Kamis, 07 November 2013

Ketika Nepotisme dan "Like or Dislike" Berbicara



Tersebutlah sebuah kisah nyata tentang anak manusia. Peristiwa ini terjadi dekat denganku, di lingkungan kerjaku. Sekarang aku kerja di sebuah hotel bintang 3 di Surabaya. Dengan jabatan yang lebih tinggi, gaji yang lebih baik, dan fasilitas yang memadai. Well, I think it’s good for my career. Menjabat sebagai HRD Supervisor, kerjaanku memang lebih banyak, dan otomatis dituntut jiwa kepemimpinan. Tapi itu sembari berjalan lah, karena aku juga masih baru kerja di dunia perhotelan, masih harus banyak belajar, karena sistem kerjanya beda dengan kantor pada umumnya.

Pembagian kerjanya ada beberapa departemen. Pertama, departemen Bussiness Centre (BC), tempat para staf berkumpul, seperti Marketing, Purchasing (bagian belanja/pembelian), Receiving (bagian penerima barang-barang), Inventory (bagian stok dan mencatat barang keluar-masuk), Operation Manager, General Manager, Accounting, Legal, Administrasi, juga HRD. Lalu ada departemen operasional yang terdiri dari Food and Beverage Product (FBP), Food and Beverage Service (FBS), House Keeping (HK), Front Office (FO), Maintenance Engineering (ME), dan Maintenance Building (MB). Hotel beroperasi 24 jam, sehingga ada sistem kerja shift, kecuali departemen BC. Jadwal kerja diatur oleh masing-masing kepala departemen, jadi HRD tinggal mencocokkan antara jadwal dengan “real presensi”-nya karyawan, soalnya pasti banyak yang tukar shift atau off.

Selain karyawan tetap dan kontrak, ada yang namanya karyawan Cassual, yaitu mereka digaji per hari. Ada pula Trainee. Nah, para Trainee ini diambil dari sekolah-sekolah kejuruan (SMK), diutamakan yang jurusan perhotelan. Anak-anak Trainee ini mengikuti On The Job Training (OJT) yang direncanakan oleh sekolah mereka, biasanya selama periode 6 bulan. Jadi mereka ga digaji karena bekerja sebagai bagian dari program pendidikannya, cuma diberi makan siang. Itulah yang aku rasakan, enak kerja di hotel, karena dapat makan siang di kantor. Makanannya bukan nasi bungkus, tapi prasmanan, ambil sendiri sepuasnya. Kenyataannya, anak-anak BC tempatku berada ini makannya banyak-banyak! Mereka ga malu untuk nambah. Ga cowok, ga cewek, makannya kalap semua! Awalnya aku masih malu-malu, tapi lama-lama ngikut juga, hahaha…

HRD disini lebih ribet. Total karyawan tetap dan kontraknya sih cuma 39 orang, tapi ditambah Cassual dan Trainee yang selalu berubah-ubah, belum lagi yang outsourcing juga banyak. Karyawan yang outsourcing itu driver, security, ME, gardener, dan pest control. Jumlah karyawannya jadi sekitar 100 orang.

Apa yang diutamakan oleh sebuah hotel? Tentu saja kepuasan tamu. Gimana tamu bisa puas dengan segala pelayanan dan fasilitas hotel lalu bisa kembali lagi dengan membawa kenalan serta sanak keluarganya, atau merekomendasikan hotel ke orang lain. Hotel tempatku bekerja tergabung dalam PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), dimana setiap 3 tahun sekali akan diadakan “klasifikasi” untuk menentukan kelayakan bintang 3 yang kami miliki. Kebetulan tanggal 27 Oktober lalu, klasifikasi itu dilakukan. Lima orang dari PHRI datang, dan yang mengikuti “sidang klasifikasi” adalah seluruh supervisor dan manager, termasuk aku, padahal aku baru masuk kerja 1 minggu! Wow, itu pengalaman yang sangat berharga. Tentunya sebelum itu aku diajari dulu apa aja yang harus HRD persiapkan untuk menghadapinya. Jadi aku bisa tau apa aja yang orang-orang PHRI itu lakukan di hotel. Puji Tuhan, hasilnya positif, PHRI memutuskan hotel kami masih layak menyandang bintang 3.

Itulah sekilas tentang kerjaan baruku. Berikutnya, aku ga cerita tentang bagaimana kerjaanku disini, tapi aku pengen sharing tentang yang aku kemukakan di awal: kisah nyata tentang dua orang manusia yang terjadi di lingkunganku ini…

Sebut saja namanya F. dia seorang Manager Food and Beverage. September 2012, dia masuk kesini dengan jabatan Supervisor. Tapi 6 bulan kemudian, ia naik pangkat menjadi Manager. Ternyata, menurut kesaksian HRD lama (yang posisinya aku gantikan ini), Mr.F ini masih punya hubungan kerabat dengan sang General Manager, yaitu keponakannya. Bukannya berpikiran negatif, tapi praktek nepotisme semacam ini memang jamak terjadi di perusahaan. Setelah aku lihat, ternyata Mr.F ini ga serta-merta naik pangkat hanya karena dia keponakannya GM, tapi dia memang layak dan punya kemampuan untuk itu. Evaluasi kinerjanya bagus, dia cerdas, pengetahuannya tentang food and beverage bagus, pintar masak, juga pintar mengatur anak buah. Wajar aja, soalnya dia lulusan S1 perhotelan di Malaysia, dan guess what: umurnya masih 23 tahun! Wow, anak muda yang energik, pokoknya oke lah!

Ceritanya, Mr.F yang charming ini menjalin hubungan dekat dengan seorang karyawati bagian Inventory, sebut saja namanya R. Aku ga tau sedekat apa hubungan mereka, tapi katanya jalinan asmara itu sudah berlangsung semenjak Ms.R masuk kerja di sini, yaitu 6 bulan yang lalu. Aku cuma pernah lihat beberapa kali mereka berdua ngobrol dengan serunya, si Mr.F juga sering mampir ke tempat kerjanya Ms.R. Lama-lama, hubungan mereka berdua sampai ke telinga si Ibu GM.

Sepertinya, Ibu GM ga suka terjadinya kisah kasih dua orang itu. Entah apa sebabnya. Apa mungkin karena perbedaan jabatan diantara keduanya? Ah, masa gitu aja dipermasalahkan? Entahlah. Padahal Ms.R itu ga jelek, lumayan manis kok. Seumuran dengan Mr.F dan masih single juga. Aku taunya waktu beberapa hari lalu, si Ibu GM bisik-bisik dengan Operation Manager (OM) yang duduknya di sebelahku, “Kok mereka mepet-mepet terus sih?” Si OM juga menanggapi dengan seru, “Iyo, pancet ae. Padahal wes ditegur…” Aku ga terlalu dengar mereka ngomongin apa lagi, yang pasti aku jadi tau, oh ternyata dia ga suka.

Hingga terjadilah peristiwa itu: evaluasi karyawan. Setiap 6 bulan sekali, karyawan akan dievaluasi kinerjanya. Bagi yang masih kontrak, hasil evaluasi menentukan apakah diperpanjang kontraknya (untuk 6 bulan berikutnya), diangkat menjadi karyawan tetap, atau diberhentikan (tidak diperpanjang kontraknya). Miss R masuk pada tanggal 1 Juni 2013, jadi kontraknya akan berakhir tanggal 30 November nanti. Akhir bulan Oktober lalu, ia dievaluasi. Aku yang merekap hasil evaluasi itu, dan terlihat memang evaluasinya kurang bagus. Si OM bilang ke aku, “Sebenernya R itu kerjanya bagus banget ya enggak, tapi juga ga jelek, jadi biasa aja. Tapi memang dia belum bisa memenuhi target untuk merekap semua inventory di hotel. Selama ini dia fokusnya cuma inventory bahan makanan punyanya kitchen aja, padahal yang namanya inventory itu semua bagian, termasuk apa aja yang ada di kamar, stok-nya house keeping, dan sebagainya. Lagian, staf di bagian itu terlalu banyak, padahal mestinya bisa ditangani oleh jumlah yang kurang dari sekarang. Pilihannya, memang harus ada 1 orang yang kita keluarkan. Yang lain, masa kerjanya sudah lebih dari 1 tahun. R itu yang paling baru, jadi keputusan manajemen, sepengetahuan dan persetujuan GM, kontraknya R ga akan kita perpanjang.”

Hmmm, oke kalau itu keputusannya. Sesuai peraturan, 1 bulan sebelum jangka waktu kontrak berakhir, perusahaan harus menyampaikan pada karyawannya. Tanggal 1 November yang lalu, si OM memanggil Ms.R dan menyampaikan hasil evaluasi. Plus, keputusan untuk “memberhentikan” nya per 30 November nanti dengan alasan utama “kinerjanya kurang bagus”. Tapi, dibalik keputusan dan semua alasan yang dikemukakan oleh manajemen atas itu, aku masih bertanya-tanya, mungkinkah alasannya hanya murni karena itu? Apakah ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhinya?

Analisaku, mungkinkah faktor “like or dislike” terjadi di sini? Faktanya jelas, Ibu GM ga suka keponakannya (Mr.F) dekat dengan Ms.R. Sebagai seorang yang mempunyai kedudukan di perusahaan, tentu Ibu GM berhak untuk mempekerjakan seseorang dan/atau memberhentikan karyawannya. Terlepas dari apapun alasan yang dikemukakan, semua menjadi mungkin sebab untuk “menutupi” maksud sebenarnya, yaitu ‘memisahkan’ mereka berdua. Aku ga tau mengapa, benar atau ga, ini hanya opiniku aja…

Nepotisme dan “like or dislike” di dunia kerja memang ga objektif. Aku juga pernah merasakannya. Aku pernah bekerja di perusahaan milik kakak sepupuku. Masuk ga pakai tes dan interview. Tapi aku ga langsung menduduki jabatan atas, waktu itu aku hanya staf biasa, staf editor. Awalnya memang terasa ga nyaman, dengan hubungan “adik sepupunya bos”, aku sempat takut dimusuhi dan dianggap sebagai mata-mata. Tapi syukurlah aku membuktikan bahwa aku layak untuk menduduki posisi itu. Aku memang masuk berdasarkan nepotisme, tapi aku bukanlah orang yang ga berkemampuan. Aku punya kapabilitas untuk bekerja dan mampu berkontribusi positif ke perusahaan. Tapi dibalik itu, ada ga enaknya juga kerja di tempat saudara. Walaupun teman-temannya baik, jadi ga bebas gitu rasanya.

Selain nepotisme, banyak sekali contoh “like or dislike” di kantor. Setiap pindah kerja, aku selalu nemu kasus seperti itu. Misalnya yang disukai atau dekat dengan bos akan cepat naik pangkat dan/atau naik gaji, sedangkan yang ga disukai atau dianggap mengancam otoritas bos akan ‘disingkirkan’ baik dengan cara halus, misalnya dipindah ke divisi/cabang lain, atau dengan cara seperti yang dialami Ms.R, yaitu diberhentikan. Melihat semua aspek yang terjadi di kasus Mr.F dan Ms.R, aku berkesimpulan pasti ada unsur “like or dislike” itu, walaupun mungkin sedikit sekali.

Gimanapun juga, keputusan manajemen ga akan berubah. Ms.R tetap diberhentikan dan entah apa yang akan terjadi pada Mr.F beserta hubungan mereka berdua. Memang ga ada yang bisa memungkiri terjadi peristiwa “jatuh cinta” dengan rekan kerja. Toh selama keduanya masih single, ga masalah kan? Lain lagi ceritanya kalau kedua insan yang terjerat “cinta lokasi” itu memutuskan untuk menikah. Kebanyakan perusahaan ga memperbolehkan sesama karyawan menikah, jadi akhirnya salah satu harus keluar. Kalau sudah gitu, penyelesaiannya ya tergantung keputusan kedua belah pihak.

Lokasi hanya akan memisahkan kedekatan raga, tapi siapa yang dapat menduga kedalaman hati seseorang? Mungkin aja Mr.F dan Ms.R tetap memutuskan untuk bersama walaupun salah satunya ga di kantor ini lagi. Masih banyak tempat di luar sana yang bisa menjadi ajang mereka bertemu. Malah enak kan, kalau biasanya ‘pacaran’ di kantor serba canggung karena batasan rekan kerja, di luar sana justru lebih bisa bebas. Hehehe…  Jadi, untuk sementara, ini yang bisa aku laporkan dari TKP tentang hal ini. To be continued
Kalau mungkin ada kejadian apa lagi, akan aku tuliskan selanjutnya.