Jumat, 30 November 2012

Ngidam Tahu Tek


Pertengahan tahun 2004, aku mulai tinggal di Surabaya. Menjalani kehidupan anak kuliah sekaligus anak kost. Ngekost sudah biasa, sejak SMA di Malang. Yang bikin excited adalah aku akan kuliah! Di dalam benak sudah terbayang akan belajar hal yang menyenangkan, bebas mengatur jadwal sendiri, banyak teman, aktif organisasi, dan ga pakai seragam lagi! Hehe... Menarik dan sangat menantang.

Hidup di kota baru harus menyesuaikan diri dengan banyak hal. Dari suhu sejuk di kota Malang, mau ga mau aku harus bersahabat dengan panasnya suhu udara kota Surabaya yang sangat ekstrem, belum lagi kalau hujan banjir, dan segala hiruk pikuk ibukota provinsi Jawa Timur ini. Sebagai pendatang, aku belajar tentang rute jalanan dan jurusan-jurusan angkot (biar gampang kalau mau kemana-mana), menyambangi mall-mall’nya, pindah dari satu gereja ke gereja lain untuk sekadar merasakan atmosfer misa yang berbeda (gereja Katolik tentunya), dan yang paling seru adalah mencicipi makanan-makanan khas kota ini.

Pasti sudah pernah tau kan, rujak cingur, lontong balap, lontong kupang, lontong mie,  dan tahu tek adalah beberapa makanan khas Kota Pahlawan. Semuanya sudah pernah aku coba, dan yang paling aku suka dari semuanya itu adalah tahu tek.
Tahu tek terdiri atas tahu goreng setengah matang dan lontong yang dipotong kecil-kecil dengan alat gunting dan garpu untuk memegangnya, kentang goreng, sedikit taoge, dan irisan ketimun dipotong kecil-panjang (seperti acar), lalu setelah disiram dengan bumbu di atasnya, ditaburkan kerupuk yang bentuknya kecil dengan diameter sekitar 3 cm. Dalam beberapa variasi, penjual tahu tek juga menyediakan tahu telur yang dibuat dengan menggoreng tahunya bersama adonan telur.
Bumbu tahu tek terbuat dari petis, air matang secukupnya, kacang tanah, cabai, dan bawang putih. Bumbu diulek, yaitu ditumbuk sambil diaduk dengan ulekan dalam cobek cekung yang terbuat dari batu (bentuknya seperti mangkuk besar), sampai bumbu ini harus sangat kental. Petis yang digunakan dianjurkan petis dari Sidoarjo, karena terasa lebih enak dan asli sesuai dari daerah asalnya (Surabaya berbatasan langsung dengan Sidoarjo).

Penampakan Tahu Tek :)

Dinamakan tahu tek karena gunting yang digunakan untuk memotong bahan masakan (tahu, lontong, kentang, dan telur) dibunyikan terus menerus, walaupun bahan makanan telah habis dipotong, sehingga seperti berbunyi tek..tek..tek.. Versi lain menyebutkan bahwa penjualnya berkeliling menjajakan dagangannya sambil memukul penggorengan, sehingga berbunyi tek..tek..tek.. begitu asal mula namanya.

Di Surabaya banyak banget warung yang menyediakan menu ini, tapi tahu tek yang terkenal ada di Jalan Dinoyo, Tahu Tek Pak Ali namanya. Warungnya sederhana, bisa dibilang berukuran kecil jika dibandingkan dengan ketenaran namanya sampai ke kalangan pejabat dan artis ibukota. Dinding warungnya dihiasi foto-foto Pak Ali bersama dengan orang-orang terkenal, juga kliping-kliping dari surat kabar yang menampilkan ulasan tentang tahu tek buatannya. Ada juga Tahu Tek Pak Jayen, di daerah Dharmahusada, yang ga kalah enaknya.

Biasanya, anak kost sering direpotkan dengan urusan makan. Makan pagi dan siang bisa di kampus, dan kebetulan kalau malam tiba, penjual tahu tek bergerobak dorong  itu sering lewat di depan kostku. Ketika males keluar untuk beli makan malam, tahu tek bisa diandalkan untuk mengisi perut. Asal ga terus-terusan makan tahu tek, soalnya kandungan petis yang cukup pekat selalu meninggalkan “jejak” ga enak di lidah dan tenggorokan setelah memakannya. Tapi sekali-kali makan, ga pa-pa lah! Dan kalau menurutku sih, lebih enak tahu tek buatan bapak yang keliling ini daripada tahu tek Pak Ali. Hehe.. Peace (selera orang kan beda-beda to...) ^_^

Setelah lulus kuliah, aku meninggalkan kostku di kawasan jalan Gubeng Kertajaya itu. Aku mendapat pekerjaan pertamaku di kawasan Waru (Sidoarjo), otomatis aku kembali ngekost, kali ini di Jalan Kutisari, masih di Surabaya. Jarak antara kostku dengan kantor sekitar 7 kilometer, tapi hal itu ga masalah karena aku sudah bisa naik sepeda motor sendiri. Sampai sekarang ketika aku sudah pindah kerja, aku masih setia menghuni kost Kutisari ini.

Beda dengan kostku sewaktu kuliah dimana aksesnya dekat dengan sumber-sumber makanan, kostku sekarang ini letaknya di perumahan. Kebiasaan males keluar untuk beli makan malam tetap ada karena jarak warung terdekat 1 kilometer, tepatnya di depan pintu gerbang perumahan. Kalau jalan kaki, lama-lama capek juga. Mau naik motor, eh, kok terasa deket banget, jadi merasa bersalah karena menyumbang banyak emisi karbon ke bumi, hehehe...
Ah, ternyata penjual keliling dimana-mana ada. Sekitar jam 7 sampai 8 malam, lewat deh bapak-bapak yang mendorong gerobak, ada yang jualan nasi goreng, tahu campur, dan tentu tahu tek! Asyiknya, yang lewat bukan cuma satu orang aja, tapi bisa 2 sampai 3 orang menjual makanan yang sama. Jadi bisa milih mau masakan buatan bapak yang mana.

Aku sudah punya langganan penjual tahu tek keliling, seorang bapak agak gendut yang mendorong gerobak warna kuning. Orangnya lucu dan ramah, suka menggoda juga.
“Pakai lombok berapa?”
“Satu aja.”
“Ga sepuluh ta? Ntar kurang...”
Hah, kalau telurnya sepuluh baru mau aku.
“Pakai kerupuk ga?”
“Iya dong!”
“Ntar batuk?”
Ah, Bapak ini ada-ada aja...
“Pokoke kayak biasa, Pak.” Karena sudah sering beli, Bapak itu hafal dengan kesukaanku.

Tahu tek buatan Bapak ini agak beda dengan tahu tek yang biasa aku makan waktu masih kuliah. Bumbunya bukan berwarna hitam khas petis, tapi cenderung kecoklatan, dan rasanya pun lebih dominan kacang dibandingkan petisnya. Ga ada kecambah maupun potongan ketimun yang ditaburkan di atasnya. Tapi soal rasa tetep enak! Yum!

Beberapa bulan lalu, aku merasakan suasana yang beda waktu malam. Aku ga mendengar suara “tek..tek..tek..” yang khas itu. Kemana ya si Bapak Gendut? Gitu aku menyebutnya, soalnya aku ga tau namanya, hehe.... Berhari-hari ga lewat, akhirnya aku lupa sendiri. Kadang-kadang ingat lagi kalau pas kepengen makan tahu tek, tapi kalau ditungguin selalu ga lewat. Begitu terus, sampai aku penasaran lalu sengaja nungguin di depan kost (mungkin aja aku ga dengar suaranya karena lagi di dalam kamar), eeh...ga kunjung lewat. Pindah kemana ya dia? Atau jangan-jangan sudah meninggal? Ih, pikiranku ga boleh negatif. Sejak saat itu aku ga pernah makan tahu tek lagi.

Dua minggu lalu, secara ajaib aku dengar suara yang sangat kurindukan (hihihi....:p) Wah, si Bapak Gendut kembali!  Langsung aku cegat dia, kebetulan pas belum makan malam. Sambil membuatkan pesananku, kami ngobrol.
“Pak, sampeyan kemana ae? Kok ga pernah lewat?”
“Lho, lewat, Mbak. Malah ta’pikir Mbak’e sing wes pindah. Kok ga pernah beli lagi.”
“Ah, mosok? Wes ta’tungguin tapi ga lewat-lewat gitu.”
“Hehehe.. Iya, Mbak. Pulang kampung ke Pasuruan,” katanya tetep dengan gaya cengengesan, lucu.
Ternyata si Bapak Gendut sudah ga jualan 4 bulan, karena pulang ke kota asalnya di Pasuruan. Di sana bukan jualan tahu tek juga, tapi macul di sawah, bersama istri dan anak-anaknya juga. Jadi petani lah, gitu ceritanya. “Baru seminggu ini jualan lagi,” katanya.
Setelah itu, kami ngobrol banyak dan si Bapak ga sungkan menceritakan tentang kegiatannya di kampung, termasuk keputusannya kenapa kembali jualan tahu tek keliling di Surabaya daripada meneruskan jadi petani di kampung halamannya. Hmm, ternyata aku merasa sangat dihargai oleh si Bapak Gendut. Kalau kita mau membuka diri untuk orang lain, mereka pun akan membuka diri pula.
Wah, senangnya... Ngidam tahu tek-nya keturutan, bisa dapat cerita dari teman baru pula! Hehe...