Sabtu, 15 Februari 2014

In Memoriam Papiku Tersayang



Aku tidak akan pernah lupa hari itu, Sabtu tanggal 18 Januari 2014.
Hari masih pagi, jam setengah 8. Aku sedang bersiap berangkat ke kantor, ketika HP-ku berdering, dari Mami. Apa yang dikatakan Mami membuatku jantungku berdetak kencang, terpaku. “Mami dapet telepon dari Pak Dartok, temennya Papi. Katanya Papi lagi ada di Garut, pagi ini tadi tau-tau jatuh trus meninggal. Mami udah telepon HP-nya Papi tapi ga aktif. Udah, kamu jangan terlalu percaya dulu, Mami cari-cari info ntar kamu ta’kabari lagi.” Aku diam tak tahu harus berbuat apa…

Dengan perasaan tidak karuan, aku berangkat ke kantor. Seperti biasa, setiap hari Sabtu pagi sebelum memulai aktivitas, di kantorku ada persekutuan doa (PD). Saudara-saudara seiman duduk bersekutu, menyanyi, memuji Tuhan, dan mendengarkan firman yang dibawakan oleh salah satu dari kami. Air mataku menetes, padahal selama ini aku tidak pernah sampai menangis saat PD. Tenanglah jiwaku, dalam naungan sayapMu…Menembus awan kelabu, pandang kemuliaanMu…

Aku harus tetap bekerja, entah apa yang kukerjakan, aku sudah benar-benar kalut. Sekitar jam 09.30, telepon dari Mami menyampaikan kabar itu. Papiku benar meninggal. Kabar yang sangat mengejutkan itu membuatku berpikir untuk cepat pulang. Harusnya, setiap tanggal 20, aku harus laporan kepada General Manager perihal presensi karyawan (rekap personalia). Langsung kukerjakan laporan itu, karena aku tidak mungkin kembali ke kantor pada hari Senin hanya untuk mengerjakannya. Setelah selesai, aku segera mengajukan izin kepada Manager untuk pulang lebih awal, tapi aku tidak mengatakan alasan yang sebenarnya kalau Papiku meninggal. Sejujurnya, aku masih menyangkal kabar itu, sebelum aku melihat dengan jelas bahwa Papiku memang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Manager sempat mengajukan ‘protes’, “Kemana lagi kamu, Arzy?” karena beberapa hari sebelumnya aku sudah izin tidak masuk guna mengurus perpanjangan masa berlaku SIM-ku.
“Ada urusan keluarga, Bu…” kataku.
“Kamu nanti dicari Bu Elva, lho,” lanjutnya. Bu Elva, General Managerku.
“Saya usahakan Senin sudah masuk, Bu,” kataku. Maaf Bu, aku terpaksa mengatakan itu –padahal kalau kabar itu benar, aku pasti tidak masuk– untuk membuat keadaan terkendali, karena aku tidak mau bilang kalau Papiku meninggal. Aku menyangkalnya.
Akhirnya aku memperoleh izin dari Manager. Segera aku pulang ke kost, lalu packing. Sebelumnya aku sudah memesan travel yang biasa kuandalkan untuk pulang ke Kediri.

Dalam perjalanan pulang ke Kediri, aku menangis. Untung tempat duduk di sebelahku kosong. Hal yang sangat mengusik pikiranku adalah kenapa Papiku sampai ada di Garut? Seminggu sebelumnya, Papiku pamit hendak pergi ke Bogor dan Jakarta untuk mengantar atlet-atlet tenis meja. Papiku memang salah satu pengurus PTMSI (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia) yang sangat aktif. Di Kediri, pembinaan atlet tenis meja bernama PTM Sanjaya, dibawah grup PT Gudang Garam, dan Papiku menjabat sebagai ketua bagian pembibitan dan pembinaan. Beliau pun tercatat sebagai Wakil Ketua PTM Jawa Timur. Jadi Papiku memang sering keluar kota untuk mendampingi anak didiknya mengikuti turnamen. Tidak hanya menjadi pengurus, dari muda pun Papiku aktif bermain tenis meja. Jadi, kalau pamitnya cuma akan ke Bogor dan Jakarta, kenapa bisa sampai ke Garut?

Jam 7 malam, aku tiba di rumah. Sudah ada beberapa orang kerabat berkumpul disana. Aku sudah cemas sekali, aku terus berdoa semoga berita itu hoax belaka. Mamiku beberapa kali meng-update info dari rekan Papiku yang memberi kabar itu, karena mereka berangkat dari Garut sekitar jam 11 siang. Perjalanan Garut-Kediri dengan naik ambulance memakan waktu 15 jam! Sembari menunggu, aku dan Mamiku mempersiapkan barang-barang Papiku yang akan disertakan ke dalam peti jenazahnya- kalau itu benar. Sekali lagi aku merasa tak percaya, karena masih sangat berharap Papiku pulang dalam keadaan sehat.

Minggu dini hari, hampir jam 00.30, kakakku datang dari Singapura. Begitu mendengar kabar itu, dia pun bergegas mencari tiket dan berangkat pada pukul 8 malam. Tiba di bandara Juanda, ia segera pulang ke Kediri. Sambil terus berbenah dan berjaga-jaga, aku berdoa, benar-benar berpasrah pada Tuhan… Akhirnya yang kami tunggu datang juga. Ambulance dari Garut sudah sampai di “Giki”, nama rumah duka yang ada di Kediri (kalau di Surabaya bernama “Adijasa”), pada pukul 3 pagi. Harap-harap cemas, aku, kakakku, Mamiku, dan pembantuku berangkat kesana.

Sesampainya disana, kami masuk ke ruangan dimana di dalamnya sudah ada “seseorang” yang dibaringkan dengan ditutupi kain putih. Aku berkata pada diriku sendiri: harus kuat. Ketika kain putih itu disingkapkan, ternyata benar, itu Papiku, terbujur kaku, tidak bergerak. Tumpahlah tangis kami…

Berikutnya, kami mengorek keterangan dari Pak Dartok, rekan Papiku yang mengantar itu. Dia dan Papiku memang sudah satu minggu di Bogor dan Jakarta, namun ketika Pak Dartok hendak ke Garut (rumah mertuanya), Papiku mau ikut. “Saya ikut Pak Dartok aja, mau refreshing,” begitu kata Pak Dartok menirukan ucapan Papiku waktu itu. Sabtu sekitar jam 6 pagi, Papiku bangun dan menuju meja makan, hendak minum kopi, waktu itu semua belum bangun. Tiba-tiba terdengar suara keras, ‘gubrak!’ Ketika dilihat, Papiku sudah jatuh tersungkur di bawah meja. Orang-orang di rumahnya langsung menolong dengan menekan dadanya (bantuan CPR), dan pada waktu itu masih teraba denyut nadinya. Lalu Papiku segera dilarikan ke rumah sakit, namun Tuhan berkehendak lain. Jam 06.35, Papiku telah tiada…

Papiku memang tidak menderita sakit apapun. Sebelumnya ia sangat sehat, tidak pernah mengeluh bagian dadanya nyeri, ataupun sakit berat lainnya. Tapi beliau memang perokok, dan –setahuku– tidak pernah check-up kesehatan. Serangan jantung, the silent killer itu menyebabkannya pulang ke rumah Tuhan. Tidak ada firasat, tidak ada pesan-pesan terakhir, tidak ada hal-hal aneh menandai akan perginya beliau. Sangat mendadak, memang. Kita tahu, banyak hal yang mempengaruhi terjadinya serangan jantung. Gaya hidup, stress, pola makan, bahkan olahraga berlebihan. Sering olahraga –bisa dibilang olahragawan– mungkin itu juga salah satu yang membuat Papiku merasa selalu sehat, sehingga tidak merasakan ada perubahan sekecil apapun pada kesehatannya. Ingat almarhum Adjie Massaid dan Ricky Johannes?

Kami pulang pada pukul 4 pagi, setelah memercayakan jenazah Papiku pada pihak rumah duka. Baru bisa tidur jam 04.30, tapi aku sudah bangun jam 05.30 dan segera kembali ke rumah duka guna mengurus segala persiapan persemayaman. Setelah dimandikan, jenazah dibaringkan dalam peti. Kata petugas yang memandikan jenazah Papiku, tidak ada luka di sekujur tubuhnya, namun kuku-kuku jari tangannya terlihat membiru. “Biasanya begitu kalau meninggalnya karena serangan jantung.” jelasnya.

Di beberapa bagian tubuh juga tampak lebam, namun itu merupakan efek formalin yang disuntikkan –karena perjalanan jauh selama 15 jam akan membuat jenazah rusak jika tidak diberi formalin– selebihnya tampak wajar. Kami memang tidak tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya, kami percaya pada penjelasan Pak Dartok. Kami tidak melakukan otopsi pada jenazahnya, karena pada waktu itu benar-benar tidak terlintas di benak kami bahwa mungkin saja Papiku menjadi korban kejahatan orang lain. Dari rumah sakit di Garut itu ada surat keterangan meninggal. Setelah kami tanyakan ke salah satu dokter, ia mengatakan, “Kalau rumah sakit sudah mengeluarkan surat keterangan meninggal, berarti dokter yang memeriksanya tahu bahwa meninggalnya secara wajar. Karena kalau dokter mencurigai ada yang tidak wajar pada kematian seseorang, ia pasti tidak mau mengeluarkan surat kematian, tapi meminta dilakukan visum lebih dulu. Visum itu prosesnya lebih lama, tidak bisa keluar surat keterangan dengan cepat.”

Berdasarkan keterangan dokter itu, satu hal yang membuat aku terus berdoa di samping jenazahnya, “Kalau Papi meninggalnya wajar, aku ikhlas. Tapi kalau Papi meninggalnya tidak wajar, mohon Papi beri petunjuk, kepada siapapun, entah bagaimana caranya, tentang kejadian yang sebenarnya, tentang siapa yang menjahati Papi…” Ya, aku percaya siapapun yang menjahati Papiku sampai membuatnya seperti itu –kalau memang benar demikian– akan diberikan ganjaran oleh Tuhan sendiri.

Minggu siang, sebelum peti ditutup, diadakan misa requiem (misa arwah). Itulah saat terakhir aku melihatnya. Wajah Papiku terlihat tenang, seperti orang tidur. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Giki selama 4 hari, 19-22 Januari 2014, dan rencananya dikremasi pada tanggal 23 Januari. Aku mengajukan izin satu minggu tidak masuk kantor. Managerku sampai kaget waktu kuberitahu alasannya. Iya, semua orang kaget dengan kepergiannya yang begitu mendadak. Tidak ada yang menyangka, bahkan sempat tak percaya.

Selama disemayamkan, tamu yang melayat datang silih berganti, juga berbagai karangan bunga dari banyak pihak. Sanak keluarga dan beberapa teman sukarela membantu. Beberapa kali, orang dari lingkungan gereja dan Romo datang mengadakan doa bersama. Aku paling suka saat menemani teman-teman Papiku yang datang, baik dari Gudang Garam, PTM Sanjaya, PTMSI, maupun KONI Jatim, karena mereka suka bercerita. Aku ingat betul kesan-kesan mereka tentang Papiku.

“Pak Simon sangat membanggakan putri-putrinya. Yang satu di Singapore, dulunya di Belanda, satunya psikolog. Pinter-pinter, ya…” kata salah satu ibu dari Gudang Garam.

“Pak Simon itu suka ndagel, guyon, pokoknya kalau ada dia, suasana jadi rame. Diminta jadi MC dadakan langsung sanggup, diminta dekorasi bisa juga. Fleksibel. Seni-nya kuat, link-nya banyak kemana-mana. Perhatian juga sama orang lain. Kalau pas Lebaran sama tahun baru, saya selalu di-SMS ucapan selamat,” kenang seorang Bapak dari Gudang Garam juga.

“Pak Simon itu ibarat pahlawan di tenis meja Jawa Timur. Atlet-atletnya bisa seperti ini berkat beliau. Di Jawa Timur, andalan atlet pingpong kan dari Sanjaya, anak binaannya Pak Simon itu. Di PTM juga jadi Wakil Ketua. Sekarang kami harus mencari pengganti beliau, minimal ya harus yang sama dedikasinya seperti beliau, ga tau ada atau ga…” seorang pengurus dari KONI Jatim menyampaikan testimoninya.

