Seorang wanita- khususnya
seorang ibu- dituntut untuk bisa cakap dalam urusan rumah tangga. Semua cinta,
perhatian, dan fokus utama ada pada keluarga. Demikian besarnya peran seorang wanita
di rumah sehingga seringkali wanita harus mampu melakukan berbagai hal
sekaligus (multitasking) dalam mengurus suami dan anaknya.
Kadangkala, ketakutan terbesar
seorang ibu adalah tidak bisa mendidik anak dengan baik. Di tengah gempuran
modernisasi dan arus perubahan zaman yang sangat cepat saat ini, banyak ibu
yang mengeluhkan kelakuan anak-anak sekarang yang beda banget dengan waktu
seumurannya dulu.Ya jelas lah, anak-anak yang lahir setelah tahun 2001 disebut ”Generasi Z” atau Generasi Digital
atau Generasi Millenium, yang tentu kita tahu lingkungannya sudah berbeda
dengan zaman kita yang disebut Generasi Y atau X. Jadi, pastinya anak-anak
sekarang memerlukan penanganan berbeda dan ibu tidak bisa serta merta
menerapkan hal yang dahulu diajarkan orang tua kepada anak, misalnya ”Nenek
dulu mengajari Mama seperti ini, jadi kamu juga harus nurut apa kata Mama”. Oh,
bisa-bisa nanti anak jadi membangkang karena melakukan hal yang tidak disukai
atau tidak pas di hatinya.
Tapi ibu ga perlu khawatir lagi
bagaimana menanangani anak sekarang, khususnya dalam hal rasa ingin tahunya
yang sangat tinggi (kritis). Ternyata aku menemukan artikel menarik yang
menjelaskan salah satu cara cerdas menangani mereka, yaitu dengan aktif menulis
dan membaca. Begini liputannya:
Ibu yang suka menulis merupakan
salah satu tanda ibu yang suka membaca. Meski ada juga kemungkinan ibu yang
suka menulis namun jarang membaca. Ibu yang suka membaca menjadi gudang ilmu
bagi anaknya. Ibarat sekolah sebagai pusat belajar bagi anak mengenai banyak
hal, maka ibu adalah guru yang mengajarkan banyak ilmu. Karena itu, ibu adalah
sekolah pertama bagi anaknya di mana seharusnya anak mendapatkan lebih banyak
ilmu di awal mereka belajar.
Ibu yang suka menulis sekaligus
hobi membaca dapat menjadi tempat menumpahkan dahaga anak yang serba ingin
tahu. Bayangkan bila di tengah dahaganya, anak yang sedang kritis, mereka tidak
mendapatkan pencerahan atau tidak mendapatkan apa yang ingin diketahuinya. Apa
yang akan terjadi? Ada dua hal:
Pertama, anak akan bosan
bertanya pada sang Bunda karena selalu mendapatkan jawaban, "Eeeeeeemmmm"
dengan kening mengerut atau "Bunda tidak tahu". Ketika pertanyaan
anak tak terjawab, maka keingintahuannya melemah. Anak akan malas bertanya lagi
pada ibunya. Akhirnya mengubah haluan bertanya pada dirinya sendiri, bukan lagi
pada ibu.
Kedua, anak mulai mencari tahu
dengan caranya sendiri. Ini bisa dilakukannya dengan membaca atau paling cepat
bertanya pada temannya. Nah, bagaimana bila temannya sama-sama tidak tahu?
Tentu anak akan bingung. Lalu bagaimana jika temannya sok tahu dan memberikan
jawaban salah? Anak akan menjadi salah mengartikan. Mereka mendapatkan jawaban
yang salah sehingga akhirnya menghasilkan persepsi yang juga salah. Hal inilah
yang kerap terjadi di dunia anak.
Anak Mau Tahu
dan Ibu Serba Tahu
Kebiasaan menulis dan membaca
seorang ibu akan membuat anak terbiasa dengan pemandangan keseharian ibu yang
positif. Apa yang ibu baca akan memunculkan keingintahuan anak, "Ibu
sedang baca apa?" Lantas ibu akan menerangkan dengan cara yang menarik.
Jadi, aktivitas ibu suka
menulis bukan hanya menumpahkan ilmu dan keingintahuan ibu sendiri akan
sesuatu. Hal ini juga berdampak pada anak yang semakin kritis bertanya. Karena
anak ibaratnya memeroleh gizi dari setiap jawaban yang diberikan ibu.
Semakin anak ingin tahu dan
mulai bertanya ini-itu, ibu pun tak kalah serunya menjawab pertanyaan anak
dengan cara yang menarik. Hubungan antara ibu dan anak menjadi interaktif dan
terjadilah simbiosis mutualisme. Anak akan bertanya apa saja dan ibu juga akan
menjawabnya dengan cara yang berkelas. Anak menjadi kritis! Anak yang kritis
ini merupakan cerminan dari kritisnya sang ibu.
Meski ibu gudangnya ilmu, namun
tak semua ilmu ibu ketahui. Pada ibu-ibu yang doyan nulis, ketika ada
pertanyaan anak yang tidak diketahui jawabannya, ibu tidak mudah panik atau
grogi, misalnya saat anak bertanya tentang seks. Ibu yang berwawasan akan
menjawabnya lebih cerdas, misalnya, "Baiklah, kita cari sama-sama, yuk,
jawabannya di buku atau di Google." Akhirnya, ibu dan anak pun akan belajar
bersama mencari jawabannya.
Pola ini lebih baik dibandingkan ibu yang sok tahu dengan menjawab semua pertanyaan anak meski jawabannya salah. Hal ini tentu akan menyesatkan.
Pola ini lebih baik dibandingkan ibu yang sok tahu dengan menjawab semua pertanyaan anak meski jawabannya salah. Hal ini tentu akan menyesatkan.
Ibu Kritis,
Anak pun Kritis
Ibu yang tidak menulis bukan
berarti anaknya menjadi tidak kritis. Anak tetap bisa menjadi kritis karena
memang di usianya rasa ingin tahunya sangat melangit. Ibu yang tidak suka
menulis tetap dapat membuat anaknya kritis jika ibu mampu menjawab apa pun
pertanyaan anak.
Sekalipun pertanyaan-pertanyaan
anak kelihatannya sepele atau terlalu sulit dijawab dan seringkali membuat ibu
merasa jengkel. Misalnya, "Kenapa kalau siang itu terang?" atau
"Darimana asalku?" Hal ini sebetulnya sesuai dengan teori psikologi
perkembangan anak. Bisa dilihat dari se-kritis apa anak menyampaikan isi
pikirannya melalui kata apa dan mengapa. Mereka sedang melihat sesuatu yang
tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan.
Adakalanya ketika anak mengajukan pertanyaan kritis, kerap
kali kondisinya tak matching dengan
orangtua. Misalnya, anak memberikan pertanyaan dengan kata mengapa, sementara
kondisi ibu sedang lelah atau bosan sehabis mengurus rumah, sehingga bisa jadi
ibu tidak tahu harus menjawabnya. Akibatnya, bukan jawaban yang diperoleh anak,
melainkan anak mendapatkan luapan emosi sang ibu. Akhirnya, sikap kritis anak
berubah haluan menjadi "pertanyaan yang menumpuk di kepala".
Jadi, dalam hal ini, untuk kritis harus ada dua orang, yaitu ibu dan anak, bukan hanya salah satu pihak saja. Anak harus memiliki tempat nyaman untuk bertanya dan ibu juga bisa nyaman berbagi ilmu yang ada dalam pikirannya. Anak yang kritis akhirnya akan bertemu ibu yang kritis. Inilah yang membuat anak akan terus terangsang mengembangkan sikap kritisnya didampingi sang ibu. Luar biasa, bukan?
Jadi, dalam hal ini, untuk kritis harus ada dua orang, yaitu ibu dan anak, bukan hanya salah satu pihak saja. Anak harus memiliki tempat nyaman untuk bertanya dan ibu juga bisa nyaman berbagi ilmu yang ada dalam pikirannya. Anak yang kritis akhirnya akan bertemu ibu yang kritis. Inilah yang membuat anak akan terus terangsang mengembangkan sikap kritisnya didampingi sang ibu. Luar biasa, bukan?
(Tabloid Nakita/Indari Mastuti, penulis buku Mompreneur dan pendiri Komunitas Ibu Doyan Nulis)
Sumber: Kompas.com
Nah,
artikel ini sangat pas buatku yang juga senang nulis dan sedang bersiap menjadi
seorang ibu, kira-kira dua tahun lagi, hehehe...
Menulis
dan membaca memang memberi banyak manfaat. Senang rasanya kalau dari membaca
dan menulis bisa tambah pengetahuan, sharing pengalaman, terlebih kalau
tulisanku bisa menginspirasi dan disukai banyak orang. I love writing and reading very much!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar