Senin, 21 Oktober 2013

Farewell SAF!


Sabtu, 19 Oktober 2013, adalah saat aku harus bilang selamat tinggal pada rekan-rekanku di kantor, Sasana Artha Finance. Selama dua tahun 7 bulan bekerja di SAF, aku sudah mengalami banyak proses, pembelajaran, kebersamaan, dan segala suka-duka.

Flashback, Maret 2011
Aku diterima bekerja di SAF dengan jabatan HRD. Surprise juga saat dibawa kenalan keliling kantor oleh partnerku, Mbak Dwi, waktu itu. First impression: wow, orangnya banyak banget! Kok banyak cowoknya? Kok mukanya tua-tua? Hehe... Secara umum sih cukup terkesan dengan fisik kantornya, fasilitasnya oke, juga keberagaman manusia yang ada disini.

Beda dari kerjaanku sebelumnya sebagai editor dan penulis di media penerbitan buku, HRD merupakan suatu hal baru. Aku belajar mulai dari hal sederhana seperti meng-update dan mengelola data-data karyawan, merekap presensi dan izin, menghitung cuti, hingga yang agak ribet seperti memeriksa dan memproses klaim medical, klaim rumah sakit, klaim perjalanan dinas; memproses lembur; kontrak kerja karyawan (buat baru, perpanjangan, jatuh temponya); berbagai hal yang berhubungan dengan pihak luar seperti psikotes, tes kesehatan, dan asuransi; serta tugas-tugas lainnya. Aku juga belajar mengoperasikan program yang dimiliki kantor yaitu PGA (Personal and General Affairs) dan EMF (E-Multi Finance). Segala laporan yang berkaitan dengan ketenaga kerjaan diproses dari program itu. Aku rasa PGA memang membantu meringankan kerjaan, tapi bisa juga membuat sebel luar biasa kalau pas muncul lemotnya, bahkan eror!

Satu bulan bekerja, aku masih adaptasi, ternyata Mbak Dwi resign. Otomatis aku mengambil alih kerjaannya. Sebenernya Mbak Dwi menangani HRD dan GA, tapi mungkin karena aku masih baru, sementara kerjaan HRD dan GA cukup banyak, akhirnya si bos memilihkan rekan kerja buatku, yaitu Mbak Tri (jangan-jangan ntar kalau Mbak Tri resign, penggantinya Mbak Catur, lalu Mbak Panca, dan seterusnya. Hahaa...) Jadi aku fokus ke penanganan SDM dan hubungannya di dalam kantor, sedangkan Mbak Tri sebagai GA menangani hal yang berhubungan dengan SDM bersama pihak luar, seperti pajak, barang cetakan, akomodasi dan transportasi kalau ada training, dan sebagainya.

Sepeninggalan Mbak Dwi, bagai anak ayam kehilangan induk, aku sempat bingung karena kalau ga ngerti, nanya ke siapa? Masa dikit-dikit ngetok pintu ruangan si Bapak buat nanya? Tapi, di kantor juga ada personalia namanya Mbak Dina. Kalau aku dan Mbak Tri mengurusi karyawan SAF seluruh cabang di Indonesia, Mbak Dina ini khusus personalia kantor cabang Surabaya. Thanks God, masih ada Mbak Dina, jadi masih bisa tanya-tanya kalau ada yang ga dimengerti.

Hari demi hari berlalu di SAF, ternyata HRD ga se-ribet yang kubayangkan sebelumnya. Mungkin karena kerjaanku lebih ke arah administrasinya, filing dokumen, rekap-rekap, dan semacamnya. Aku punya banyak temen HRD (awalnya temen waktu kuliah), lalu sering sharing pengalaman kerja. Ada temenku yang tanya, “Kamu bisa ngitung Jamsostek? Prosesnya gimana gitu?”
“Ga bisa. Cuma daftarin awal aja.”
“Bisa payroll?”
“Ga bisa. Itu ditangani sama bos di Jakarta.”
“Interview? Psikotes?”
“Ga juga.”
“Wow, lha terus kerjaanmu apa?”

Hahaha... Aku tau temenku cuma bercanda. Tapi berdasarkan itu, aku jadi mikir, ternyata banyak hal ketenaga kerjaan yang belum aku pahami. Bayangan awalku, HRD itu dijadikan tumpuan penyelesaian setiap persoalan karyawan, seperti kalau ada pelanggaran kedisiplinan, rendahnya kinerja, ada yang mengundurkan diri, kekacauan perhitungan lembur, persetujuan gaji, serta keputusan-keputusan lain yang menyangkut kepegawaian. Akibatnya, HRD terkesan seperti “polisi”-nya karyawan, yang tugasnya mengawasi aduan/pelanggaran/tuntutan, lalu menertibkannya. Padahal sebenarnya, HRD harus jadi penengah antara kepentingan karyawan dengan perusahaan, harus punya tanggung jawab moral untuk mengatakan “yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah”, baik untuk perusahaan maupun karyawan. Atau HRD juga bisa menjadi seperti “Santa Claus”, yang disanjung karena memberikan anugerah berupa bonus atau kenaikan gaji? Sebaliknya, bila ga ada bonus atau kenaikan gaji, berarti juga “dosa” HRD? HRD pun bisa menjadi sasaran umpatan atau -parahnya- menjadi “musuh bersama”, bila ada kebijakan perusahaan yang merugikan karyawan. Hmmm, kayaknya selama di SAF aku ga pernah ngrasain itu semua deh, haha! Adem ayem aja nih kerjaan... Bukannya minta ada masalah, tapi nothing more challenging...

Kadang yang membuat agak repot adalah waktu ditelepon pihak bank, seperti ini:
“Halo, ini HRD, ya? Bisa minta alamatnya si X? Nomer telepon terbarunya? Soalnya dia ga bayar tagihannya. Di rumahnya ga ada, ditelepon ga aktif, bla.. bla.. bla..”
“Karyawan X sudah resign, Pak. Saya tidak tau ada update info terbaru dari dia.”
“Masa ga ada nomer teleponnya? Anda jangan bersekongkol menyembunyikan orang ini lho ya!”
Buseett, sapa yang mau menyembunyikan orang?? Lebay deh ni orang...
Atau pernah juga begini:
“Halo, ini HRD, ya?” Bilang sama karyawan Anda si Q, maling itu. Dia sudah ga bayar utang 3 kartu kreditnya, totalnya ada (xxx) juta! Gimana Anda sebagai HRD kalau karyawan Anda seperti itu? Bilangin ya, suruh transfer hari ini juga! Kalau ga, bla..bla..bla...”
Hadeh... “Iya, saya sampaikan,” kataku sama si orang bank itu.
Jadi itulah HRD yang ga cuma bisa direpoti sama karyawan (rekan kerja) sendiri, tapi juga ikut diomeli orang lain, padahal ga tau-menau masalahnya. Bukan repot mengurusi penyelesaian masalah antara si karyawan dengan pihak bank, tapi karena harus mendengarkan orang bank yang ngomel-ngomel di telepon, kadang masih aja ngotot ga percaya walau udah dibilangi.

Berkutat dengan hal yang sama setiap hari, pasti semua orang pernah merasa bosan sama kerjaannya. Ketika bosan melanda, aku mulai galau dan mempertanyakan "Aku: Editor atau HRD?" Untungnya kawan-kawan di sini baik, lucu-lucu, jadi masih ada hiburan dengan cara ngobrol lewat chating di YM, hehe... Lalu aku bersyukur karena diberi kesempatan untuk dinas ke Jakarta. Setidaknya udah membantu mengatasi rasa bosan karena tinggal di lingkungan yang baru. Tanggal 10-31 Desember 2012, aku bertugas di kantor Jakarta. Seru juga! Kenalan sama orang-orang di kantor sana, janji ketemuan sama temen lama yang kerja di Jakarta, jalan-jalan, mencoba makanan-makanan baru, asik deh pokoknya! Malah sebelum pulang, salah satu bos disana bilang, “Lho, pulang? Bukannya mutasi dari Surabaya kesini?”
“Ooo... Siap, Pak. Asal ada penyesuaian jadi berapa (gajinya)?” hehehe...

Januari 2013, mengapa hal ini terjadi: Mbak Dina resign! Waduuh... Tiada lagi tumpuan pertanyaanku. Setelah Mbak Dina resign, kerjaan personalia Surabaya jadi melimpah ke aku. Susyahnya, kenapa kantor ga cari pengganti? Aku jadi dobel-dobel kerjaan. Bukannya ga mau, bukannya mengeluh, tapi aku minta naik gaji 2x lipat dong! Hehehe... Syukurlah badai segera berlalu. Mulai April, salah satu karyawan dirotasi menjadi personalia, Mbak Maria. Aku udah cukup menguasai sistem kerja personalia, jadi bisa mengajari sekaligus mengembalikan kerjaannya Mbak Dina dulu ke dia.

Sampai terjadilah peristiwa "Kecelakaan Menjadi Pengubah Semangat" itu. Lebih dari dua bulan absen dari kerjaan, begitu masuk aku kaget oleh perubahan dari EMF ke program baru, Confins. Sistem kerja HRD juga berubah. Aku yang dulunya laporan cuma 1 bulan sekali di awal, sekarang bisa 3x: awal, tengah, dan akhir bulan. Form laporan berubah, sistem pembayaran klaim (medical, rumah sakit, perjalanan dinas) berubah, pokoknya sangat banyak perubahan. Butuh kesabaran ekstra saat menghadapinya, soalnya selain lebih ribet, aku kan juga belum fit 100%, jadi ga boleh terlalu capek. Bener aja, pasca perubahan sistem, kerjaanku jadi tambah banyak. Alurnya lebih panjang, menuntut follow up yang kontinyu. Ditambah sistem recruitment swadaya dimulai, berupa psikotes. Jadi mulai banyak ngetes calon karyawan. Belum lagi kalau dikomplain sama yang ngeklaim karena klaimnya ga dibayar. “Waduh, Pak/Bu, saya tuh udah laporan soal klaimnya. Lha yang transfer kan bukan saya, tapi pihak Jakarta. Jadi saya ga tau kalau belum dibayar sampai sekarang...”
Frustasi juga lama-lama... (=___=”!)

Alhasil, setelah 3 bulan menghadapi rutinitas yang lebih sibuk dan complicated, kesehatanku drop lagi. Dokter menyarankan aku untuk lebih banyak istirahat. Memikirkan dampak jangka panjang untuk kesehatan, akhirnya aku mengambil keputusan ini...
Sama seperti waktu memutuskan untuk resign dari kantor yang lama, keluar dari zona nyaman yang telah membesarkan semangatku selama ini sangatlah amat sulit! Ada ketakutan tersendiri. Tapi aku kan masih muda dan single (:but not available), jadi HARUS BERANI mengepakkan sayap dan menyongsong kehidupan baru di luar sana yang lebih menantang. SAF udah memberikan banyak ilmu dan pengalaman, dari aku yang ga tau apa-apa, belajar semua sistem HRD dari nol, sekarang udah tau gimana HRD itu, dengan segala kompleksitas yang ada.

Terima kasih buat kalian semua, baik yang di Surabaya maupun di cabang lain, atas kerjasama dan persahabatan yang kita jalin selama ini. Maafin ya kalau ada salah-salah kata dan perbuatan, karena kita ini ga sempurna (Sempurna itu hanya milik Gita Gutawa dan Andra & The Backbone).

Terakhir, aku mau sharing salah satu lagu favoritku. Aku tau keadaannya memang lagi ga mudah. Lagu ini selalu berhasil menyemangati aku, di kala aku jatuh dan merasa hopeless...

There’s a hero, if you look inside your heart
You don’t have to be afraid, of what you are...
There’s an answer, if you reach into your soul
And the sorrow that you know will melt away...
And then a hero comes along, with the strength to carry on
And you cast your fears aside, ‘cause you know you can survive!
So when you feel like hope is gone, look inside you and be strong!
And you’ll finally see the truth, that a hero lies in you!
Lord knows, dreams are hard to follow,
But don’t let anyone tear them away...
Hold on, there will be tomorrow,
In time, you’ll find the way!
(Hero ~~ Mariah Carey)
  
Tetep semangat yaa, teman-teman! ^_____^
Goodbye, SAF. You’ll always be in my heart...

Ini akan menjadi kenangan :)

Kamis, 10 Oktober 2013

Kejutan Dari Teman Baru

PERHATIAN! Demi melindungi privasi, tulisan ini merahasiakan beberapa info dan data dari para pelaku di dalamnya. Jika ada ketidakjelasan hari, tanggal, tempat, tujuan, dan hal-hal lain, ini merupakan kesengajaan.


Minggu lalu, aku punya teman baru. Berawal dari tujuan melengkapi beberapa syarat administratif, aku menuju sebuah kantor di Jalan Manyar itu. Kebetulan aku ditemui oleh seorang pria muda yang rapi, dan... well, aku akui dia good looking. Sebut aja namanya Sendy. Setelah ngobrol menanyakan hal-hal yang harus aku lengkapi, dia berjanji, ”Nanti saya hubungi kalau jadi, ya...” Lalu kami bertukar nomor HP agar lebih mudah berkomunikasi.

Beberapa hari berlalu tanpa kabar, aku follow up perkembangan administrasiku ke Sendy lewat SMS. Satu kali, ga dibales. Besoknya, aku kirim SMS lagi. Ga dibales lagi! Akhirnya setelah hampir ngirim SMS ketiga, dia menghubungi aku. Katanya, administrasi yang aku urus sudah selesai. Oke, lega, case closed.

Setelah itu, aku ga pernah nyangka kalau obrolan dengan Sendy bakal berlanjut. Perkiraanku sih, mungkin karena aku keukeuh banget nanya, dia jadi terkesan: gigih banget ini orang, haha... (aku nulis begini karena belum konfirmasi ke dia bener atau ga. Peace, Sen! Y^_^Y)
Dia memang baik dan sebab utama obrolan kami bisa nyambung adalah karena kami lulusan fakultas yang sama dan berprofesi sama. Awalnya aku manggil dia ”Pak” untuk menunjukkan penghormatan, padahal sebenernya dia ga pantes dipanggil ”Pak”. Mungkin dia cuma lebih tua 1-2 tahun dari aku. Suasana mulai cair saat dia bilang, ”Jangan panggil Pak ah, panggil aja Sendy”. Jadi kami biasa ngobrol lewat Whatsapp, bertukar info tentang kerjaan. Gimana kerjaanmu disana? Ngapain aja? Kalau aku di sini seperti ini, bla.. bla.. bla... Oh, kamu disana kayak gitu?
Yah, begitulah. Seru aja, karena pada dasarnya aku memang suka menambah teman, suka belajar dan memperluas pengetahuan, apalagi dari orang baru.

Lama-lama, obrolan kami ga cuma soal kerjaan lagi. Mulai seru-seruan, saling mengorek informasi pribadi. Suatu hari, dia bilang kalau bisa ilmu grafologi (membaca tulisan tangan dan tanda tangan untuk menentukan kepribadian seseorang). Wah, aku juga pernah baca tentang grafologi, jadi tau sedikit-sedikit. Bisa grafologi memang menunjang profesi kami yang banyak berhubungan dengan orang. Ilmu grafologi itu sangat menarik dan aku memang sudah lama mau belajar lebih lanjut, mau menekuni, juga karena profesi sebagai seorang Grafolog masih jarang ada di Indonesia. Tapi pertimbangannya, kursus grafologi itu mahal banget! Jadi selama ini aku cuma belajar dari internet. Nah, mumpung punya temen yang (ngakunya) bisa grafologi, apa salahnya belajar dari dia? Aji mumpung. Hehe...
Untunglah, dia juga punya pikiran yang sama dengan aku. Jadi kami mau belajar bareng. Dari situ nanti bisa sharing pengetahuan, karena yang aku tau belum tentu dia tau, dan sebaliknya, sekaligus meyakinkan: bener ga sih grafologi yang aku pelajari dari internet itu?

Pada hari dan jam yang telah disepakati bersama, kami ketemuan di suatu tempat. Ini bukan kencan, lho! Ini adalah ”belajar bersama”, hahaa... (kayak anak sekolah aja)
Minta kertas dan pinjam pulpen dari waiter-nya, aku tanda tangan, lalu minta dianalisa. Hasilnya:
Katanya aku punya ”sense of  art” yang tinggi >> Betul.
Katanya aku mempunyai kekaguman pada orang tua >> Betul.
Katanya aku punya emosi yang besar (bisa positif ataupun negatif), tapi masih bisa menyalurkan dengan baik dan dikontrol oleh rasio (misalnya apa yang aku lakukan untuk emosi ini) >> Betul.
Katanya aku masih sering mengingat masa lalu, dan walaupun masa lalu itu berakhir dengan baik, masih menyisakan ’sesal’ atau ’tanda tanya’ yang ga pernah bisa tuntas. Kalau berakhir dengan ga menyenangkan, bisa menimbulkan kekecewaan dan ’dendam’ yang harus dipenuhi >> Bisa jadi.
Katanya dalam hal menyelesaikan masalah, aku cenderung kurang mantap dan kurang stabil >> Kadang-kadang.
Katanya aku punya kebutuhan yang tinggi untuk dilindungi >> Betul.

Hmm, interesting! Dia ungkapkan lebih banyak dari itu, memang ga semua betul 100%, malah ada yang salah (ga aku cantumkan soalnya lupa). Aku kagum sama pengetahuannya. Waktu gantian aku coba analisa tanda tangannya, syukurlah ternyata info yang aku dapat dari internet itu cukup akurat. Walaupun aku ga bisa menjelaskan sebanyak dia, tapi dia mengakui kalau cocok dengan kepribadiannya. Seneng banget, soalnya belum terlalu kenal, jadi belum tau pribadinya seperti apa, tapi lewat tanda tangan bisa dianalisa dan lumayan sesuai. Keren! ^_^

Didorong oleh keinginan yang kuat untuk bisa, aku jadi minta diajari, bagian-bagian mana yang bisa membuat dia menganalisa pribadiku seperti itu. Sambil guyon, dia bilang, ”Belajar ini biayanya mahal, lho! Kamu bisa bayar ga?” haha...

Ternyata sama kayak aku, dia ga belajar grafologi secara khusus yang membutuhkan biaya mahal itu. Dia belajar grafologi dengan cara menggabungkan berbagai interpretasi dari tes grafis psikologi. Kalau kalian dipsikotes, pasti diminta menggambar sesuatu. Bisa orang, pohon, atau orang-rumah-pohon, bisa juga melengkapi gambar dari bagian yang sudah ada, kan? Nah, secara psikologi, semua gambar itu bisa diinterpretasikan sebagai kepribadian seseorang. Setiap tarikan garis, lengkungan, titik, arsiran, coretan, proporsi gambar, penekanan, bahkan bekas yang tertinggal akibat hapusan pensil pun bisa dianalisa. Wow, kalau dia bisa belajar sendiri dengan menggabungkan interpretasi dari tes grafis, itu mengagumkan, soalnya pasti ga gampang. Analisa tes grafis ga boleh sembarangan, harus hati-hati banget, teori harus kuat, dan pastinya grafologi juga gitu. Bahkan, para Grafolog yang aku tau, sampai pakai kaca pembesar dan penggaris waktu menganalisa tanda tangan atau tulisan seseorang. Keren! ^_^

Setelah Sendy menjabarkan bagian-bagian dari tanda tanganku berikut penjelasannya, aku masih penasaran pengen belajar. ”Ayo sekarang yang tulisan tangan. Kamu analisa tulisanku, ya...”
”Aku ga bisa kalau tulisan tangan. Aku bisanya cuma tanda tangan.”
Hah? Aku kaget waktu dia bilang gitu. Heran jadinya, bukannya itu satu kesatuan, ya? Mungkin karena dia belajarnya dari tes grafis aja, jadi cuma bisa menerjemahkan yang tanda tangan.
Kalau gitu, gantian aku yang beraksi, haha... Setelah dia nulis beberapa kalimat, aku coba menganalisanya. Yeah, akurat juga! Yaa, tetep ada yang salah, tapi sekali lagi, aku cukup bangga akan hasilnya. Hehehe...

”Kamu kok ga mau tau sih, dari bagian mana aku bisa analisa kayak gitu?” tanyaku saat melihat dia ga bereaksi antusias pengen tau.
”Ga, aku memang ga mau tau kok,” katanya tapi dengan tampang cengengesan.
”Oooh, curang. Ga mau bayar, ya?”
”Hahahaa...” dia ketawa.
Apa jangan-jangan emang dia udah bisa jadi ga perlu dikasih tau...

Terakhir, aku unjuk kemampuan lain: membaca garis tangan. Aku juga belajar otodidak, dari buku. Ketika telapak tangannya terentang di hadapanku, dari garis-garisnya aku melihat bahwa, "Wah, kamu orangnya tenang banget!”
”Iya, bener,” balasnya ngangguk-angguk.
Mencoba analisa yang lain lagi, ternyata kecenderungannya masih sesuai. Wah, lama-lama aku bisa jadi dukun beneran ini. Amiinn *eh?

Dua jam nongkrong, ngobrol, makan, dan belajar grafologi. Nice experience with new friend.
Aku bersyukur karena Tuhan merancangkan ini semua. Saat lagi antusias dengan grafologi, eh kenalan dengan orang baru yang ternyata bisa grafologi. Sendy orangnya asyik, seru, ramah, mbanyol, dan ga pelit berbagi ilmu. Walaupun dia lebih pinter grafologinya daripada aku (tapi dia ga mengakui kalau dia pinter), dia menerima masukan saat aku berpendapat, misalnya ”Setauku di tanda tangan itu ga boleh ada lingkaran, soalnya menunjukkan  sifat posesif atau over protektif...”
”Oya? Bisa jadi referensi tuh... Coba ntar aku cari tau juga.”

Jadi memang bener, jika diibaratkan diri kita adalah gelas yang penuh berisi air, ketika kita ga membiarkan air itu dituang ke tempat lain, kita ga akan pernah diisi dengan air baru. Lewat teman baruku, aku  menyemangati diri sendiri untuk menjadi manusia baik yang bermanfaat bagi orang lain.
Keep moving, keep challenging, keep improving!