulah judul serial “Lolly
Love” yang aku lihat di TransTV hari Minggu sore yang lalu. Dikisahkan sepasang
sahabat bernama Lolly dan Aga yang sama-sama mempunyai hobi fotografi. Lolly
mengajak Aga untuk hunting foto di
kawasan yang terkenal kental akan budaya China. Aga langsung setuju dan
antusias menyambut ajakan Lolly. Disana, Aga melihat seorang cewek Chinese
berkulit putih, berambut panjang, dan manis sekali, sampai Aga dibuat terpesona
olehnya. Beberapa hari, cewek itu menjadi objek foto Aga. Sampai akhirnya Lolly
–yang ternyata kenal dengan cewek pujaan Aga itu– mengenalkan Aga pada Ling-Ling,
anak dari pemilik komunitas barongsay di tempat tersebut.
Keinginan kuat Aga untuk dekat
dengan Ling-Ling membuatnya mendaftar untuk ikut latihan barongsay. Pulang
latihan, Aga mengajak Ling-Ling makan malam, dan mulai dari situlah kedekatan
mereka menumbuhkan benih-benih cinta. Sang pelatih barongsay –seorang cowok
muda yang tidak disebutkan namanya– rupanya cemburu melihat kedekatan Aga dan
Ling-Ling. Saat latihan, beberapa kali ia menendang kaki Aga dengan dalih bahwa
kuda-kuda yang dilakukan Aga salah dan kurang kuat. Aga tersungkur, tangan dan
kakinya terluka. Ling-Ling segera menolong Aga mengobati luka-lukanya. Tidak
suka melihat hal tersebut, sang pelatih menelepon orang tua Ling-Ling agar
segera datang ke tempat latihan.
Aga makin terpesona oleh
kebaikan hati Ling-Ling. Akhirnya ia mengutarakan perasaan cintanya. Alangkah
bahagianya ia, karena ternyata Ling-Ling pun mengungkapkan rasa yang sama.
Namun di tengah kebahagiaan tersebut, kedua orang tua Ling-Ling datang dan
mereka sangat marah melihat anaknya bersama dengan seorang pemuda pribumi.
“Jangan dekati anak saya!” amuk
Papanya Ling-Ling pada Aga.
“Tapi kenapa, Om?” tanya Aga
kecewa.
“Karena kamu beda!” kemarahan
Papa Ling-Ling tak terbendung dan segera mengajak Ling-Ling pulang.
Di rumahnya, kemarahan Papa
Ling-Ling masih belum usai. Berulang kali ia menyampaikan ketidaksukaannya atas
hubungan Ling-Ling dengan Aga yang berbeda latar belakang: RAS. Ling-Ling
masih mempertahankan pendapatnya, “Perbedaan itu indah!” tegasnya.
Sang Papa begitu marah saat
Ling-Ling membantah aturannya, sehingga ia menampar Ling-Ling. Hati Ling-Ling
hancur, lalu ia berlari ke kamarnya.
Beberapa hari kemudian, kondisi
kesehatan Ling-Ling menurun karena ia sangat sedih. Pandangan matanya kosong,
dan ia tak mau makan sama sekali. Si Mama berulang kali membujuknya agar mau
makan, begitu pula Lolly, ia datang menjenguk sahabatnya itu. Upaya mereka
berdua tidak berhasil. Ling-Ling tetap seperti orang linglung. Pada Lolly, si
Mama mengungkapkan kesedihannya atas kondisi Ling-Ling. Ia sangat stres dan
terpukul, seolah-olah ikut merasakan kesedihan putrinya. Dari kejauhan, si Papa
mendengar percakapan mereka berdua, lalu ia merenung. Akhirnya si Papa
menelepon cowok muda pelatih barongsay itu dan memberikan sebuah perintah
padanya.
Hari berikutnya, Lolly datang
membujuk Ling-Ling agar mau ikut dengannya berjalan-jalan. Ling-Ling yang
awalnya ogah-ogahan akhirnya mau ikut dengan Lolly. Mereka menyaksikan
pertunjukan barongsay. Tiba-tiba salah satu barongsay mendekati Ling-Ling, lalu
Aga muncul dari balik kostum itu. Ling-Ling sangat terkejut, sekaligus senang
melihat Aga. Akhirnya Papa dan Mamanya juga muncul, lalu si Papa menyampaikan
bahwa ia menyetujui hubungan Ling-Ling dengan Aga. Semua bahagia. Perbedaan itu
tidak lagi menjadi masalah diantara mereka. Begitulah akhir cerita dari serial
tersebut.
Tema itu dipilih oleh pihak
televisi karena di hari Minggu lalu, semua warga keturunan Tionghoa merayakan
Tahun Baru Cina atau Imlek. Sejak beberapa tahun lalu, waktu era pemerintahan
almarhum Gus Dur, warga keturunan Tionghoa memperoleh kemerdekaan untuk
berekspresi, merayakan tahun barunya, dan menampilkan seni kebudayaannya,
bahkan tahun barunya ditetapkan sebagai hari libur nasional. Orang-orang
keturunan Tionghoa sudah bukan warga yang dianggap ‘pendatang’ dan dikucilkan,
mereka tidak perlu takut-takut atau diam-diam lagi saat melakukan ritual
keagamaan atau budayanya. Semua warga negara Indonesia sama kedudukannya dan
berhak memperoleh perlakuan yang sama pula.
Aku selalu suka cerita yang happy ending. Tapi lewat cerita “Lolly
Love” kemarin, aku agak ganjil saat melihat mengapa begitu gampangnya keluarga
Ling-Ling akhirnya menyetujui hubungan Ling-Ling dengan Aga? Padahal di dunia
nyata, perbedaan itu sangat susah ditoleransi. Ya, karena aku merasakannya
sendiri.
Tidak ada seorang pun yang bisa
memilih keadaan seperti apa ia hendak dilahirkan. Misalnya aku minta orang tua
si A karena mereka kaya, atau orang tua si B aja karena mereka orang terkenal,
tentu ga mungkin seperti itu. Aku dilahirkan dari keluarga keturunan Tionghoa,
bukan di negara China lho, tapi di Indonesia. Besar di Indonesia, bergaul dengan
orang-orang Indonesia, aku warga negara Indonesia, dan aku sangat cinta
Indonesia!
Memang sih, aku belum pernah
merasakan peristiwa rasis yang sangat kentara, seperti yang dialami oleh
orang-orang terdahulu. Tapi peristiwa rasis terjadi padaku persis seperti yang
dialami oleh Ling-Ling dan Aga di serial televisi itu.
Tiba-tiba cinta datang kepadaku...
Saat ku mulai mencari cinta...
Aku ga menyangka kalau aku bisa
suka kepadanya. Pasanganku yang sekarang bukan orang keturunan Tionghoa
sepertiku. Tapi siapa yang bisa menolak datangnya cinta? Saat dia bilang suka
dan memintaku jadi pacarnya, aku berpikir sangat keras, karena aku tahu
perbedaan itu bukanlah hal yang mudah untuk dijembatani. Bayangan penolakan
dari keluargaku pun udah jelas di pikiranku. Tapi akhirnya aku memilih jalan
ini, aku ga mau membohongi perasaanku dan jadi tersiksa karenanya. Dari awal
dia pun tahu, kalau hubungan kami yang berbeda ras ini akan sulit dilalui. Dia
mengambil pilihan untuk mengungkapkan perasaannya padaku, walaupun “Aku tahu
kemungkinannya lebih besar ditolak daripada diterima,” katanya mengenang
tindakan beraninya waktu itu.
Hubungan ini bukan coba-coba.
Awalnya memang sulit, kami mengalami banyak perbedaan prinsip. Tapi justru dari
perbedaan itu, aku belajar banyak hal darinya. Kami saling memahami pola pikir
masing-masing, juga perilaku dan kebiasaan, yang tentunya dibawa dari
pengalaman masa lalu dan didikan dari keluarga. Lama-lama aku menyadari bahwa
seperti kata Ling-Ling: perbedaan itu indah. Benar! Hubungan kami cocok-cocok aja,
malah jadi lebih berwarna karena kami saling menyesuaikan diri untuk hidup
secara lebih universal, tidak
menonjolkan salah satu budaya tertentu.
Sudah diduga, hubungan
pacaranku sangat ditentang oleh orang tuaku. Macam-macam alasan dikemukakan.
Terutama menurut mereka, karena perbedaan ras tersebut adalah hal yang
mendasar. Padahal menurutku, perbedaan mendasar itu adalah keyakinan atau
agama. Kalau aku dan dia sudah seagama, apa masalahnya? Aku bukannya ga setuju
dengan alasan-alasan yang mereka ungkapkan, tapi yang membuat aku ga setuju
adalah kenapa perbedaan itu menimbulkan anggapan bahwa ras dan budayanya
sendiri lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan ras dan budaya lain? Waktu
sekolah dulu kan selalu diajari Bhinneka Tunggal Ika, tapi mengapa praktek
rasis masih terjadi di tengah dunia yang terus menyerukan agar sesama manusia
hidup berdampingan dengan rukun dan damai...
Tuhan memang satu, kita yang tak sama...
