Sabtu, 28 Maret 2015

Warna-Warni di Negeri Laskar Pelangi



Jam masih menunjukkan pukul 5 pagi, tapi kami berenam sudah duduk di ruang tunggu keberangkatan Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta. Hari itu, 27 Desember 2014, kami akan liburan menuju Kepulauan Belitung. Yeaayy! Jam 6.50, pesawat dengan nomor penerbangan GA 282 mengangkasa membawa kami menuju ke Tanjung Pandan, jantung kota di Kepulauan Belitung. And the journey begin


Jarak tempuh Jakarta-Tanjung Pandan hanya 45 menit. Perasaan baru duduk, eh udah nyampe aja. Hujan deras tercurah dari langit saat pesawat landing. Sempat bertanya-tanya, mengapa semua penumpang harus menunggu lama saat hendak turun dari pesawat. Ternyata, bandara disana ga punya ”belalai gajah” atau bus yang biasa menghubungkan pesawat dengan terminal, sebagaimana yang ada di bandara-bandara besar. Alhasil, kami harus berpayung ria saat turun dari pesawat dan berjalan kaki menuju dalam bandara. Wow, pengalaman baru!

”Welcome To Belitong, Negeri Laskar Pelangi” tulisan yang terpampang di billboard depan Bandara H.A.S. Hanandjoeddin menyambut setiap wisatawan yang datang. Mobil A***za putih datang mendekat, segera si sopir turun dan memperkenalkan diri. Kami sudah menyewa mobil plus sopir yang akan kami andalkan selama berwisata di Belitung. Dengan biaya Rp 600 ribu sudah termasuk bensin, si sopir yang merupakan warga asli Belitung tersebut akan merangkap tour guide kami selama 10 jam per hari.

Setelah mendapatkan kamar di Hotel Grand Hatika, perjalanan kami mulai dengan mencari makanan khas Belitung. Atas saran si tour guide, kami menuju ke Mie Belitung Atep, di Jalan Sriwijaya. Makanan satu ini tersohor di seantero Belitung, hingga ke seluruh Indonesia kayaknya. Foto-foto si pemilik bersama tokoh-tokoh hingga selebritis tanah air yang berkunjung kesana berderet rapi di dinding rumah makan yang ga terlalu besar itu. 
Rame sekali pagi itu! Orang-orang yang ingin menikmati kelezatannya sampai mengantri untuk bisa duduk. Beruntung kami cepat mendapatkan tempat dan ga lama kemudian, sepiring mie sudah tersaji di depan kami masing-masing. Mie, ketimun yang dipotong kotak-kotak kecil, tauge, potongan tahu, irisan kentang, udang, emping, disertai kuah kental berasa nano-nano (asin-manis-kecut), itulah isi Mie Atep. Rasanya lumayan, tapi porsinya terlalu sedikit. Minumnya, cobalah es jeruk kunci, jeruk yang mirip jeruk nipis tapi lebih kecil, rasanya juga mirip jeruk nipis. Enak dan segar. Rp 13 ribu untuk seporsi mie dan Rp 5 ribu untuk segelas es jeruk, lumayan untuk pengganjal perut.

Mie yang bikin penasaran
Karena masih lapar, kami wisata kuliner lagi. Kali ini di ”Green Resto”, kami mencoba yang khas juga di Belitung, yaitu olahan ikan berkuah kuning dengan rasa asam pedas. Namanya Gangan Ikan Ketarap. Dari warna kuning kuahnya, sekilas mirip gulai, tapi ini ga bersantan, jadi semacam sup. Segar. Ikan yang dipakai bisa ikan ketarap, kakap merah, atau ikan kembung. Selain itu, juga ada Ayam Bakar Ketumbar yang bercita rasa manis gurih dengan aroma bakar sedap. Kami juga pesan Ayam Goreng Kalasan, kalau yang ini udah biasa, ada banyak di Jawa. Cukup lama makanan-makanan itu tersaji di depan kami. Saat hendak membayar, ternyata harganya cukup ”wow”: Rp 150 ribu per kilo untuk Gangan Ikan-nya, Rp 30 ribu untuk Ayam Bakar Ketumbar, dan Ayam Goreng Kalasan-nya Rp 18 ribu per potong. Masaknya susah mungkin ya...  It’s okay lah, rasanya ga mengecewakan kok, enak.

Selesai kuliner siang itu, kami dibawa mengunjungi rumah adat Belitung. Rumah panggung yang memang khusus dibuat untuk pariwisata itu berisi bermacam-macam kebudayaan Belitung seperti cerita dan foto-foto sejarah Belitung, patung manusia yang memakai pakaian adat, pakaian pengantin budaya Belitung, hingga berbagai seserahan dan perlengkapan yang diperlukan saat pernikahan semuanya ada, disertai label-label nama jadi wisatawan bisa mengerti maknanya.

Salah satu sudut dalam rumah adat Belitung, seserahan yang dipakai dalam pernikahan

Belitung dijuluki Negeri Laskar Pelangi, diambil dari judul novel laris karya Andrea Hirata, putra asli Belitung yang menceritakan pengalaman masa kecilnya. Setelah sukses difilmkan dan mendapat berbagai apresiasi dari seluruh dunia, pamor Belitung pun turut terangkat. Film ”Laskar Pelangi” banyak mengekspos keindahan pulau ini, terutama pantai-pantainya, wisatawan jadi berbondong-bondong datang kesana. Salah satu wisata utama andalan Belitung terdapat di Gantung, daerah Belitung Timur, apalagi kalau bukan SD Muhammadiyah. Sekitar 1 jam perjalanan dari Tanjung Pandan, sampailah di sekolah yang menjadi setting utama kehidupan si Laskar Pelangi. Bangunannya masih asli, berdinding kayu dengan cat putih-biru yang sudah pudar dan bangku-bangku yang sudah berlubang di sana-sini tapi masih kokoh diduduki.


Anggota Laskar Pelangi masa kini *kakakku*

”Jauh-jauh kesini untuk lihat sekolah mau ambruk,” komentar salah satu anggota rombongan kami saat melihat kondisi sekolah. Hehehe... Lho, sekolah itulah yang turut ’membentuk’ pribadi Andrea Hirata hingga kini menjadi penulis hebat dan berpengaruh di dunia berkat karyanya itu. Sungguh aku sangat bersyukur karena bisa melihat langsung kondisi sekolah itu.

Mejeng di depan SD Muhammadiyah
Masih di Gantung, ga jauh dari lokasi SD Muhammadiyah, terdapat Museum Kata Andrea Hirata.  Di ”museum kata pertama di Indonesia” yang berdiri sejak 2010 tersebut terdapat semua hal tentang Andrea Hirata dan novel-novelnya yang lain, ga cuma Laskar Pelangi. Ada Ruang Ikal, Ruang Lintang, dan banyak lagi. Cuplikan-cuplikan film ditampilkan dalam foto-foto besar, begitu pula kutipan-kutipan dalam novelnya. Ada juga ruang baca dengan jendela-jendela besar berwarna-warni. Yang menarik, di dalamnya ada kedai sederhana bernama ”Kopi Kuli”, disana pengunjung bisa meminum kopi hitam dalam cangkir kecil, seharga Rp 5 ribu per cangkir. Sebagai kenang-kenangan untuk handai taulan, disediakan kartu pos bergambar Museum Kata. Kita tinggal menulis alamat tujuan dan pesan/kesan, lalu membayar Rp 10 ribu. Petugas Museum Kata yang akan mengirimkan ke alamat tujuan, jadi kartu pos dikirim langsung dari Belitung, kira-kira bisa sampai dalam 2 minggu. Menarik banget, ya!

Museum Kata Andrea Hirata, tampak depan

I love this quote!



Ruang baca di dalam Museum Kata Andrea Hirata

Eh, mau coba wisata yang ”ga populer” di Belitung? Berawal dari rasa penasaran ingin melihat rumah sang Mantan Bupati Belitung Timur, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, kami meminta tour guide mengantarkan kesana. Ternyata sampai disana, ada open house oleh si empunya rumah. Bupati Belitung Timur sekarang yang tak lain adalah adiknya Ahok, Basuri Tjahaja Purnama, mempersilakan tamu yang datang untuk masuk ke rumahnya. Bahkan, beliau menyuguhi para tamunya dengan minuman kaleng, permen, dan kue-kue. ”Silahkan ambil,” katanya ramah. Ga perlu disuruh 2x, kami langsung ambil minumannya. Hahaha...
Cukup banyak pengunjung yang datang dan masuk, termasuk kami yang langsung ga melewatkan kesempatan untuk foto-foto di ruang tamu dan luar rumahnya. Tapi sayang ga bisa foto dengan Pak Bupati, karena beliau sedang menerima tamu penting.

Foto di dalam rumah Ahok
 Rumah pribadi Pak Bupati yang sekaligus merupakan rumah dinas itu cukup luas. Walaupun banyak security dan CCTV, pengamanan terhadap tamu ga terlalu ketat. Kami ga harus melewati pemeriksaan keamanan atau meninggalkan KTP, jadi bebas berkeliling di halamannya. Di samping rumah tapi masih satu area rumah Bupati, terdapat sanggar batik. Ternyata istri dan anak Pak Bupati yang mengelola. Tampak salah satu anak Pak Bupati sedang membuat batik cap. Proses membuat batik tersebut langsung mendapat atensi dari para tamu. Selain itu, disana juga menjual berbagai jenis kain batik home made. Rasa penasaran sudah terjawab, kami pulang dari rumah Pak Bupati.

Sebagai sebuah pulau, Belitung terkenal akan keindahan pantainya. Pantai di Belitung sangat banyak dan semuanya indah! Di daerah Manggar (masih Belitung Timur), Pantai Serdang adalah salah satunya. Pantainya bersih dan berjejer perahu-perahu tradisional yang bagus dijadikan objek foto. Selanjutnya, Pantai Nyiur Melambai ga kalah bagus. Ah, satu daerah aja pantainya segitu banyak.
Selain pantai, ternyata juga ada perbukitan, lho! Tour guide membawa kami ke Bukit Samak. Hawanya dingin khas bukit, tapi sayang ga ada hal yang menarik disana. Cuma ada warung-warung yang menjual makanan-minuman hangat.
Oya, Manggar terkenal akan kopi. Disana, banyak warung kopi dengan menu andalan ya kopi Manggar itu sendiri. Dijual juga bubuk kopi yang sudah dikemas dalam plastik-plastik berbagai ukuran sehingga dapat dibawa pulang untuk buah tangan.

Deretan perahu tradisional di Pantai Serdang
Hari pertama di Belitung, kami sudah mengunjungi banyak tempat. Sooo excited! Hari-hari berikutnya, agenda kami adalah mengunjungi pantai-pantai dan mencoba wisata laut yang ditawarkan.

Hari kedua, 28 Desember 2014.
Pagi hari setelah breakfast di hotel, kami siap-siap check out dulu untuk pindah ke Hotel Aston. Setelah semuanya beres, dari Hotel Aston, kami menuju ke Pulau Lengkuas. Untuk menuju ke pulau itu, harus menyewa perahu boat dari tepi Pantai Tanjung Kelayang, tarifnya sekitar Rp 500 ribu, tergantung tawar-menawar dengan tukang perahu. Jangan lupa sewa pelampung juga (Rp 20 ribu/orang), untuk keselamatan. Disana juga menyewakan alat snorkeling seharga Rp 50 ribu/buah, tapi kami sudah bawa snorkel sendiri.
Dalam perjalanan kesana, kami sempat dibuat ngeri karena ombak sangat tinggi! Perahu kami melaju menerjang ombak, terombang-ambing seakan mau terbalik. Mendebarkan sampai teriak-teriak, tapi seru banget! Hahaha...

