Seorang teman bertanya, “Mbak Arzy, notes-nya di Facebook ada 15, ya?”
“Iya, kenapa?” jawabku.
“Aku baca. Bagus-bagus, lho...” katanya.
Aku tersenyum, “Kamu baca notes-ku juga to?”
“Iya. Hobi nulis ta, Mbak? Kok ga jadi editor aja? Tulisannya bagus, rapi, enak dibaca gitu...”
Dengan
antusias aku menjawab, “Lho, aku dulu emang editor, sebelum kerja di
sini. Aku di penerbit Masmedia. Jadi editor dan penulis buku anak-anak.
Tapi udah lama ga nulis lagi...”
Percakapan sederhana di
pagi hari itu menggugahku. Hampir satu tahun aku meninggalkan dunia
tulis-menulis, sejak kerja di SAF sekarang. Kalau sebagai penulis dulu,
aku biasa berpikir bebas, kreatif, serius tapi santai, dan dekat dengan
keceriaan anak-anak. Tapi sekarang aku harus bekerja dengan sangat
formal, serius beneran, patuh pada perintah atasan, semua harus sesuai
dengan caranya dan prosedur yang ada. Tak boleh meleset. Dunia yang
sangat berbeda, menurutku.
Sehari, dua hari, sebulan, berbulan-bulan kemudian... Hati kecilku mulai berontak: ini bukan aku, ini bukan duniaku!
Apa boleh buat, ini adalah pilihanku sendiri. Lalu aku siasati dengan
coba menulis, di sela-sela aktivitas di kantor. Niat sudah ada, tapi
ketika hendak dimulai... Hei, kemana perginya ide-ide kreatifku yang
dulu??? Pikiranku terasa mandeg... Tidak ada ide untuk ditulis.
Tiga tahun lalu...
Aku ga menyangka bisa bekerja ke Masmedia Buana Pustaka sebagai editor. Sebagai fresh graduate
sarjana psikologi, mengapa aku bisa bekerja di dunia penerbitan?
Sebenarnya kan ga nyambung. Tapi apa salahnya? Menurutku ini sebuah
kesempatan yang baik, jadi harus dijajaki. Pekerjaan ini aku jadikan
sebagai sebuah pengalaman dan batu loncatan untuk menggapai pekerjaan
lain suatu saat nanti.
Membaca dan terus membaca, itulah
kerjaanku setiap hari. Sebagai seorang editor, diperlukan ketelitian
dan pengetahuan bahasa yang baik. Aku memang bukan seorang ahli bahasa,
namun aku dikaruniai Tuhan daya ingat yang baik sehingga masih ingat
pelajaran Bahasa Indonesia semasa sekolah dulu. Lagian kan ada KBBI,
buku wajib para editor. Hehehe... Begitu banyak naskah yang masuk dan
minta untuk diterbitkan. Tapi seorang editor harus jeli menilai suatu
naskah, termasuk “membaca” respon pasar atas tema naskah itu.
Karena
setiap hari dihadapkan dengan setumpuk, bahkan bertumpuk-tumpuk naskah
“mentah” yang harus dibaca, dinilai, dan diedit, akhirnya aku bosan
juga. Lalu aku berpikir, apa hebatnya seorang editor, selain namanya
ditulis pada halaman identitas sebuah buku? Itu pun belum tentu
diperhatikan oleh pembaca. Tapi untungnya aku melihat sebuah peluang.
Kebetulan di sana sedang merintis usaha buku anak-anak. Lalu aku
mengajukan diri untuk mutasi, dari divisi buku umum ke divisi buku
anak-anak. Gayung bersambut. Aku dipindah ke divisi ke buku anak-anak.
Di divisi ini, aku merasa lebih bebas berekspresi, karena tak lagi
dibatasi oleh bahasa dan EYD yang sedemikian kaku dan baku, tetapi
harus menyesuaikan diri dengan bahasa anak-anak yang lebih luwes dan
ceria. Di sinilah aku mulai menemukan duniaku. Pengetahuan psikologi
khususnya tentang anak dan remaja menjadikanku lebih mudah menilai dan
memutuskan suatu naskah, apakah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan
anak-anak.
Merasa nyaman bekerja di dunia yang
berhubungan dengan buku dan anak-anak, aku pun mulai diserahi tanggung
jawab yang lebih besar, yaitu selain editor juga menjadi penulis!
