PERHATIAN! Demi melindungi privasi, tulisan ini merahasiakan beberapa info
dan data dari para pelaku di dalamnya. Jika ada ketidakjelasan hari, tanggal,
tempat, tujuan, dan hal-hal lain, ini merupakan kesengajaan.
Minggu lalu, aku punya
teman baru. Berawal dari tujuan melengkapi beberapa syarat administratif, aku
menuju sebuah kantor di Jalan Manyar itu. Kebetulan aku ditemui oleh seorang
pria muda yang rapi, dan... well, aku
akui dia good looking. Sebut aja
namanya Sendy. Setelah ngobrol menanyakan hal-hal yang harus aku lengkapi, dia
berjanji, ”Nanti saya hubungi kalau jadi, ya...” Lalu kami bertukar nomor HP
agar lebih mudah berkomunikasi.
Beberapa hari berlalu
tanpa kabar, aku follow up
perkembangan administrasiku ke Sendy lewat SMS. Satu kali, ga dibales.
Besoknya, aku kirim SMS lagi. Ga dibales lagi! Akhirnya setelah hampir ngirim
SMS ketiga, dia menghubungi aku. Katanya, administrasi yang aku urus sudah
selesai. Oke, lega, case closed.
Setelah itu, aku ga
pernah nyangka kalau obrolan dengan Sendy bakal berlanjut. Perkiraanku sih, mungkin
karena aku keukeuh banget nanya, dia jadi terkesan: gigih banget ini orang,
haha... (aku nulis begini karena belum konfirmasi ke dia bener atau ga. Peace, Sen! Y^_^Y)
Dia memang baik dan
sebab utama obrolan kami bisa nyambung adalah karena kami lulusan fakultas yang
sama dan berprofesi sama. Awalnya aku manggil dia ”Pak” untuk menunjukkan
penghormatan, padahal sebenernya dia ga pantes dipanggil ”Pak”. Mungkin dia
cuma lebih tua 1-2 tahun dari aku. Suasana mulai cair saat dia bilang, ”Jangan
panggil Pak ah, panggil aja Sendy”. Jadi kami biasa ngobrol lewat Whatsapp,
bertukar info tentang kerjaan. Gimana kerjaanmu disana? Ngapain aja? Kalau aku
di sini seperti ini, bla.. bla.. bla... Oh, kamu disana kayak gitu?
Yah, begitulah. Seru aja, karena pada dasarnya aku memang suka menambah teman, suka
belajar dan memperluas pengetahuan, apalagi dari orang baru.
Lama-lama, obrolan kami
ga cuma soal kerjaan lagi. Mulai seru-seruan, saling mengorek
informasi pribadi. Suatu hari, dia bilang kalau bisa ilmu grafologi
(membaca tulisan tangan dan tanda tangan untuk menentukan kepribadian seseorang).
Wah, aku juga pernah baca tentang grafologi, jadi tau
sedikit-sedikit. Bisa grafologi memang menunjang profesi kami yang banyak
berhubungan dengan orang. Ilmu grafologi itu sangat menarik dan aku memang
sudah lama mau belajar lebih lanjut, mau menekuni, juga karena profesi sebagai
seorang Grafolog masih jarang ada di Indonesia. Tapi pertimbangannya, kursus
grafologi itu mahal banget! Jadi selama ini aku cuma belajar dari internet.
Nah, mumpung punya temen yang (ngakunya) bisa grafologi, apa salahnya belajar
dari dia? Aji mumpung. Hehe...
Untunglah, dia juga punya pikiran yang sama
dengan aku. Jadi kami mau belajar bareng. Dari situ nanti bisa sharing pengetahuan, karena yang aku tau
belum tentu dia tau, dan sebaliknya, sekaligus meyakinkan: bener ga sih
grafologi yang aku pelajari dari internet itu?
Pada hari dan jam yang
telah disepakati bersama, kami ketemuan di suatu tempat. Ini bukan kencan, lho!
Ini adalah ”belajar bersama”, hahaa... (kayak anak sekolah aja)
Minta kertas dan pinjam
pulpen dari waiter-nya, aku tanda
tangan, lalu minta dianalisa. Hasilnya:
Katanya aku punya
”sense of art” yang tinggi >>
Betul.
Katanya aku mempunyai
kekaguman pada orang tua >> Betul.
Katanya aku punya emosi
yang besar (bisa positif ataupun negatif), tapi masih bisa menyalurkan dengan
baik dan dikontrol oleh rasio (misalnya apa yang aku lakukan untuk emosi ini)
>> Betul.
Katanya aku masih sering
mengingat masa lalu, dan walaupun masa lalu itu berakhir dengan baik, masih
menyisakan ’sesal’ atau ’tanda tanya’ yang ga pernah bisa tuntas. Kalau
berakhir dengan ga menyenangkan, bisa menimbulkan kekecewaan dan ’dendam’ yang
harus dipenuhi >> Bisa jadi.
Katanya dalam hal
menyelesaikan masalah, aku cenderung kurang mantap dan kurang stabil >>
Kadang-kadang.
Katanya aku punya
kebutuhan yang tinggi untuk dilindungi >> Betul.
Hmm, interesting! Dia ungkapkan lebih banyak
dari itu, memang ga semua betul 100%, malah ada yang salah (ga aku cantumkan
soalnya lupa). Aku kagum sama pengetahuannya. Waktu gantian aku coba analisa
tanda tangannya, syukurlah ternyata info yang aku dapat dari internet itu cukup
akurat. Walaupun aku ga bisa menjelaskan sebanyak dia, tapi dia mengakui kalau
cocok dengan kepribadiannya. Seneng banget, soalnya belum terlalu kenal, jadi
belum tau pribadinya seperti apa, tapi lewat tanda tangan bisa dianalisa dan
lumayan sesuai. Keren! ^_^
Didorong oleh keinginan
yang kuat untuk bisa, aku jadi minta diajari, bagian-bagian mana yang bisa
membuat dia menganalisa pribadiku seperti itu. Sambil guyon, dia bilang,
”Belajar ini biayanya mahal, lho! Kamu bisa bayar ga?” haha...
Ternyata sama kayak
aku, dia ga belajar grafologi secara khusus yang membutuhkan biaya mahal itu.
Dia belajar grafologi dengan cara menggabungkan berbagai interpretasi dari tes
grafis psikologi. Kalau kalian dipsikotes, pasti diminta menggambar sesuatu. Bisa
orang, pohon, atau orang-rumah-pohon, bisa juga melengkapi gambar dari bagian
yang sudah ada, kan? Nah, secara psikologi, semua gambar itu bisa
diinterpretasikan sebagai kepribadian seseorang. Setiap tarikan garis, lengkungan,
titik, arsiran, coretan, proporsi gambar, penekanan, bahkan bekas yang
tertinggal akibat hapusan pensil pun bisa dianalisa. Wow, kalau dia bisa
belajar sendiri dengan menggabungkan interpretasi dari tes grafis, itu
mengagumkan, soalnya pasti ga gampang. Analisa tes grafis ga boleh sembarangan,
harus hati-hati banget, teori harus kuat, dan pastinya grafologi juga gitu.
Bahkan, para Grafolog yang aku tau, sampai pakai kaca pembesar dan penggaris
waktu menganalisa tanda tangan atau tulisan seseorang. Keren! ^_^
Setelah Sendy
menjabarkan bagian-bagian dari tanda tanganku berikut penjelasannya, aku masih
penasaran pengen belajar. ”Ayo sekarang yang tulisan tangan. Kamu analisa
tulisanku, ya...”
”Aku ga bisa kalau
tulisan tangan. Aku bisanya cuma tanda tangan.”
Hah? Aku kaget waktu
dia bilang gitu. Heran jadinya, bukannya itu satu kesatuan, ya? Mungkin karena dia belajarnya dari tes grafis aja, jadi cuma bisa
menerjemahkan yang tanda tangan.
Kalau gitu, gantian aku
yang beraksi, haha... Setelah dia nulis beberapa kalimat, aku coba
menganalisanya. Yeah, akurat juga! Yaa, tetep ada yang salah, tapi sekali lagi,
aku cukup bangga akan hasilnya. Hehehe...
”Kamu kok ga mau tau
sih, dari bagian mana aku bisa analisa kayak gitu?” tanyaku saat melihat dia ga
bereaksi antusias pengen tau.
”Ga, aku memang ga mau
tau kok,” katanya tapi dengan tampang cengengesan.
”Oooh, curang. Ga mau
bayar, ya?”
”Hahahaa...” dia
ketawa.
Apa jangan-jangan emang
dia udah bisa jadi ga perlu dikasih tau...
Terakhir, aku unjuk
kemampuan lain: membaca garis tangan. Aku juga belajar otodidak, dari buku. Ketika
telapak tangannya terentang di hadapanku, dari garis-garisnya aku melihat bahwa, "Wah, kamu
orangnya tenang banget!”
”Iya, bener,” balasnya
ngangguk-angguk.
Mencoba analisa yang
lain lagi, ternyata kecenderungannya masih sesuai. Wah,
lama-lama aku bisa jadi dukun beneran ini. Amiinn *eh?
Dua jam nongkrong, ngobrol, makan, dan belajar
grafologi. Nice experience with new
friend.
Aku bersyukur karena
Tuhan merancangkan ini semua. Saat lagi antusias dengan
grafologi, eh kenalan dengan orang baru yang ternyata bisa grafologi. Sendy orangnya
asyik, seru, ramah, mbanyol, dan ga pelit berbagi ilmu. Walaupun dia lebih pinter
grafologinya daripada aku (tapi dia ga mengakui kalau dia pinter), dia menerima
masukan saat aku berpendapat, misalnya ”Setauku di tanda tangan itu ga boleh
ada lingkaran, soalnya menunjukkan sifat
posesif atau over protektif...”
”Oya? Bisa jadi referensi
tuh... Coba ntar aku cari tau juga.”
Jadi memang bener, jika diibaratkan diri kita adalah
gelas yang penuh berisi air, ketika kita ga membiarkan air itu dituang ke
tempat lain, kita ga akan pernah diisi dengan air baru. Lewat teman baruku,
aku menyemangati diri sendiri untuk
menjadi manusia baik yang bermanfaat bagi orang lain.
Keep
moving, keep challenging, keep improving!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar