Senin, 30 Januari 2012

Aku: Editor atau HRD?

Seorang teman bertanya, “Mbak Arzy, notes-nya di Facebook ada 15, ya?”
“Iya, kenapa?” jawabku.
“Aku baca. Bagus-bagus, lho...” katanya.
Aku tersenyum, “Kamu baca notes-ku juga to?”
“Iya. Hobi nulis ta, Mbak? Kok ga jadi editor aja? Tulisannya bagus, rapi, enak dibaca gitu...”
Dengan antusias aku menjawab, “Lho, aku dulu emang editor, sebelum kerja di sini. Aku di penerbit Masmedia. Jadi editor dan penulis buku anak-anak. Tapi udah lama ga nulis lagi...”

Percakapan sederhana di pagi hari itu menggugahku. Hampir satu tahun aku meninggalkan dunia tulis-menulis, sejak kerja di SAF sekarang. Kalau sebagai penulis dulu, aku biasa berpikir bebas, kreatif, serius tapi santai, dan dekat dengan keceriaan anak-anak. Tapi sekarang aku harus bekerja dengan sangat formal, serius beneran, patuh pada perintah atasan, semua harus sesuai dengan caranya dan prosedur yang ada. Tak boleh meleset. Dunia yang sangat berbeda, menurutku.

Sehari, dua hari, sebulan, berbulan-bulan kemudian... Hati kecilku mulai berontak: ini bukan aku, ini bukan duniaku! Apa boleh buat, ini adalah pilihanku sendiri. Lalu aku siasati dengan coba menulis, di sela-sela aktivitas di kantor. Niat sudah ada, tapi ketika hendak dimulai... Hei, kemana perginya ide-ide kreatifku yang dulu??? Pikiranku terasa mandeg... Tidak ada ide untuk ditulis.

Tiga tahun lalu...
Aku ga menyangka bisa bekerja ke Masmedia Buana Pustaka sebagai editor. Sebagai fresh graduate sarjana psikologi, mengapa aku bisa bekerja di dunia penerbitan? Sebenarnya kan ga nyambung. Tapi apa salahnya? Menurutku ini sebuah kesempatan yang baik, jadi harus dijajaki. Pekerjaan ini aku jadikan sebagai sebuah pengalaman dan batu loncatan untuk menggapai pekerjaan lain suatu saat nanti.

Membaca dan terus membaca, itulah kerjaanku setiap hari. Sebagai seorang editor, diperlukan ketelitian dan pengetahuan bahasa yang baik. Aku memang bukan seorang ahli bahasa, namun aku dikaruniai Tuhan daya ingat yang baik sehingga masih ingat pelajaran Bahasa Indonesia semasa sekolah dulu. Lagian kan ada KBBI, buku wajib para editor. Hehehe... Begitu banyak naskah yang masuk dan minta untuk diterbitkan. Tapi seorang editor harus jeli menilai suatu naskah, termasuk “membaca” respon pasar atas tema naskah itu.

Karena setiap hari dihadapkan dengan setumpuk, bahkan bertumpuk-tumpuk naskah “mentah” yang harus dibaca, dinilai, dan diedit, akhirnya aku bosan juga. Lalu aku berpikir, apa hebatnya seorang editor, selain namanya ditulis pada halaman identitas sebuah buku? Itu pun belum tentu diperhatikan oleh pembaca. Tapi untungnya aku melihat sebuah peluang. Kebetulan di sana sedang merintis usaha buku anak-anak. Lalu aku mengajukan diri untuk mutasi, dari divisi buku umum ke divisi buku anak-anak. Gayung bersambut. Aku dipindah ke divisi ke buku anak-anak. Di divisi ini, aku merasa lebih bebas berekspresi, karena tak lagi dibatasi oleh bahasa dan EYD yang sedemikian kaku dan baku, tetapi harus menyesuaikan diri dengan bahasa anak-anak yang lebih luwes dan ceria. Di sinilah aku mulai menemukan duniaku. Pengetahuan psikologi khususnya tentang anak dan remaja menjadikanku lebih mudah menilai dan memutuskan suatu naskah, apakah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan anak-anak.

Merasa nyaman bekerja di dunia yang berhubungan dengan buku dan anak-anak, aku pun mulai diserahi tanggung jawab yang lebih besar, yaitu selain editor juga menjadi penulis! Awalnya aku bingung, bagaimana cara menyusun suatu naskah sebelum diterbitkan menjadi buku. Tapi untungnya di kantor ada banyak buku anak-anak yang dapat dijadikan referensi. Jadi aku mencobanya, dan berhasil! Buku karanganku yang pertama berjudul “Belajar Angka dan Warna”, sebuah buku aktivitas yang memberikan penjelasan pada anak tentang angka dan warna, disertai latihan menulis dan mewarnai. Aku sangat bangga akan hasilnya, apalagi saat melihat namaku ditulis di cover depan buku itu. =)

Seiring dengan berhasilnya buku karanganku yang pertama, aku terus menulis. Awalnya susah mencari ide, tapi lama kelamaan ide datang begitu saja dan dari mana saja. Itulah kerjaanku setiap hari. Mencari ide, browsing internet untuk mencari data, menulis, lalu terbitlah buku-buku karanganku dengan berbagai tema, baik aktivitas, sains, pengetahuan populer, sampai dongeng. Aku bersyukur karena lewat pekerjaan ini, Tuhan membuka potensiku yang sebelumnya tidak aku sadari dan kenali, bahwa aku bisa menulis, bahwa tulisanku layak diterbitkan. Wow, keren ya jadi penulis?! Hehehe…

Hampir 2 tahun bekerja di Masmedia, aku merasa ada yang kurang. Aku telah menghasilkan banyak buku dan aku mengharapkan adanya penilaian atau feedback dari perusahaan, tapi hal itu tak kunjung aku dapatkan. Alhasil selama itu aku merasa kerja seperti tak berarah, bagaimana kinerjaku selama ini. Juga banyak hal lain yang membuatku berpikir sangat keras, sebelum memutuskan mengambil sebuah langkah besar. Keluar dari zona nyaman yang telah mendukung dan membesarkan semangatku selama ini sangatlah tidak mudah. Tapi aku kan masih muda, sehat, dan single, jadi aku harus berani mengepakkan sayap dan terbang menyongsong kehidupan baru di luar sana yang lebih menantang. Goodbye Masmedia, you’ll be in my heart!

Lalu di sinilah aku sekarang: Sasana Artha Finance, sebuah perusahaan perkreditan sepeda motor. Lewat berbagai tes, aku berhasil menggenggam jabatan HRD, pekerjaan yang aku impikan dari dulu. Nah, disinilah seorang sarjana psikologi seharusnya berada! ~teorinya.... ^^p

HRD itu pekerjaan apa, sih? Secara teori aku tahu, tugasnya seleksi, rekruitmen, training and development, compensation and benefit karyawan, penilaian, dsb. Jungkir balik dari kerjaan seorang editor, kini aku ga bisa lagi suka-suka pakai celana jeans dan sepatu Crocs ke kantor. Harus yang formal! Wah, aku tambah cantik dong! Hahaha...

Aku banyak sekali belajar tentang tugas-tugas HRD “di sini”. Agak rumit kalau dijelaskan, karena SAF adalah perusahaan besar yang mempunyai 32 cabang di Indonesia. Intinya kerjaanku setiap hari mengelola data-data karyawan, merekap absen, cuti, lembur, claim obat, mutasi; lalu mengelola jadwal kalau ada interview, mengikutsertakan calon karyawan ke psikotes dan tes kesehatan, mendaftarkan karyawan yang belum punya Jamsostek dan asuransi; dan banyak tugas-tugas lainnya.

Kalau ditanya, enakan mana dengan kerjaan yang sebelumnya? Aku ga bisa menjawab dengan pasti, karena bidangnya berbeda. Di sini kadang-kadang sibuk, kadang-kadang malah ga ada kerjaan sama sekali. Setiap hari kerjaannya ga bisa ditebak. Jenuh sudah pasti ada dalam setiap pekerjaan. Makanya, kadang-kadang aku kerasan, kadang-kadang ga... Seperti yang sudah aku kemukakan di awal, di sini aku merasa pikiran dan tindakanku sangat dikontrol oleh peraturan. Yah, mungkin karena terpengaruh “sanguinis” yang melekat pada diriku, jadi aku merasa “tidak bebas”. Tapi kerjanya lebih dinamis, karena berhubungan dengan banyak orang.

Lalu aku mengevaluasi diriku sendiri. Dulu waktu masih bekerja di Masmedia, aku begitu memimpikan dapat bekerja sebagai HRD. Kini setelah pekerjaan itu tercapai, ternyata tidak seindah yang aku bayangkan... Kamu itu sebetulnya mau kerja apa sih?! Masa kamu masih seperti remaja yang mencari jati diri dan belum bisa menemukan apa yang mau kamu gapai??

Tapi aku bersyukur telah mengalami dua dunia pekerjaan yang berbeda, dengan segala ragam isi dan warna-warninya. Saat ini yang dapat aku lakukan hanyalah bekerja dengan segenap hati seperti untuk Tuhan, bukan untuk manusia. Semua itu demi menggali dan memaksimalkan potensi yang telah Tuhan berikan buatku...

1 komentar: