Pertengahan tahun 2004, aku
mulai tinggal di Surabaya. Menjalani kehidupan anak kuliah sekaligus anak kost.
Ngekost sudah biasa, sejak SMA di Malang. Yang bikin excited adalah aku akan kuliah! Di dalam benak sudah terbayang akan
belajar hal yang menyenangkan, bebas mengatur jadwal sendiri, banyak teman,
aktif organisasi, dan ga pakai seragam lagi! Hehe... Menarik dan sangat
menantang.
Hidup di kota baru harus menyesuaikan
diri dengan banyak hal. Dari suhu sejuk di kota Malang, mau ga mau aku harus
bersahabat dengan panasnya suhu udara kota Surabaya yang sangat ekstrem, belum
lagi kalau hujan banjir, dan segala hiruk pikuk ibukota provinsi Jawa Timur
ini. Sebagai pendatang, aku belajar tentang rute jalanan dan jurusan-jurusan
angkot (biar gampang kalau mau kemana-mana), menyambangi mall-mall’nya, pindah
dari satu gereja ke gereja lain untuk sekadar merasakan atmosfer misa yang
berbeda (gereja Katolik tentunya), dan yang paling seru adalah mencicipi
makanan-makanan khas kota ini.
Pasti sudah pernah tau kan, rujak
cingur, lontong balap, lontong kupang, lontong mie, dan tahu tek adalah beberapa makanan khas Kota
Pahlawan. Semuanya sudah pernah aku coba, dan yang paling aku suka dari
semuanya itu adalah tahu tek.
Tahu tek terdiri atas tahu goreng setengah matang
dan lontong yang dipotong kecil-kecil dengan alat gunting dan garpu untuk
memegangnya, kentang goreng, sedikit taoge, dan irisan ketimun dipotong
kecil-panjang (seperti acar), lalu setelah disiram dengan bumbu di atasnya,
ditaburkan kerupuk yang bentuknya kecil dengan diameter sekitar 3 cm. Dalam
beberapa variasi, penjual tahu tek juga menyediakan tahu telur yang dibuat
dengan menggoreng tahunya bersama adonan telur.
Bumbu tahu tek terbuat dari petis, air matang
secukupnya, kacang tanah, cabai, dan bawang putih. Bumbu diulek, yaitu ditumbuk
sambil diaduk dengan ulekan dalam cobek cekung yang terbuat dari batu
(bentuknya seperti mangkuk besar), sampai bumbu ini harus sangat kental. Petis
yang digunakan dianjurkan petis dari Sidoarjo, karena terasa lebih enak dan
asli sesuai dari daerah asalnya (Surabaya berbatasan langsung dengan Sidoarjo).
![]() |
Penampakan Tahu Tek :) |
Dinamakan tahu tek karena gunting yang digunakan
untuk memotong bahan masakan (tahu, lontong, kentang, dan telur) dibunyikan
terus menerus, walaupun bahan makanan telah habis dipotong, sehingga seperti
berbunyi tek..tek..tek.. Versi lain menyebutkan bahwa penjualnya berkeliling
menjajakan dagangannya sambil memukul penggorengan, sehingga berbunyi
tek..tek..tek.. begitu asal mula namanya.
Di Surabaya banyak banget
warung yang menyediakan menu ini, tapi tahu tek yang terkenal ada di Jalan
Dinoyo, Tahu Tek Pak Ali namanya. Warungnya sederhana, bisa dibilang berukuran
kecil jika dibandingkan dengan ketenaran namanya sampai ke kalangan pejabat dan
artis ibukota. Dinding warungnya dihiasi foto-foto Pak Ali bersama dengan
orang-orang terkenal, juga kliping-kliping dari surat kabar yang menampilkan
ulasan tentang tahu tek buatannya. Ada juga Tahu Tek Pak Jayen, di daerah
Dharmahusada, yang ga kalah enaknya.
Biasanya, anak kost sering
direpotkan dengan urusan makan. Makan pagi dan siang bisa di kampus, dan kebetulan
kalau malam tiba, penjual tahu tek bergerobak dorong itu sering lewat di depan kostku. Ketika males
keluar untuk beli makan malam, tahu tek bisa diandalkan untuk mengisi perut. Asal
ga terus-terusan makan tahu tek, soalnya kandungan petis yang cukup pekat
selalu meninggalkan “jejak” ga enak di lidah dan tenggorokan setelah memakannya.
Tapi sekali-kali makan, ga pa-pa lah! Dan kalau menurutku sih, lebih enak tahu
tek buatan bapak yang keliling ini daripada tahu tek Pak Ali. Hehe.. Peace (selera orang kan beda-beda to...)
^_^
Setelah lulus kuliah, aku
meninggalkan kostku di kawasan jalan Gubeng Kertajaya itu. Aku mendapat
pekerjaan pertamaku di kawasan Waru (Sidoarjo), otomatis aku kembali ngekost,
kali ini di Jalan Kutisari, masih di Surabaya. Jarak antara kostku dengan kantor
sekitar 7 kilometer, tapi hal itu ga masalah karena aku sudah bisa naik sepeda
motor sendiri. Sampai sekarang ketika aku sudah pindah kerja, aku masih setia
menghuni kost Kutisari ini.
Beda dengan kostku sewaktu
kuliah dimana aksesnya dekat dengan sumber-sumber makanan, kostku sekarang ini
letaknya di perumahan. Kebiasaan males keluar untuk beli makan malam tetap ada
karena jarak warung terdekat 1 kilometer, tepatnya di depan pintu gerbang
perumahan. Kalau jalan kaki, lama-lama capek juga. Mau naik motor, eh, kok
terasa deket banget, jadi merasa bersalah karena menyumbang banyak emisi karbon
ke bumi, hehehe...
Ah, ternyata penjual keliling
dimana-mana ada. Sekitar jam 7 sampai 8 malam, lewat deh bapak-bapak yang
mendorong gerobak, ada yang jualan nasi goreng, tahu campur, dan tentu tahu
tek! Asyiknya, yang lewat bukan cuma satu orang aja, tapi bisa 2 sampai 3 orang
menjual makanan yang sama. Jadi bisa milih mau masakan buatan bapak yang mana.
Aku sudah punya langganan
penjual tahu tek keliling, seorang bapak agak gendut yang mendorong gerobak
warna kuning. Orangnya lucu dan ramah, suka menggoda juga.
“Pakai lombok berapa?”
“Satu aja.”
“Ga sepuluh ta? Ntar kurang...”
Hah, kalau telurnya sepuluh
baru mau aku.
“Pakai kerupuk ga?”
“Iya dong!”
“Ntar batuk?”
Ah, Bapak ini ada-ada aja...
“Pokoke kayak biasa, Pak.” Karena
sudah sering beli, Bapak itu hafal dengan kesukaanku.
Tahu tek buatan Bapak ini agak
beda dengan tahu tek yang biasa aku makan waktu masih kuliah. Bumbunya bukan
berwarna hitam khas petis, tapi cenderung kecoklatan, dan rasanya pun lebih
dominan kacang dibandingkan petisnya. Ga ada kecambah maupun potongan ketimun
yang ditaburkan di atasnya. Tapi soal rasa tetep enak! Yum!
Beberapa bulan lalu, aku
merasakan suasana yang beda waktu malam. Aku ga mendengar suara
“tek..tek..tek..” yang khas itu. Kemana ya si Bapak Gendut? Gitu aku
menyebutnya, soalnya aku ga tau namanya, hehe.... Berhari-hari ga lewat, akhirnya
aku lupa sendiri. Kadang-kadang ingat lagi kalau pas kepengen makan tahu tek,
tapi kalau ditungguin selalu ga lewat. Begitu terus, sampai aku penasaran lalu
sengaja nungguin di depan kost (mungkin aja aku ga dengar suaranya karena lagi
di dalam kamar), eeh...ga kunjung lewat. Pindah kemana ya dia? Atau
jangan-jangan sudah meninggal? Ih, pikiranku ga boleh negatif. Sejak saat itu
aku ga pernah makan tahu tek lagi.
Dua minggu lalu, secara ajaib
aku dengar suara yang sangat kurindukan (hihihi....:p) Wah, si Bapak Gendut
kembali! Langsung aku cegat dia,
kebetulan pas belum makan malam. Sambil membuatkan pesananku, kami ngobrol.
“Pak,
sampeyan kemana ae? Kok ga pernah lewat?”
“Lho, lewat, Mbak. Malah
ta’pikir Mbak’e sing wes pindah. Kok ga pernah beli lagi.”
“Ah, mosok? Wes ta’tungguin
tapi ga lewat-lewat gitu.”
“Hehehe.. Iya, Mbak. Pulang
kampung ke Pasuruan,” katanya tetep dengan gaya cengengesan, lucu.
Ternyata si Bapak Gendut sudah
ga jualan 4 bulan, karena pulang ke kota asalnya di Pasuruan. Di sana bukan jualan tahu
tek juga, tapi macul di sawah, bersama istri dan anak-anaknya juga. Jadi petani lah, gitu ceritanya. “Baru seminggu
ini jualan lagi,” katanya.
Setelah itu, kami ngobrol
banyak dan si Bapak ga sungkan menceritakan tentang kegiatannya di kampung, termasuk keputusannya kenapa kembali jualan tahu tek keliling di Surabaya daripada meneruskan jadi petani di kampung halamannya. Hmm,
ternyata aku merasa sangat dihargai oleh si Bapak Gendut. Kalau kita mau
membuka diri untuk orang lain, mereka pun akan membuka diri pula.
Wah, senangnya... Ngidam tahu
tek-nya keturutan, bisa dapat cerita dari teman baru pula! Hehe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar