Sabtu, 19 Oktober 2013, adalah saat aku harus bilang selamat tinggal pada rekan-rekanku di kantor, Sasana Artha Finance. Selama dua tahun 7 bulan bekerja di SAF, aku sudah mengalami banyak proses, pembelajaran, kebersamaan, dan segala suka-duka.
Flashback,
Maret 2011
Aku
diterima bekerja di SAF dengan jabatan HRD. Surprise
juga saat dibawa kenalan keliling kantor oleh partnerku, Mbak Dwi, waktu itu. First impression: wow, orangnya banyak
banget! Kok banyak cowoknya? Kok mukanya tua-tua? Hehe... Secara umum sih cukup
terkesan dengan fisik kantornya, fasilitasnya oke, juga keberagaman manusia
yang ada disini.
Beda
dari kerjaanku sebelumnya sebagai editor dan penulis di media penerbitan buku,
HRD merupakan suatu hal baru. Aku belajar mulai dari hal sederhana seperti
meng-update dan mengelola data-data
karyawan, merekap presensi dan izin, menghitung cuti, hingga yang agak ribet
seperti memeriksa dan memproses klaim medical,
klaim rumah sakit, klaim perjalanan dinas; memproses lembur; kontrak kerja
karyawan (buat baru, perpanjangan, jatuh temponya); berbagai hal yang
berhubungan dengan pihak luar seperti psikotes, tes kesehatan, dan asuransi;
serta tugas-tugas lainnya. Aku juga belajar mengoperasikan program yang
dimiliki kantor yaitu PGA (Personal and
General Affairs) dan EMF (E-Multi
Finance). Segala laporan yang berkaitan dengan ketenaga kerjaan diproses
dari program itu. Aku rasa PGA memang membantu meringankan kerjaan, tapi bisa
juga membuat sebel luar biasa kalau pas muncul lemotnya, bahkan eror!
Satu
bulan bekerja, aku masih adaptasi, ternyata Mbak Dwi resign. Otomatis aku mengambil alih kerjaannya. Sebenernya Mbak Dwi
menangani HRD dan GA, tapi mungkin karena aku masih baru, sementara kerjaan HRD
dan GA cukup banyak, akhirnya si bos memilihkan rekan kerja buatku, yaitu Mbak
Tri (jangan-jangan ntar kalau Mbak Tri resign,
penggantinya Mbak Catur, lalu Mbak Panca, dan seterusnya. Hahaa...) Jadi aku
fokus ke penanganan SDM dan hubungannya di dalam kantor, sedangkan Mbak Tri
sebagai GA menangani hal yang berhubungan dengan SDM bersama pihak luar,
seperti pajak, barang cetakan, akomodasi dan transportasi kalau ada training,
dan sebagainya.
Sepeninggalan
Mbak Dwi, bagai anak ayam kehilangan induk, aku sempat bingung karena kalau ga
ngerti, nanya ke siapa? Masa dikit-dikit ngetok pintu ruangan si Bapak buat
nanya? Tapi, di kantor juga ada personalia namanya Mbak Dina. Kalau aku dan
Mbak Tri mengurusi karyawan SAF seluruh cabang di Indonesia, Mbak Dina ini
khusus personalia kantor cabang Surabaya. Thanks
God, masih ada Mbak Dina, jadi masih bisa tanya-tanya kalau ada yang ga
dimengerti.
Hari
demi hari berlalu di SAF, ternyata HRD ga se-ribet yang kubayangkan sebelumnya.
Mungkin karena kerjaanku lebih ke arah administrasinya, filing dokumen, rekap-rekap, dan semacamnya. Aku punya banyak temen
HRD (awalnya temen waktu kuliah), lalu sering sharing pengalaman kerja. Ada temenku yang tanya, “Kamu bisa
ngitung Jamsostek? Prosesnya gimana gitu?”
“Ga
bisa. Cuma daftarin awal aja.”
“Bisa
payroll?”
“Ga
bisa. Itu ditangani sama bos di Jakarta.”
“Interview?
Psikotes?”
“Ga
juga.”
“Wow,
lha terus kerjaanmu apa?”
Hahaha...
Aku tau temenku cuma bercanda. Tapi berdasarkan itu, aku jadi mikir, ternyata
banyak hal ketenaga kerjaan yang belum aku pahami. Bayangan awalku, HRD itu
dijadikan tumpuan penyelesaian setiap persoalan karyawan, seperti kalau ada
pelanggaran kedisiplinan, rendahnya kinerja, ada yang mengundurkan diri,
kekacauan perhitungan lembur, persetujuan gaji, serta keputusan-keputusan lain
yang menyangkut kepegawaian. Akibatnya, HRD terkesan seperti “polisi”-nya
karyawan, yang tugasnya mengawasi aduan/pelanggaran/tuntutan, lalu
menertibkannya. Padahal sebenarnya, HRD harus jadi penengah antara kepentingan
karyawan dengan perusahaan, harus punya tanggung jawab moral untuk mengatakan
“yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah”, baik untuk perusahaan
maupun karyawan. Atau HRD juga bisa menjadi seperti “Santa Claus”, yang disanjung
karena memberikan anugerah berupa bonus atau kenaikan gaji? Sebaliknya, bila ga
ada bonus atau kenaikan gaji, berarti juga “dosa” HRD? HRD pun bisa menjadi
sasaran umpatan atau -parahnya- menjadi “musuh bersama”, bila ada kebijakan
perusahaan yang merugikan karyawan. Hmmm, kayaknya selama di SAF aku ga pernah ngrasain
itu semua deh, haha! Adem ayem aja nih kerjaan... Bukannya minta ada masalah,
tapi nothing more challenging...
Kadang
yang membuat agak repot adalah waktu ditelepon pihak bank, seperti ini:
“Halo,
ini HRD, ya? Bisa minta alamatnya si X? Nomer telepon terbarunya? Soalnya dia ga
bayar tagihannya. Di rumahnya ga ada, ditelepon ga aktif, bla.. bla.. bla..”
“Karyawan
X sudah resign, Pak. Saya tidak tau
ada update info terbaru dari dia.”
“Masa
ga ada nomer teleponnya? Anda jangan bersekongkol menyembunyikan orang ini lho
ya!”
Buseett,
sapa yang mau menyembunyikan orang?? Lebay deh ni orang...
Atau
pernah juga begini:
“Halo,
ini HRD, ya?” Bilang sama karyawan Anda si Q, maling itu. Dia sudah ga bayar
utang 3 kartu kreditnya, totalnya ada (xxx) juta! Gimana Anda sebagai HRD kalau
karyawan Anda seperti itu? Bilangin ya, suruh transfer hari ini juga! Kalau ga,
bla..bla..bla...”
Hadeh...
“Iya, saya sampaikan,” kataku sama si orang bank itu.
Jadi
itulah HRD yang ga cuma bisa direpoti sama karyawan (rekan kerja) sendiri, tapi
juga ikut diomeli orang lain, padahal ga tau-menau masalahnya. Bukan repot
mengurusi penyelesaian masalah antara si karyawan dengan pihak bank, tapi
karena harus mendengarkan orang bank yang ngomel-ngomel di telepon, kadang
masih aja ngotot ga percaya walau udah dibilangi.
Berkutat
dengan hal yang sama setiap hari, pasti semua orang pernah merasa bosan sama
kerjaannya. Ketika bosan melanda, aku mulai galau dan mempertanyakan "Aku: Editor atau HRD?" Untungnya kawan-kawan di sini baik, lucu-lucu, jadi masih ada
hiburan dengan cara ngobrol lewat chating
di YM, hehe... Lalu aku bersyukur karena diberi kesempatan untuk dinas ke
Jakarta. Setidaknya udah membantu mengatasi rasa bosan karena tinggal di
lingkungan yang baru. Tanggal 10-31 Desember 2012, aku bertugas di kantor
Jakarta. Seru juga! Kenalan sama orang-orang di kantor sana, janji ketemuan
sama temen lama yang kerja di Jakarta, jalan-jalan, mencoba makanan-makanan
baru, asik deh pokoknya! Malah sebelum pulang, salah satu bos disana bilang,
“Lho, pulang? Bukannya mutasi dari Surabaya kesini?”
“Ooo...
Siap, Pak. Asal ada penyesuaian jadi berapa (gajinya)?” hehehe...
Januari
2013, mengapa hal ini terjadi: Mbak Dina resign!