“Ya, begitu itu, kalau orang baik, meninggalnya pun ga menyusahkan orang lain…” ucapan seorang Bapak yang langsung membuatku sangat terharu…

“Pak Simon dan teman-teman dari Gudang Garam sering baksos ke tempat kami. Pak Simon kan koordinatornya. Saya kenal baik betul, ga pernah kelihatan capek, suka menghibur...” kata seorang ibu perwakilan dari sebuah rumah sakit di Pare. Selama bercerita, dia banyak memandang peti jenazah Papiku sambil menghela nafas panjang. 

“Papamu meninggal dengan cara yang banyak diinginkan oleh orang: ga sakit apapun, ga menderita. Kamu harus kuat, Tuhan menyayangi Papamu…” ucap seorang Bapak yang mengaku satu ruangan kerja dengan Papiku semasa masih di Gudang Garam.

“Kamu pasti putrinya Pak Simon,” kata seorang ibu yang datang berombongan dengan teman-temannya kepadaku. Dari seragam yang dikenakannya aku tahu, mereka pasti dari bagian produksi di Gudang Garam. “Iya, Bu,” jawabku. “Wuih, persis banget sama Pak Simon!” katanya yang langsung diamini oleh teman-temannya, “Iya, jan fotokopi plek!” Kemudian setelah beberapa saat berbincang denganku, “Wah, kayak ngomong sama Pak Simon, ya…” katanya. “Beneran lho, ga cuma wajah, tapi cara ngomongnya juga, kamu mirip banget sama Papamu. Jadi inget Pak Simon lagi, nih…” timpal yang lain.

Aku sangat bersyukur. Papi, banyak yang sayang sama Papi…

Sampai tibalah hari Kamis, 23 Januari 2014. Rasanya berat sekali melepasnya diberangkatkan ke krematorium. Banyak pihak mengikutinya kesana. Di krematorium itu, untuk terakhir kali sebelum peti jenazahnya dimasukkan ke tempat kremasi, diadakan doa bersama. Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh orang lingkungan gereja menambah keharuan suasana. Aku tidak tahu (dan tidak peduli) bagaimana mukaku karena terus menangis. Hujan deras dan angin kencang terjadi saat peti jenazahnya dimasukkan ke pembakaran, namun tak lama kemudian, langit kembali cerah. Di halaman, kami melepaskan seekor burung merpati, sebagai tanda bahwa ia akan terbang tinggi mengangkasa, menemui Sang Pencipta…

Kremasi memakan waktu yang cukup lama. Esok harinya, kami kembali ke krematorium untuk mengambil abu jenazahnya. Abu jenazah dimasukkan dalam sebuah kendil kemudian diselimuti dengan kain merah, sementara abu dari petinya dimasukkan dalam sebuah kotak kardus. Umumnya, setelah dikremasi, abu jenazah dilarung di pantai atau laut, tetapi sekarang di Pohsarang ada tempat yang bisa digunakan untuk ‘menitipkan’ abu jenazah, bentuknya lemari kecil seperti loker begitu. Untuk mendapatkannya, harus menghubungi Keuskupan Surabaya dan membayar sejumlah harga. Aku adalah orang yang sangat menentang abu jenazah Papiku dilarung. Masa dilarung? Rasanya seperti 'membuang' begitu. Kalau dimakamkan, masih ada tempat untuk mengenang dan mengunjunginya. Tapi kalau dilarung, kemana aku kalau mau mengunjunginya? Bisa jadi Papiku sudah terombang-ambing di lautan dan jauh dari tempat awal melarung.

Tanggal 31 Januari adalah Imlek. Kata tradisi, menjelang Imlek tidak boleh melarung abu jenazah. Maka dari itu, oleh para ‘tetua’ dicarikan ‘hari baik’ yang disesuaikan pula dengan tanggal meninggalnya. Akhirnya terpilih tanggal 3 Februari. Jadi masih ada waktu sekitar 1 minggu sebelum memutuskan apakah abunya mau dilarung atau disimpan di Pohsarang. Sementara menunggu, abu tersebut disimpan di rumah duka Giki. Banyak pihak sudah memberi penjelasan kepadaku, intinya, “Dilarung itu bukan membuang, tapi dikembalikan ke alam, dalam hal ini ke laut, sama dengan dimakamkan ke dalam tanah. Itu kan cuma raganya yang tersisa, sudah jadi abu pula, tapi jiwanya sudah tidak ada. Kalau disimpan di Pohsarang, masa mau dibiarkan ‘terkurung’ gitu? Nanti setelah dilarung, kita bisa mengunjunginya di pantai atau laut mana saja, lalu nabur bunga disitu, sebagai simbolisasi, jadi tidak harus khusus datang ke Pohsarang. Pastinya kita bisa mengenang lewat doa, kita doakan terus…”

Tak henti aku berdoa tentang itu. Banyak hal kupikirkan. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk Papiku. Apakah keinginanku untuk ‘menyimpan’nya di Pohsarang baik baginya? Atau lebih baik membiarkannya bebas di alam? Tapi suatu hari tiba-tiba aku mengalami keikhlasan yang luar biasa, rasanya ada yang berkata di pikiranku: tidak apa-apa dilarung, karena tidak akan merepotkan siapa pun. Tuhan, apakah ini tanda dariMu? Papi, apakah ini kehendakmu?
Perlahan-lahan, aku mulai mengikhlaskan abu Papiku dilarung. Baiklah, mungkin ini memang tanda dari Tuhan dan yang terbaik bagi Papiku.

Segala persiapan dilakukan untuk mengiringi acara pelarungan tersebut. Akhirnya tanggal 3 Februari jam 8 pagi, kami pergi ke Pantai Popoh, pantai yang terletak sekitar 30 kilometer sebelah selatan Kabupaten Tulungagung. Beberapa saudara, kerabat, serta orang dari lingkungan gereja turut mengantar kami kesana. Puji Tuhan, perjalanan lancar. Sesampainya disana, tak lupa kami berdoa bersama dengan dipimpin oleh seorang asisten imam. Kami mau menyerahkan Papiku kembali ke alam ciptaan Yang Kuasa. Menghadap ke lautan lepas, dengan ombak tinggi yang berdebur-debur, perasaanku seperti diaduk-aduk. Aku (akan) membiarkan Papiku berada di tempat seperti ini?

Berdoa, berdoa, dan terus berdoa. Aku terus menguatkan diriku. Ketika tiba waktunya pelarungan, mendung tebal menggelayut lalu hujan lebat disertai angin kencang tercurah dari langit. Kendil berisi abu jenazah Papiku sudah berada di laut, begitu pula satu kardus hasil pembakaran petinya. Bunga yang kami taburkan terlihat mengambang di permukaan air. Aku menatapnya lama. Tuhan, aku ikhlaskan Papiku kembali ke pelukanMu…Terimalah ia dalam kerajaanMu… 
Tepat ketika upacara pelarungan selesai, seketika hujan lebat tersebut reda. Kejadian yang sama ketika waktu dikremasi dulu!

Kini, Papiku tinggal kenangan. Terakhir kali aku kontak dengannya lewat SMS tanggal 15 Januari. Beliau berkata, “Nanti kalau pulang dari sini (Bogor dan Jakarta), Papi mampir ke Surabaya, ya…” Janji yang tak akan pernah ditepatinya. Ah, sudahlah, aku mengikhlaskan janji tersebut, daripada membuat Papiku tidak tenang karena aku terus memikirkannya…

Teringat masa kecilku, kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Di sisimu terngiang hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu
Kau ingin ku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu, jauhkan godaan
Yang mungkin kulakukan dalam waktuku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak
Tuhan tolonglah, sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan, ku mampu penuhi maumu...
Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Kurindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati…
Tuhan tolonglah, sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan, ku mampu penuhi maumu...
(Yang Terbaik Bagimu ~~ Ada Band feat Gita Gutawa)

“Tidak ada yang perlu ditabahkan dari sebuah kematian, apalagi didukakan. Mati itu mulia, karena kembali ke keabadian yang sejati”

Selamat jalan, Papiku tersayang…
Augustinus Simon Sujono (24 Mei 1955 - 18 Januari 2014)
Papi akan selalu hidup dalam hatiku,
Beristirahatlah dalam damai,
Berbahagialah dalam kerajaan Allah,
Doaku selalu menyertaimu…