Haruskah aku lantas pergi meski cinta tak kan bisa pergi....
Bukankah cinta anugerah, berikan aku kesempatan....
Sudah lama aku memperjuangkan
cinta kami agar mendapat restu dari keluargaku, tentunya ga cuma sehari-dua
hari restu itu datang dengan mudah seperti kisah Ling-Ling dan Aga. Selama itu
pula kami saling memberi dukungan dan banyak berdiskusi, langkah apa yang harus
kami tempuh, apakah harus bertahan atau ga diteruskan. Mungkin banyak orang
akan mundur, ketika hubungan cintanya mendapat tentangan dari orang tua.
Alasannya karena ga mau menyakiti perasaan mereka, atau ga mau dicap sebagai
anak durhaka yang ga berbakti dan ga tahu berterima kasih. Tapi kami belum mau
menyerah untuk berjuang, walaupun harus melewati 99 rintangan dan 77 cobaan
sekalipun. Cinta itu ga salah kok, yang “salah” menurut pandangan orang adalah
karena stereotype yang diciptakan
oleh manusia itu sendiri, yang masih membentuk sekat-sekat kaku sehingga
membatasi pembauran dan percampuran antarkebudayaan.
Hei, ini Indonesia! Kita
berbagi tanah, air, dan udara yang sama. Kita hidup di Indonesia, negara seribu
satu pulau yang kaya budaya; bukan di negara China, negara Jawa, negara Sunda,
atau negara-negara seperti itu! Perbedaan itu indah, dan buktinya sudah banyak
kok pasangan berbeda ras yang menikah dan hidup bahagia. Perbedaan budaya itu
bukanlah hal yang harus diubah, tidak harus dipaksakan supaya jadi cocok, tapi
harus diterima dan ditoleransi keberadaannya.
Memang ga semua orang sudah
berpikiran terbuka seperti ini dan masih memegang teguh tradisi keluarga yang
menentang hubungan berbeda ras. Perasaan takut ga akan diterima lagi oleh
keluarga, malu, ga dapat menyesuaikan diri dengan keluarga pasangan, atau
bahkan bingung nantinya harus mengikuti budaya yang mana kerap dirasakan oleh
pasangan tersebut. Tapi kalau aku dan pacarku sih sudah berpikiran terbuka:
bukan Jawa, bukan China, tapi kami Indonesia!
Aku senang melihat cerita
antara Ling-Ling dan Aga itu, berharap pula suatu saat nanti hubunganku
berakhir happy ending direstui oleh
keluarga. Tapi sekaligus aku sedih kenapa jalan yang harus kami tempuh ga
semudah restu atas kisah kasih mereka. Huhuhu.....T_T Aku ga menyesal dengan
pilihanku sekarang, tapi masa iya aku harus mogok makan dulu seperti Ling-Ling
supaya bisa mendapat restu orang tua???
Walaupun cuma film, tapi tema
cerita itu memotret keadaan Indonesia yang mulanya menganggap perbedaan
merupakan masalah besar, kini berubah menjadi semakin terbuka dan menerima
keberagaman. Berbagai kisah serupa juga diangkat ke layar lebar seperti film “?
(Tanda Tanya)” yang menampilkan banyak tokoh dengan kompleksnya perbedaan di
antara mereka, “CIN(T)A” dan “3 Hati 2 Dunia 1 Cinta” yang menceritakan cinta
sepasang pria dan wanita yang bukan hanya berbeda ras, tapi juga berbeda agama.
Banyak pihak telah membuat film
dan cerita tentang perbedaan –tertama perbedaan ras dan agama– yang mulanya
merupakan isu sensitif menjadi media untuk mempersatukan. Pro dan kontra selalu
menyertai dibuatnya kisah-kisah itu, seperti halnya di dunia nyata. Tapi aku
yakin, berpegang pada prinsip “semua orang tua pasti ingin anaknya bahagia”,
setiap pribadi tentu berhak memperjuangkan kebahagiaannya sendiri dan
bertanggung jawab terhadap hal itu. Jadi aku akan terus berjuang dan berdoa
untuk STOP RACISM! Karena semua manusia sama derajatnya di hadapan Tuhan. Tuhan
tidak mengajari umatNya untuk menciptakan golongan-golongan sendiri, tapi Tuhan
mengajarkan cinta kasih dan perdamaian untuk semua manusia.
Akhir kata, mengutip salah satu
dialog dalam film CIN(T)A yang sangat aku suka:
Mengapa Tuhan menciptakan kita
beda-beda, padahal Dia cuma ingin disembah dengan satu cara?
Makanya Tuhan menciptakan cinta,
supaya yang beda-beda bisa nyatu....