Sabtu, 16 Agustus 2014

Kerja Keras Menembus Batas


Dulu, aku selalu pasang target bisa bekerja di perusahaan besar. Setidaknya perusahaan yang ternama. Jika orang bertanya, ”Kerja dimana sekarang?” lalu aku jawab, ”Di perusahaan A”, mereka ga lantas mengernyitkan dahi dan bertanya lagi, ”Perusahaan apa itu? Ada dimana?”, melainkan langsung berkomentar, ”Wah, perusahaan gede tuh! Pasti enak disana, ya? Hebat bisa masuk sana...” Hmm.. bukankah itu membanggakan? ^__^

Bisa diterima kerja di perusahaan besar itu ga gampang. Untuk mendapatkan karyawan terbaik, mereka pasti menerapkan sistem seleksi yang berlapis. Misalnya interview sebagai syarat mutlak untuk menilai kelayakan calon karyawan ga cuma diadakan satu kali. Awalnya dengan HRD, akhirnya dengan manager atau kepala bagian masing-masing. Pasti ada psikotes, mungkin juga disertai tes kesehatan, bahkan bisa jadi ada tes bahasa Inggris pula. Jelas, karena pelamar banyak sekali, mereka harus memastikan orang yang benar-benar qualified untuk menduduki posisi tersebut. The right man at the right place in the right time. Begitu pula dengan calon karyawan. Persiapan diri sendiri berupa keterampilan dan wawasan sangat perlu jika ga ingin tereliminasi di tahap awal. Anda setuju?

Begitu pun dengan aku. Sejak lama aku pengen banget kerja di Kompas Gramedia, penerbit buku yang tersohor itu. Aku pengen jadi editor, redaksi, penulis naskah, copywriter, dan segala jabatan yang mirip seperti itu. Sayang, kesempatan itu ’terpaksa’ aku lewatkan karena setiap aku melamar kesana, selalu akan ditempatkan di Jakarta. Pernah nego soal penempatan, ternyata belum ada lowongan di Surabaya. Memang, peluang untuk berkembang di bidang media (baik online maupun cetak) itu lebih besar ada di Jakarta, tapi aku ga mau kerja di Jakarta! Gimana nggak, semua pasti sudah tau soal kemacetan jalanan Jakarta, banjir, polusi, belum lagi soal kriminalitasnya, trus makanan yang suka dianeh-anehin (pengaruh nonton reportase)... Memang ga semua tempat di Jakarta seperti itu, tapi sedikit/banyak hal-hal itu mempengaruhi pertimbanganku kalau mau kerja di Jakarta. Alhasil, sampai sekarang aku tetep di Surabaya tercinta... ^_^

Apa sih enaknya kerja di perusahaan besar? Aku sih ga tau pasti. Salah satu perusahaan cukup ternama yang pernah aku jajal pengalamannya adalah di Sasana Artha Finance (sekarang bernama MPM Finance), anak perusahaannya MPM Motor, dealer sepeda motor Honda. Kantornya besar dan karyawannya banyak. Struktur manajemen jelas, peraturan perusahaan tegas, kegiatan operasional terpantau, fasilitas oke, tunjangan dan kesejahteraan karyawan (bahasa HRD: compensation and benefits for employee) diperhatikan dengan baik. Gaji? Lumayan... Pada waktu masuk sudah di atas UMK untuk ukuran karyawan baru, dan selalu ada peningkatan setiap tahun. Aku cukup nyaman kerja disana, hampir 3 tahun, hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk move on tanpa paksaan dari pihak manapun (blog sebelumnya: Farewell SAF!).

Yang namanya kerja ”ikut orang”, ga lepas dari perilaku ”menurut”. Harus menurut apa kata bos (dan melaksanakannya), menuruti peraturan (dan mendapat sanksi jika melanggar), menurut saat manajemen perusahaan menetapkan kebijakan yang kadang ga sesuai dengan diri kita (baca: karyawan) dan akhirnya.... kita ga bisa berbuat apa-apa. Walaupun sudah menyuarakan aspirasi, tapi kalau dirasa belum cukup kuat, para petinggi akan tetap pada keputusannya. Dampaknya, jangan menggerutu kalau libur hari raya cuma pas tanggal merah, lembur tak berkesudahan, gaji jalan di tempat, bonus telat keluar, izin cuti ga di-acc, dan sebagainya. Ingat ya, ini bukan salah HRD yang ga memperjuangkan karyawan, namun semata-mata karena HRD juga karyawan yang masih punya atasan. #curhat pengalaman, hehehe...

Lalu, apakah kerja di perusahaan besar itu enak? Selama masih berstatus karyawan, otomatis akan selalu ada gap (jarak) antara apa yang kita inginkan dengan kemauan perusahaan. Selanjutnya, terserah masing-masing orang apakah mau tetap ”menurut” atau ”membelot” dari ketetepan itu. Toleransi setiap orang terhadap zona nyaman-nya berbeda-beda. Aku sudah kerja selama 5 tahun, dengan jabatan dan di perusahaan yang berbeda-beda. Selama itu pula aku melihat dan menyimpulkan bahwa kerja di perusahaan besar itu belum tentu enak! Kenapa? Karena perusahaan besar itu bisa tetap berjalan walaupun ga ada aku di dalamnya... Jadi jika aku kerja di perusahaan besar, aku harus membuat diriku sedemikian berharga, penting, dan berpengaruh sehingga manajemen ga akan berani memecat aku, atau rugi jika kehilangan aku! Weiss, mantap!

Bagaimana dengan gaji yang besar? Belum tentu! Kerja di perusahaan besar belum tentu dibayar besar pula. Kenapa? Karena banyak sekali orang yang ingin bekerja disana, bahkan berlomba-lomba, sehingga mereka ga takut kehabisan stok calon karyawan. Akibatnya, jika satu calon karyawan ga sepakat dengan gaji yang mereka tawarkan, tentu akan ada orang lain yang bersedia menerimanya. Kecuali... kalau kita mempunyai banyak pengalaman, menduduki jabatan yang cukup tinggi, serta bisa memberikan kontribusi cemerlang di perusahaan, maka kita layak untuk mendapatkan gaji besar, berkali lipat dari jabatan serupa di perusahaan lain. Ini terlepas dari tunjangan dan fasilitas, ya... Bisa jadi fasilitasnya lebih baik, perusahaan besar pun bisa memberikan tunjangan transport, makan, sampai tunjangan kesehatan karyawan beserta keluarga intinya yang membuat setiap pekerjanya merasa aman. 

Bagaimana dengan jenjang karir yang (dijanjikan) akan terus naik? Belum tentu juga! Berapa banyak kita lihat orang bekerja sebagai staff selama bertahun-tahun? Atau berapa lama para Supervisor menunggu tapi belum juga berubah jabatan jadi Manager? Padahal mereka kan sudah senior dan cukup ahli di bidangnya. Kenapa? Jawabannya: karena masih ada atasannya! Selama masih ada Supervisor, bagaimana bisa staff menjadi Supervisor juga? Selama Managernya masih bisa bekerja dengan baik, kapan para Supervisor naik pangkat? Jadi menurutku, alasan seseorang bisa mendapatkan karir yang lebih tinggi adalah karena atasannya pensiun, atasannya meninggal, buka divisi baru di kantor itu, atau buka cabang baru di tempat lain sehingga karyawan senior itu bisa dipromosikan atau dimutasikan dan langsung menduduki jabatan yang lebih tinggi. Ada alasan lain lagi?

Jadi, apa lagi yang biasa ditawarkan oleh perusahaan besar, selain fasilitas, gaji, dan jenjang karir? Tentu ga mudah melalui semua tahap menjadi pribadi yang cerdas dan berpengaruh penting ke perusahaan. Bukan berarti ga bisa, namun pasti perlu waktu untuk mewujudkannya. Practice makes perfect. Ga mungkin Manager masih coba-coba atau belum terlalu menguasai bidangnya. Sementara perusahaan terus berjalan setiap hari, dibutuhkan orang-orang yang berpengalaman, cekatan, tanggap, berpikir maju, dan cepat mengambil keputusan.

Aku menulis ini berdasarkan pengalaman melamar kerja ke sebuah perusahaan otomotif. Perusahaan besar, terkenal, dan banyak orang menggunakan kendaraan dari pabrik tersebut. Sebenarnya waktu itu ga ada lowongan yang cocok dengan bidangku, tapi aku iseng memasukkan lamaran kesana. Aku dipanggil, dan aku ikuti tahap awal berupa psikotes bersama ratusan orang di sebuah ruangan besar. Beberapa hari menunggu, aku dipanggil lagi untuk interview.
Pada waktu interview, aku ditanya, ”Melamar kerja posisi apa?”
”HRD Supervisor, Bu,” jawabku. Langsung kusebutkan Supervisor karena aku sudah pengalaman sebagai staff.
”Oh, kalau Supervisor HRD sudah ada. Staff HRD masih bisa, tapi bagian admin training, ya?”
“Hmm, kalau selain bagian admin ada, Bu?” Aku ga suka kerjaan administrasi, tapi aku ga bilang alasannya itu.
”Selain admin, maunya di bidang apa?” tanyanya lagi. Pikirku, baik betul ini Ibu masih bisa nego jabatan begitu...
”Sebenarnya kalau boleh memilih, saya lebih suka jadi HRD secara umum, jadi yang rekrutmen, interview, psikotes, gitu, walaupun bukan supervisor. Tapi kalau adanya di bagian training, kalau bisa saya jadi Trainer-nya, bukan admin-nya,” jawabku.
”HRD Staff-nya sudah cukup, justru yang lagi dibutuhkan bagian admin. Kalau Trainer, kamu sudah ada pengalaman sebagai Trainer?”
”Belum banyak, Bu, tapi pernah,” jawabku singkat, padahal aku jadi Trainer waktu kuliah, bukan waktu kerja, hehehe...
Singkat cerita, si Ibu Manager HRD itu berkata akan mempertimbangkan aku. Tapi sebelum interview berakhir, dia bertanya, ”Berapa gaji yang diharapkan?” Wajar, setiap interviewer pasti menanyakan itu kepada calon karyawan.
Aku menyebutkan angka yang merupakan gajiku terakhir, dengan harapan ga kurang dari gaji tersebut. Waktu itu sekitar 1,5 x UMK Surabaya tahun 2011. ”Tapi sesuai kebijakan perusahaan saja,” tambahku agar bisa dinegosiasi.
Si Ibu Manager menanggapi, ”Wah, tinggi juga. Kalau disini, staff ga bisa segitu. Standarnya UMK. Segitu standarnya Supervisor, yaa lebih dikit lah...”
Jujur aku sempat kaget. Supervisor disana, perusahaan besar dan terkenal itu, gajinya sama dengan gajiku sekarang yang seorang staff???
Oh, I see...
Memang, standar gaji di masing-masing perusahaan berbeda-beda. Aku juga ga menyalahkan perusahaan besar yang –ternyata– menggaji karyawannya sesuai UMK saja, sementara banyak orang di luar sana –termasuk aku– mengira bahwa bekerja di sana pasti mendapatkan gaji besar. Jenjang karir juga begitu. Awalnya aku pikir karir pasti meningkat setelah beberapa tahun bekerja, namun tampaknya ga semudah itu. Selain prestasi, perlu kerja keras dan peluang untuk mewujudkan setiap impian menjadi kenyataan.

Jadi, ini bukan soal kerja di perusahaan apa, terkenal atau tidak. Bukan berarti aku meng-underestimate semua perusahaan besar. Aku sharing hal ini setelah mendapat ’pencerahan’ dari tempatku bekerja sekarang. Seperti apa kerjaanku sekarang? Nantikan detilnya ceritanya di blog selanjutnya... ^_^

Secara umum, pada waktu awal kerja di perusahaan ini, aku diberi motivasi bahwa kita harus menjadikan diri kita berani keluar dari zona nyaman. Berpikir ’out of the box’, berani mencoba hal baru, dan pantang menyerah saat menemui kesulitan. Setelah menempa diri dengan optimisme dan kegigihan, selanjutnya adalah menjadikan kita layak untuk dibayar mahal! Caranya antara lain dengan selalu menambah wawasan, keterampilan, dan belajar kepemimpinan. Lewat orang-orang hebat di kantorku sekarang, pola pikirku berubah. Jangan mengharapkan penghasilan tinggi jika apa yang dikerjakan belum maksimal, mau gampangnya aja, pasrah, dan ga berusaha untuk meningkatkan kualitas diri sendiri. Bagaimana mungkin jadi seorang pemimpin jika ga mau bekerja keras dan banyak mengeluh saat menghadapi situasi sulit?

Intinya adalah pada diri sendiri. Jika ingin berbahagia, fokuslah pada yang membahagiakan, bukan pada masalah. Bibit kekuatan itu terletak pada keputusan.
Dimanapun tempat kita bekerja (ga perlu selalu perusahaan besar), apapun jabatan yang kita emban, setiap hari adalah tantangan dan kesempatan. Dengan optimisme, senyuman, kerja keras, disertai doa, mari kita mantapkan tekad dan ciptakan sukses yang lebih luar biasa!

There will be obstacles,

There will be doubters,

There will be mistakes,

But with hard work,

There are no limits.

Work hard, and be proud of what you achieve!