Awalnya aku bingung, bagaimana cara menyusun suatu naskah sebelum
diterbitkan menjadi buku. Tapi untungnya di kantor ada banyak buku
anak-anak yang dapat dijadikan referensi. Jadi aku mencobanya, dan
berhasil! Buku karanganku yang pertama berjudul “Belajar Angka dan
Warna”, sebuah buku aktivitas yang memberikan penjelasan pada anak
tentang angka dan warna, disertai latihan menulis dan mewarnai. Aku
sangat bangga akan hasilnya, apalagi saat melihat namaku ditulis di
cover depan buku itu. =)
Seiring dengan berhasilnya buku
karanganku yang pertama, aku terus menulis. Awalnya susah mencari ide,
tapi lama kelamaan ide datang begitu saja dan dari mana saja. Itulah
kerjaanku setiap hari. Mencari ide, browsing internet untuk
mencari data, menulis, lalu terbitlah buku-buku karanganku dengan
berbagai tema, baik aktivitas, sains, pengetahuan populer, sampai
dongeng. Aku bersyukur karena lewat pekerjaan ini, Tuhan membuka
potensiku yang sebelumnya tidak aku sadari dan kenali, bahwa aku bisa
menulis, bahwa tulisanku layak diterbitkan. Wow, keren ya jadi
penulis?! Hehehe…
Hampir 2 tahun bekerja di Masmedia, aku
merasa ada yang kurang. Aku telah menghasilkan banyak buku dan aku
mengharapkan adanya penilaian atau feedback dari perusahaan,
tapi hal itu tak kunjung aku dapatkan. Alhasil selama itu aku merasa
kerja seperti tak berarah, bagaimana kinerjaku selama ini. Juga banyak
hal lain yang membuatku berpikir sangat keras, sebelum memutuskan
mengambil sebuah langkah besar. Keluar dari zona nyaman yang telah
mendukung dan membesarkan semangatku selama ini sangatlah tidak mudah.
Tapi aku kan masih muda, sehat, dan single, jadi aku harus berani
mengepakkan sayap dan terbang menyongsong kehidupan baru di luar sana
yang lebih menantang. Goodbye Masmedia, you’ll be in my heart!
Lalu
di sinilah aku sekarang: Sasana Artha Finance, sebuah perusahaan
perkreditan sepeda motor. Lewat berbagai tes, aku berhasil menggenggam
jabatan HRD, pekerjaan yang aku impikan dari dulu. Nah, disinilah
seorang sarjana psikologi seharusnya berada! ~teorinya.... ^^p
HRD itu pekerjaan apa, sih? Secara teori aku tahu, tugasnya seleksi, rekruitmen, training and development, compensation and benefit
karyawan, penilaian, dsb. Jungkir balik dari kerjaan seorang editor,
kini aku ga bisa lagi suka-suka pakai celana jeans dan sepatu Crocs ke
kantor. Harus yang formal! Wah, aku tambah cantik dong! Hahaha...
Aku
banyak sekali belajar tentang tugas-tugas HRD “di sini”. Agak rumit
kalau dijelaskan, karena SAF adalah perusahaan besar yang mempunyai 32
cabang di Indonesia. Intinya kerjaanku setiap hari mengelola data-data karyawan,
merekap absen, cuti, lembur, claim obat, mutasi; lalu mengelola jadwal
kalau ada interview, mengikutsertakan calon karyawan ke psikotes dan
tes kesehatan, mendaftarkan karyawan yang belum punya Jamsostek dan
asuransi; dan banyak tugas-tugas lainnya.
Kalau ditanya,
enakan mana dengan kerjaan yang sebelumnya? Aku ga bisa menjawab dengan
pasti, karena bidangnya berbeda. Di sini kadang-kadang sibuk,
kadang-kadang malah ga ada kerjaan sama sekali. Setiap hari kerjaannya
ga bisa ditebak. Jenuh sudah pasti ada dalam setiap pekerjaan. Makanya,
kadang-kadang aku kerasan, kadang-kadang ga... Seperti yang sudah aku
kemukakan di awal, di sini aku merasa pikiran dan tindakanku sangat
dikontrol oleh peraturan. Yah, mungkin karena terpengaruh “sanguinis”
yang melekat pada diriku, jadi aku merasa “tidak bebas”. Tapi kerjanya
lebih dinamis, karena berhubungan dengan banyak orang.
Lalu
aku mengevaluasi diriku sendiri. Dulu waktu masih bekerja di Masmedia,
aku begitu memimpikan dapat bekerja sebagai HRD. Kini setelah pekerjaan
itu tercapai, ternyata tidak seindah yang aku bayangkan... Kamu itu sebetulnya mau kerja apa sih?! Masa kamu masih seperti remaja yang mencari jati diri dan belum bisa menemukan apa yang mau kamu gapai??
Tapi
aku bersyukur telah mengalami dua dunia pekerjaan yang berbeda, dengan
segala ragam isi dan warna-warninya. Saat ini yang dapat aku lakukan
hanyalah bekerja dengan segenap hati seperti untuk Tuhan, bukan untuk
manusia. Semua itu demi menggali dan memaksimalkan potensi yang telah
Tuhan berikan buatku...