Waduuh... Tiada lagi tumpuan pertanyaanku. Setelah Mbak Dina resign, kerjaan personalia Surabaya jadi
melimpah ke aku. Susyahnya, kenapa kantor ga cari pengganti? Aku jadi
dobel-dobel kerjaan. Bukannya ga mau, bukannya mengeluh, tapi aku minta naik
gaji 2x lipat dong! Hehehe... Syukurlah badai segera berlalu. Mulai April,
salah satu karyawan dirotasi menjadi personalia, Mbak Maria. Aku udah cukup
menguasai sistem kerja personalia, jadi bisa mengajari sekaligus mengembalikan
kerjaannya Mbak Dina dulu ke dia.
Sampai
terjadilah peristiwa "Kecelakaan Menjadi Pengubah Semangat" itu. Lebih dari dua
bulan absen dari kerjaan, begitu masuk aku kaget oleh perubahan dari EMF ke
program baru, Confins. Sistem kerja HRD juga berubah. Aku yang dulunya laporan
cuma 1 bulan sekali di awal, sekarang bisa 3x: awal, tengah, dan akhir bulan.
Form laporan berubah, sistem pembayaran klaim (medical, rumah sakit, perjalanan dinas) berubah, pokoknya sangat
banyak perubahan. Butuh kesabaran ekstra saat menghadapinya, soalnya selain
lebih ribet, aku kan juga belum fit 100%, jadi ga boleh terlalu capek. Bener
aja, pasca perubahan sistem, kerjaanku jadi tambah banyak. Alurnya lebih
panjang, menuntut follow up yang
kontinyu. Ditambah sistem recruitment
swadaya dimulai, berupa psikotes. Jadi mulai banyak ngetes calon karyawan. Belum
lagi kalau dikomplain sama yang ngeklaim karena klaimnya ga dibayar. “Waduh,
Pak/Bu, saya tuh udah laporan soal klaimnya. Lha yang transfer kan bukan saya,
tapi pihak Jakarta. Jadi saya ga tau kalau belum dibayar sampai sekarang...”
Frustasi
juga lama-lama... (=___=”!)
Alhasil,
setelah 3 bulan menghadapi rutinitas yang lebih sibuk dan complicated, kesehatanku drop lagi. Dokter menyarankan aku untuk
lebih banyak istirahat. Memikirkan dampak jangka panjang untuk kesehatan, akhirnya
aku mengambil keputusan ini...
Sama
seperti waktu memutuskan untuk resign
dari kantor yang lama, keluar dari zona nyaman yang telah membesarkan semangatku
selama ini sangatlah amat sulit! Ada ketakutan tersendiri. Tapi aku kan masih
muda dan single (:but not available), jadi HARUS BERANI mengepakkan sayap dan menyongsong
kehidupan baru di luar sana yang lebih menantang. SAF udah memberikan banyak ilmu
dan pengalaman, dari aku yang ga tau apa-apa, belajar semua sistem HRD dari
nol, sekarang udah tau gimana HRD itu, dengan segala kompleksitas yang ada.
Terima
kasih buat kalian semua, baik yang di Surabaya maupun di cabang lain, atas
kerjasama dan persahabatan yang kita jalin selama ini. Maafin ya kalau ada
salah-salah kata dan perbuatan, karena kita ini ga sempurna (Sempurna itu hanya
milik Gita Gutawa dan Andra & The Backbone).
Terakhir,
aku mau sharing salah satu lagu
favoritku. Aku tau keadaannya memang lagi ga mudah. Lagu ini selalu berhasil
menyemangati aku, di kala aku jatuh dan merasa hopeless...
There’s
a hero, if you look inside your heart
You
don’t have to be afraid, of what you are...
There’s
an answer, if you reach into your soul
And
the sorrow that you know will melt away...
And
then a hero comes along, with the strength to carry on
And
you cast your fears aside, ‘cause you know you can survive!
So when you feel like hope is gone, look inside you
and be strong!
And
you’ll finally see the truth, that a hero lies in you!
Lord
knows, dreams are hard to follow,
But
don’t let anyone tear them away...
Hold
on, there will be tomorrow,
In
time, you’ll find the way!
(Hero
~~ Mariah Carey)
Tetep
semangat yaa, teman-teman! ^_____^
Goodbye, SAF. You’ll always be in my heart...
![]() |
Ini akan menjadi kenangan :) |