Yang mencolok dari Pulau Lengkuas adalah mercusuar ini. Menjulang tinggi diantara pepohonan kelapa, pengunjung dapat melihat pemandangan seluruh pantai dan laut dari puncaknya. Memasuki mercusuar, pengunjung dikenai tarif Rp 5 ribu/orang. Untuk sampai ke puncaknya, perlu usaha menapaki 18 tingkat dengan 17-18 anak tangga tiap tingkatnya. Total 313 anak tangga, cukup membuat napas ngos-ngosan, tapi terbayar puas saat sudah di atas. Luar biasa!!! Bagus banget!!!

View dari atas mercusuar. Amazing!   
Batu-batu granit besar, ciri khas pantai-pantai di Belitung
Lama-lama ngeri juga berdiri di ketinggian begitu, akhirnya kami kembali ke pantai. Di tengah-tengah keasyikan main dan foto-foto di pantai, kami dikejutkan oleh kabar pesawat Air Asia QZ 8501 tujuan Surabaya-Singapura yang hilang kontak dan diperkirakan jatuh di sekitar Belitung. Ya, hari itu, kami sedang berada di Belitung dan ga melihat ada tanda-tanda pesawat jatuh disana...

Tapi kabar itu ga mengurangi keasyikan kami untuk terus mengeksplorasi Belitung. Setelah puas snorkeling di perairan Pulau Lengkuas, perahu boat mengantar kami mengarungi berbagai pulau lain di sekitar sana, antara lain Pulau Kelayang, lalu ke Pulau Batu Berlayar, dimana batu-batu besar berdiri tegak dengan formasi berjejer seolah-olah ditancapkan disana. Gambar pulau ini, selain Mercusuar di Pulau Lengkuas tadi, sering dijadikan gambar promosi Belitung.
Kemudian, Pulau Pasir tujuan berikutnya. Pulau ini diberi sebutan Pulau Patrick karena banyak terdapat bintang laut. Dari awal sebelum berangkat, kami dibuat terpesona oleh foto-foto yang memperlihatkan bahwa bintang laut disana sangat bagus, juga bisa dipegang, makanya pengen banget kesana. Tapi ternyata waktu itu air laut sedang pasang sehingga Pulau Pasir ga terlihat. Pulau tersebut –beserta bintang lautnya– hanya bisa dilihat waktu air laut surut, yaitu sekitar bulan April, kata tukang perahu yang kami sewa. Yaah, sayang banget... L
Kembali ke Pantai Tanjung Kelayang, kami bersih-bersih, ganti baju, lalu menyerbu warung makan. Makan ikan panggang, cumi goreng, cah kangkung, serta sambal dan nasi hangat di tepi pantai, diiringi angin sepoi-sepoi dan suara debur ombak, nikmaaatnya dunia!! Sayang kurang komplit, ga ada es kelapa muda...

Petualangan dilanjutkan. Kami tiba di Pantai Tanjung Tinggi. Perhatian langsung tertuju pada batu marmer besar yang menuliskan bahwa pantai tersebut merupakan lokasi syuting film Laskar Pelangi. Layaknya di pantai-pantai sebelumnya, di Pantai Tanjung Tinggi terdapat batu-batu besar tapi jauh lebih banyak dan acak tersebar. Keren! Kita pun bisa memanjat batu-batu itu untuk mendapatkan view dari tempat yang lebih tinggi. Menakjubkan! Melihat hal itu, aku jadi bertanya-tanya: bagaimana batu-batu besar itu bisa ada disana? ’Siapa’ yang ’menempatkan’ batu-batu itu jadi susunan yang indah dipandang mata? Ya memang pertanyaan retoris, pertanyaan yang ga perlu dijawab...

Sepulang dari sana, si tour guide mengajak kami ke Kampung Dedaun, ga terlalu jauh dari Pantai Tanjung Tinggi. Sebuah tempat makan, tapi juga dekat dengan pantai dan ada fasilitas yang disewakan untuk tamu seperti kayak (Rp 40 ribu) dan sepeda (Rp 20 ribu). Yang ini pantainya beda; ga ada batu-batu besar, tetapi sebuah pantai yang panjang dengan pasir putih, ombak tenang, dan ga terlalu rame wisatawan. What a long white private beach! Di tepi pantai, ada kursi-kursi malas untuk bersantai. Kami berjalan sepanjang pantai sambil mengumpulkan kulit kerang dan foto-foto berlatar pemandangan langit dan laut biru. Perfect!

"Our" Private Beach
From Belitung With Love
Hari kedua kami tutup dengan makan di Jimbaran Resto. Nama yang dibuat mirip nuansa Bali, gerbang depannya juga mirip pura di Bali, tapi ga ada fresh seafood disini. Tempatnya lebih mirip food court dengan berbagai tenant yang bisa dipilih. Kami mencoba salah satu tempat yang menyajikan otak-otak bakar dan goreng, kekian, serta kepiting isi. Harganya sekitar Rp 6-12 ribuan per potong. Ga ada yang istimewa, tapi cukup menjawab rasa ingin tahu saja.
Ketika sudah sampai di hotel, kami langsung memelototi televisi untuk mendapatkan kabar tentang pesawat Air Asia yang hilang kontak tersebut....

Hari ketiga, 29 Desember 2014
Nyamm... Breakfast di Hotel Aston enak-enak semua! Setelah kenyang, jadi semangat untuk memulai hari.
Oiya, belum mengenalkan si tour guide ramah yang setia menemani sejak hari pertama. Namanya Teguh. Oke, cukup itu saja perkenalannya.
Jam 9 pagi itu, Mas Teguh mengendarai mobil menuju ke Membalong. Sekitar 70 km dari Tanjung Pandan, kemana lagi kami? Pantai lah!
Pantai Membalong, oh my God, pantai ini ga kalah keren! Seperti biasa, banyak batu granit besar yang agaknya sudah menjadi ciri khas pantai-pantai di Belitung. Dari atas ketinggian, di batu yang kami pijak, sejauh mata memandang adalah hamparan laut dan langit biru cerah berawan putih lembut yang berpadu dengan hijaunya pepohonan di kejauhan. Walaupun udara cukup panas, tapi sejuk banget di mata... Sekali lagi, ga ada tanda-tanda pesawat jatuh disana. Hehehe...#ngarep banget nemuin puing-puingnya.

Salah satu view menarik Pantai Membalong
 Pemandangan alam Belitung yang luar biasa itu sayang banget kalau ga diabadikan. Maka, sejak hari pertama, ’tongsis’ dan ’gopro’ selalu menjadi alat bantu membidik momen-momen kebersamaan dan kenarsisan kami berenam. Pun saat matahari sudah bersinar terik di atas kepala, baru kami ’turun’ dari atas batu besar, menyudahi aktivitas berfoto, dan kembali ke pantai untuk ’berburu’ makanan enak lainnya.
Di tepi Pantai Membalong, ada yang menjual fresh seafood. Nah, ini yang ga ditemui di pantai-pantai sebelumnya. Disana kami bisa melihat para nelayan yang mengumpulkan hasil tangkapan, lalu ada juga yang memasak menggunakan tungku kayu bakar. Pokoknya kehidupan khas tepi laut, deh! Sebelum makan, kami bebas memilih seafood yang akan dimasak. Pilihan kami jatuh pada ikan yang dibakar dengan bumbu (entah bumbu apa, judulnya ikan bakar berbumbu, gitu), lalu udang goreng tepung (yang kriuk enak sampai nambah lagi), udang bakar, dan ketam (kepiting) rebus. Sudah pasti pakai nasi hangat dan cah kangkung. Naah, kali ini acara makannya komplit tenan, karena ada es kelapa muda! Wow, mak nyuuss pemirsa...

Pesan dari Pantai Membalong
Ada lagi yang unik. Ketika ada hasrat ingin buang air kecil, toilet yang ditunjukkan oleh penduduk lokal membuat geleng-geleng kepala. Di bawah pohon, didirikan dari kayu-kayu yang tegak membentuk bilik kecil, ga ada pintu, atasnya juga ga tertutup, hanya ditutup oleh terpal di sekelilingnya. Luarnya udah bikin heran, dalamnya apalagi. Ga ada kloset, cuma papan-papan kira-kira setinggi 5 cm dari tanah yang di bawahnya ada daun-daunannya. Ga ada air pula! Ya ampun... Inilah toilet ala Laskar Pelangi. Mau ga mau, terpaksa pipis di atas daun. Hehehe...

Dari Pantai Membalong, selanjutnya kami menuju ke Batu Mentas Eco Lodge, yaitu sebuah kawasan pelestarian hewan Tarsius. Dengan membayar Rp 10 ribu/orang, kita bisa melihat primata terkecil di dunia yang bermata bulat besar itu. Disana juga ada sungai yang airnya dingin dan jernih sekali. Dikelilingi oleh pepohonan besar, sungai dangkal itu sangat asri. Ga banyak yang kami lakukan disana selain main air di sungai, mungkin suatu saat kalau kesana lagi bisa meneliti lebih banyak tentang tempat itu.
Lalu, dalam perjalanan pulang, di kiri-kanan jalan sekitar Batu Mentas itu terdapat ladang lada milik penduduk. Belitung memang terkenal akan hasil alamnya berupa lada/merica.

Bercerita tentang keadaan kota-kota di sepanjang jalan yang kami lewati saat menuju ke tempat wisata, rumah-rumah penduduk Belitung khas berbentuk panggung dan jarak antara satu rumah dengan rumah lain cukup jauh. Lahannya luas. Suasananya masih ga terlalu rame dan asri dengan rimbunnya popohonan, tapi kondisi jalan disana sudah beraspal dan mulus semua. Di satu daerah ada yang menanam kelapa sawit, di daerah lain didominasi oleh ladang lada, dan sebagainya. Banyak juga variasi perkebunannya.
Selain lada, sumber daya alam Kepulauan belitung lainnya adalah timah. Sejak dulu Belitung terkenal sebagai penghasil timah.
Di pusat kota, ada supermarket, toko-toko yang menjual berbagai keperluan, restoran, pedagang kaki lima, gerai makanan fast food, dan berbagai tempat umum sebagaimana layaknya kota. Hotel-hotel juga terus bermunculan seiring dengan meningkatnya pariwisata disana.

Melancong ke sebuah tempat tak lengkap rasanya jika ga mengunjungi sentra oleh-oleh. Di pusat kota Tanjung Pandan, ada banyak toko souvenir yang menjual berbagai pernak-pernik khas Belitung untuk diberikan kepada kerabat di tempat asal atau untuk diri sendiri. Kaos bergambar Laskar Pelangi atau pemandangan pantai-pantai tersedia lengkap pilihan warna, model, dan ukurannya. Jika ga mau repot, gantungan kunci, bolpoin berukir, atau hiasan-hiasan dari kerang dan terumbu karang yang diberi lukisan tangan itu ga kalah cantik, ringkas pula dimasukkan dalam tas. Aneka cemilan seperti keripik dan kue-kue juga tersedia disana. Jangan kuatir menjadi remuk karena disana bisa mengepak keripik pilihan kita dalam kardus yang disegel dan diberi pegangan, jadi tinggal tenteng saja. Mau yang ekstrem? Disana juga berderet jam dinding dan lukisan-lukisan cat minyak dalam kanvas, semuanya menampilkan keunikan Belitung. Tapi untuk yang satu ini, entah bagaimana kita bisa membawanya sendiri. Mungkin harus dikirim via paket dan tentunya menambah ongkos kirim. Yang paling menarik perhatianku adalah ada bintang laut asli yang dikeringkan. Sebenarnya kasihan kenapa si Patrick itu dikeringkan, jadi ingat adegan di film ”Spongebob Squarepants The Movie” dimana Spongebob dan Patrick ditangkap dari laut lalu ditaruh dibawah sinar lampu untuk dikeringkan menjadi souvenir. Tapi lucu sih! Akhirnya aku beli satu Patrick, tanpa Spongebob, soalnya ga ada disana. Hehehe...

Kalau semua jenis souvenir itu dianggap terlalu mainstream, pilihlah yang satu ini: batu satam. Oleh-oleh kok batu??? Ini batu bukan sembarang batu.
Batu ini berwarna hitam dan memiliki urat-urat yang khas. Batu Satam termasuk kedalam batuan langka, terbentuk dari hasil proses alam atas reaksi tabrakan meteor dengan lapisan bumi yang mengandung timah tinggi jutaan tahun lalu. Serpihan batu meteor itu tersebar ke seluruh pelosok dunia seperti Australia, Cekoslovakia, Arab, dan di Indonesia tepatnya di Pulau Belitung. Saat jatuh diatas tanah Pulau Belitung, meteor ini bereaksi dengan kandungan timah yang sangat banyak yang terdapat disana, sehingga membentuk batu hitam yang kemudian dinamakan Batu Satam. Karena proses inilah Batu Satam hanya terdapat di Indonesia dan menjadi batuan langka yang diburu para kolektor batu di seluruh dunia. Di Belitung sendiri, batu satam ini dijadikan sebagai ikon dari ibukota Belitung yaitu Tanjung Pandan (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Batu_Satam).

Nah, sekarang jelas kan kalau batu inilah yang ”Belitung sebenarnya”. Untuk mendapatkannya ga perlu mencari di pinggir jalan atau ladang timah, karena di toko souvenir sudah ada. Batunya hitam kecil-kecil mirip kerikil, diwadahi dalam botol-botol kaca kira-kira setinggi 5 cm (ya, kecil banget!), dan diatasnya diberi gantungan jadi bisa dipakai sebagai gantungan kunci. Harganya sekitar Rp 20 ribu per botol. Mahal atau murah? Batu langka, lho... Mungkin suatu saat bisa populer menyaingi batu akik...
Jadi yang mana oleh-oleh pilihanmu?

Hari keempat, 30 Desember 2014
Yaah, bolang ke Belitung harus disudahi hari ini.
Puas-puasin dulu menikmati breakfast sambil nongkrong dan foto-foto di Hotel Aston sebelum akhirnya packing dan harus check out. Mobil I***va milik Hotel Aston mengantar kami ke Bandara H.A.S. Hanandjoeddin. Malam sebelumnya, kami sudah berpamitan dan mengucapkan banyak terima kasih pada Mas Teguh yang sudah membawa kami melihat keindahan tempat asalnya.
Lagi, kami harus berjalan kaki dari gedung bandara menuju ke pesawat di landasan pacunya. Kami semua sadar akan momen bagus ini, kapan lagi bisa foto dengan latar belakang pesawat dan landasan pacu. Jam 12.20, kami kembali terbang menuju Jakarta, dan tiba dengan selamat jam 14.40.
Good bye, Belitung! See you again!
Overall, Belitung sama sekali tidak mengecewakan! Memang masih kurang waktu untuk menjelajahi seluruh tempat. Beruntungnya kami karena walaupun berangkat di bulan Desember yang notabene musim hujan, tapi selama disana cuaca sangat bersahabat. Hujan hanya ketika tiba disana, selanjutnya cuaca cerah bahkan cenderung panas. Well, bukankah itu yang dicari dari wisata ke pantai?

Sedikit tips jika hendak plesir ke Belitung, pesanlah kamar hotel dan transportasi selama disana (bisa menyewa mobil plus sopirnya seperti kami) jauh-jauh hari, karena Belitung ga hanya ramai pada peak season atau hari-hari tertentu saja. Banyak rombongan tur, jadi untuk memastikan Anda ga kehabisan tempat. Pilihan hotel pun beragam, mulai dari kelas melati hingga yang berbintang. Carilah info untuk menentukan yang paling sesuai dengan kemampuan.

Transportasi umum di Belitung sangat langka, kebanyakan penduduk lebih suka menggunakan motor pribadinya. Jika datang berombongan, rental mobil adalah pilihannya. Walaupun harus mengeluarkan kocek cukup banyak, tapi bisa urunan. Sepertinya hal ini kurang bersahabat dengan para backpacker. Jadi jika budget terbatas, bisa naik ojek atau sewa motor, berarti harus bekerjasama dengan penduduk lokal. Jangan lupa tawar-menawar harga dengan si tukang ojek berapa tarif yang harus dibayar untuk berwisata seharian. Rental mobil pun ga banyak. Berdasarkan pengalaman, kami harus ’berebut’ dengan wisatawan lain untuk mendapat rental yang menawarkan harga terbaik. Jadi lebih baik langsung tentukan di awal, mau menyewa berapa hari. Alangkah baiknya sekaligus dengan pemandu wisata seperti Mas Teguh itu. Selain tau jalan dan spot-spot wisata menarik, seorang pemandu juga bisa menjelaskan sejarah di balik tempat tersebut. Dari Mas Teguh pula, kami jadi tau cerita tentang hewan Tarsius, ladang lada, dan batu satam, plus tempat makan yang enak di pusat kota.

Siapkan perbekalan yang cukup, termasuk obat-obatan, terutama ketika menaiki kapal motor untuk berkeliling ke pulau-pulau dan pantai-pantai. Banyak aktivitas bahari menyebabkan cepat lelah, haus, dan lapar, apalagi sangat mungkin terserang mabuk laut. Jangan harap bisa menemukan warung yang menjual makanan/minuman di tengah laut atau di setiap pulau yang dikunjungi. Di tepi pantai ada, tapi jika ga menemukan yang sesuai dengan selera dan harganya terlalu mahal (sangat mungkin), maka bisa memakan bekal sendiri.

Waktu terbaik untuk mengunjungi Belitung adalah ketika musim panas, sekitar bulan April sampai Juni. Saat itulah pantai dan laut berada pada kondisi maksimal bagusnya: cuaca cerah, langit biru, dan ombak laut yang tenang. Tapi, saat akhir tahun seperti yang kami alami pun bisa, hanya dibayangi oleh resiko turun hujan dan ombak tinggi.

Aku berasal dari Surabaya, dan saat ini belum ada rute penerbangan yang langsung Surabaya-Tanjung Pandan. Jadi untuk sampai kesana, harus lewat Jakarta. Aku kurang tau bagaimana dengan daerah lain khususnya di Jawa dan Indonesia Timur, apakah ada yang bisa langsung mengakses Tanjung Pandan. Dengan demikian, tentu ada biaya tambahan untuk tiketnya. Siapkan dan anggarkan budget dengan seksama, agar ga harus memecahkan celengan sekembalinya dari sana.

Akhir kata,
Menarilah dan terus tertawa, tempat ini memang seindah surga!
Bersyukurlah pada Yang Kuasa, cinta kita di dunia selamanya...
(Laskar Pelangi ~ Nidji ; dengan sedikit gubahan)

Penyuka laut dan pantai, Anda akan jatuh cinta pada tempat ini!
Aku akan kembali kesana, Negeri Laskar Pelangi, suatu saat nanti!