Dulu, aku selalu pasang target bisa bekerja di perusahaan besar. Setidaknya perusahaan yang ternama. Jika orang bertanya, ”Kerja dimana sekarang?” lalu aku jawab, ”Di perusahaan A”, mereka ga lantas mengernyitkan dahi dan bertanya lagi, ”Perusahaan apa itu? Ada dimana?”, melainkan langsung berkomentar, ”Wah, perusahaan gede tuh! Pasti enak disana, ya? Hebat bisa masuk sana...” Hmm.. bukankah itu membanggakan? ^__^
Bisa diterima kerja di perusahaan besar itu ga
gampang. Untuk mendapatkan karyawan terbaik, mereka pasti menerapkan sistem
seleksi yang berlapis. Misalnya interview sebagai syarat mutlak untuk menilai
kelayakan calon karyawan ga cuma diadakan satu kali. Awalnya dengan HRD,
akhirnya dengan manager atau kepala bagian masing-masing. Pasti ada psikotes,
mungkin juga disertai tes kesehatan, bahkan bisa jadi ada tes bahasa Inggris
pula. Jelas,
karena pelamar banyak sekali, mereka harus memastikan orang yang benar-benar qualified untuk menduduki posisi
tersebut. The right man at the right place in the right time. Begitu pula dengan calon karyawan. Persiapan diri
sendiri berupa keterampilan dan wawasan sangat perlu jika ga ingin tereliminasi
di tahap awal. Anda setuju?
Begitu
pun dengan aku. Sejak lama aku pengen banget kerja di Kompas Gramedia, penerbit
buku yang tersohor itu. Aku pengen jadi editor, redaksi, penulis naskah, copywriter, dan segala jabatan yang
mirip seperti itu. Sayang, kesempatan itu ’terpaksa’ aku lewatkan karena setiap aku melamar
kesana, selalu akan ditempatkan di Jakarta. Pernah nego soal penempatan,
ternyata belum ada lowongan di Surabaya. Memang, peluang untuk berkembang di
bidang media (baik online maupun cetak) itu lebih besar ada di Jakarta, tapi
aku ga mau kerja di Jakarta! Gimana nggak, semua pasti sudah tau soal kemacetan
jalanan Jakarta, banjir, polusi, belum lagi soal kriminalitasnya, trus makanan
yang suka dianeh-anehin (pengaruh nonton reportase)... Memang ga semua tempat
di Jakarta seperti itu, tapi sedikit/banyak hal-hal itu mempengaruhi
pertimbanganku kalau mau kerja di Jakarta.
Alhasil, sampai sekarang aku tetep di Surabaya tercinta... ^_^
Apa sih enaknya kerja di perusahaan besar? Aku sih
ga tau pasti. Salah satu perusahaan cukup ternama yang pernah aku jajal pengalamannya
adalah di Sasana Artha Finance (sekarang bernama MPM Finance), anak
perusahaannya MPM Motor, dealer sepeda motor Honda. Kantornya besar dan
karyawannya banyak. Struktur manajemen jelas, peraturan perusahaan tegas, kegiatan
operasional terpantau, fasilitas oke, tunjangan dan kesejahteraan karyawan
(bahasa HRD: compensation and benefits
for employee) diperhatikan dengan baik. Gaji? Lumayan... Pada waktu masuk
sudah di atas UMK untuk ukuran karyawan baru, dan selalu ada peningkatan setiap
tahun. Aku cukup nyaman kerja disana, hampir 3 tahun, hingga pada akhirnya aku
memutuskan untuk move on tanpa
paksaan dari pihak manapun (blog sebelumnya: Farewell SAF!).
Yang namanya kerja ”ikut orang”, ga lepas dari
perilaku ”menurut”. Harus menurut apa kata bos (dan melaksanakannya), menuruti
peraturan (dan mendapat sanksi jika melanggar), menurut saat manajemen
perusahaan menetapkan kebijakan yang kadang ga sesuai dengan diri kita (baca:
karyawan) dan akhirnya.... kita ga bisa berbuat apa-apa. Walaupun sudah menyuarakan
aspirasi, tapi kalau dirasa belum cukup kuat, para petinggi akan tetap pada
keputusannya. Dampaknya, jangan
menggerutu kalau libur hari raya cuma pas tanggal merah, lembur tak
berkesudahan, gaji jalan di tempat, bonus telat keluar, izin cuti ga di-acc,
dan sebagainya. Ingat ya, ini bukan salah HRD yang ga memperjuangkan karyawan,
namun semata-mata karena HRD juga karyawan yang masih punya atasan. #curhat
pengalaman, hehehe...
Lalu, apakah kerja di perusahaan besar itu enak?
Selama masih berstatus karyawan, otomatis akan selalu ada gap (jarak) antara apa yang kita inginkan dengan kemauan
perusahaan. Selanjutnya, terserah masing-masing orang apakah mau tetap
”menurut” atau ”membelot” dari ketetepan itu. Toleransi setiap orang terhadap
zona nyaman-nya berbeda-beda. Aku sudah kerja selama 5 tahun, dengan jabatan
dan di perusahaan yang berbeda-beda. Selama itu pula aku melihat dan
menyimpulkan bahwa kerja di perusahaan besar itu belum tentu enak! Kenapa?
Karena perusahaan besar itu bisa tetap berjalan walaupun ga ada aku di dalamnya...
Jadi jika aku kerja di perusahaan besar, aku harus membuat diriku sedemikian
berharga, penting, dan berpengaruh sehingga manajemen ga akan berani memecat
aku, atau rugi jika kehilangan aku! Weiss, mantap!
Bagaimana dengan gaji yang besar? Belum tentu!
Kerja di perusahaan besar belum tentu dibayar besar pula. Kenapa? Karena banyak
sekali orang yang ingin bekerja disana, bahkan berlomba-lomba, sehingga mereka
ga takut kehabisan stok calon karyawan. Akibatnya, jika satu calon karyawan ga
sepakat dengan gaji yang mereka tawarkan, tentu akan ada orang lain yang
bersedia menerimanya. Kecuali... kalau kita mempunyai banyak pengalaman,
menduduki jabatan yang cukup tinggi, serta bisa memberikan kontribusi cemerlang
di perusahaan, maka kita layak untuk mendapatkan gaji besar, berkali lipat dari
jabatan serupa di perusahaan lain. Ini terlepas dari tunjangan dan fasilitas,
ya... Bisa jadi fasilitasnya lebih baik, perusahaan besar pun bisa memberikan
tunjangan transport, makan, sampai tunjangan kesehatan karyawan beserta
keluarga intinya yang membuat setiap pekerjanya merasa aman.
Bagaimana dengan jenjang karir yang (dijanjikan)
akan terus naik? Belum tentu juga! Berapa banyak kita lihat orang bekerja
sebagai staff selama bertahun-tahun? Atau berapa lama para Supervisor menunggu
tapi belum juga berubah jabatan jadi Manager? Padahal mereka kan sudah senior
dan cukup ahli di bidangnya. Kenapa? Jawabannya: karena masih ada atasannya!
Selama masih ada Supervisor, bagaimana bisa staff menjadi Supervisor juga?
Selama Managernya masih bisa bekerja dengan baik, kapan para Supervisor naik
pangkat? Jadi menurutku, alasan seseorang bisa mendapatkan karir yang lebih
tinggi adalah karena atasannya pensiun, atasannya meninggal, buka divisi baru
di kantor itu, atau buka cabang baru di tempat lain sehingga karyawan senior
itu bisa dipromosikan atau dimutasikan dan langsung menduduki jabatan yang
lebih tinggi. Ada alasan lain lagi?
Jadi, apa lagi yang biasa ditawarkan oleh
perusahaan besar, selain fasilitas, gaji, dan jenjang karir? Tentu ga mudah
melalui semua tahap menjadi pribadi yang cerdas dan berpengaruh penting ke
perusahaan. Bukan berarti ga bisa, namun pasti perlu waktu untuk mewujudkannya. Practice makes perfect.
Ga mungkin Manager masih coba-coba atau belum terlalu menguasai bidangnya. Sementara
perusahaan terus berjalan setiap hari, dibutuhkan orang-orang yang
berpengalaman, cekatan, tanggap, berpikir maju, dan cepat mengambil keputusan.
Aku menulis ini berdasarkan pengalaman melamar
kerja ke sebuah perusahaan otomotif. Perusahaan besar, terkenal, dan banyak orang
menggunakan kendaraan dari pabrik tersebut. Sebenarnya waktu itu ga ada
lowongan yang cocok dengan bidangku, tapi aku iseng memasukkan lamaran kesana. Aku
dipanggil, dan aku ikuti tahap awal berupa psikotes bersama ratusan orang di sebuah
ruangan besar. Beberapa hari menunggu, aku dipanggil lagi untuk interview.
Pada waktu interview, aku ditanya, ”Melamar kerja
posisi apa?”
”HRD Supervisor, Bu,” jawabku. Langsung kusebutkan
Supervisor karena aku sudah pengalaman sebagai staff.
”Oh, kalau Supervisor HRD sudah ada. Staff HRD masih bisa, tapi bagian admin training, ya?”
“Hmm,
kalau selain bagian admin ada, Bu?” Aku ga suka kerjaan administrasi, tapi aku ga bilang
alasannya itu.
”Selain admin, maunya di bidang apa?” tanyanya
lagi. Pikirku, baik betul ini Ibu masih bisa nego jabatan begitu...
”Sebenarnya kalau boleh memilih, saya lebih suka jadi
HRD secara umum, jadi yang rekrutmen, interview, psikotes, gitu, walaupun bukan
supervisor. Tapi kalau adanya di bagian training, kalau bisa saya jadi
Trainer-nya, bukan admin-nya,” jawabku.
”HRD Staff-nya sudah cukup, justru yang lagi
dibutuhkan bagian admin. Kalau Trainer, kamu sudah ada pengalaman sebagai
Trainer?”
”Belum banyak, Bu, tapi pernah,” jawabku singkat,
padahal aku jadi Trainer waktu kuliah, bukan waktu kerja, hehehe...
Singkat cerita, si Ibu Manager HRD itu berkata akan
mempertimbangkan aku. Tapi sebelum interview berakhir, dia bertanya, ”Berapa
gaji yang diharapkan?” Wajar, setiap interviewer pasti menanyakan itu kepada
calon karyawan.
Aku menyebutkan angka yang merupakan gajiku
terakhir, dengan harapan ga kurang dari gaji tersebut. Waktu itu sekitar 1,5
x UMK Surabaya tahun 2011. ”Tapi sesuai kebijakan perusahaan saja,” tambahku
agar bisa dinegosiasi.
Si Ibu Manager menanggapi, ”Wah, tinggi juga. Kalau
disini, staff ga bisa segitu. Standarnya UMK. Segitu standarnya Supervisor, yaa
lebih dikit lah...”
Jujur aku sempat kaget. Supervisor disana,
perusahaan besar dan terkenal itu, gajinya sama dengan gajiku sekarang yang
seorang staff???
Oh, I see...
Memang, standar gaji di masing-masing perusahaan
berbeda-beda. Aku juga ga menyalahkan perusahaan besar yang –ternyata– menggaji
karyawannya sesuai UMK saja, sementara banyak orang di luar sana –termasuk aku–
mengira bahwa bekerja di sana pasti mendapatkan gaji besar. Jenjang karir juga
begitu. Awalnya aku pikir karir pasti meningkat setelah beberapa tahun bekerja,
namun tampaknya ga semudah itu. Selain prestasi, perlu kerja keras dan peluang untuk
mewujudkan setiap impian menjadi kenyataan.
Jadi, ini bukan soal kerja di perusahaan apa,
terkenal atau tidak. Bukan berarti aku meng-underestimate
semua perusahaan besar. Aku sharing
hal ini setelah mendapat ’pencerahan’ dari tempatku bekerja sekarang. Seperti
apa kerjaanku sekarang? Nantikan detilnya ceritanya di blog selanjutnya... ^_^
Secara umum, pada waktu awal kerja di perusahaan
ini, aku diberi motivasi bahwa kita harus menjadikan diri kita berani keluar
dari zona nyaman. Berpikir ’out of the box’, berani mencoba hal baru, dan pantang menyerah saat
menemui kesulitan. Setelah menempa diri dengan optimisme dan kegigihan,
selanjutnya adalah menjadikan kita layak untuk dibayar mahal! Caranya antara
lain dengan selalu menambah wawasan, keterampilan, dan belajar kepemimpinan. Lewat orang-orang hebat
di kantorku sekarang, pola pikirku berubah. Jangan mengharapkan penghasilan
tinggi jika apa yang dikerjakan belum maksimal, mau gampangnya aja, pasrah, dan
ga berusaha untuk meningkatkan kualitas diri sendiri. Bagaimana mungkin jadi seorang
pemimpin jika ga mau bekerja keras dan banyak mengeluh saat menghadapi situasi
sulit?
Intinya adalah pada diri sendiri. Jika ingin
berbahagia, fokuslah pada yang membahagiakan, bukan pada masalah. Bibit kekuatan itu terletak
pada keputusan.
Dimanapun tempat kita bekerja (ga perlu selalu perusahaan besar), apapun jabatan yang
kita emban, setiap hari adalah tantangan dan kesempatan. Dengan optimisme,
senyuman, kerja keras, disertai doa, mari kita mantapkan tekad dan ciptakan
sukses yang lebih luar biasa!
There
will be obstacles,
There
will be doubters,
There
will be mistakes,
But
with hard work,
There
are no limits.
Work
hard, and be proud of what you achieve!