Selasa, 16 Desember 2014

Inspirasi Dari Idola: Raditya Dika dan Kaesang



Tanggal 20 Oktober 2014 yang lalu, bangsa Indonesia mencatat sebuah perubahan. Hari itu, pemimpin Indonesia berganti dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden Joko Widodo. Euforia-nya sudah terjadi sejak beberapa bulan sebelumnya, tepatnya sejak Pak Jokowi resmi mendaftarkan diri sebagai calon Presiden RI ketujuh. Pribadinya yang merakyat, rekam jejak kinerjanya yang baik sejak menjabat Walikota Solo hingga Gubernur DKI Jakarta, ditambah dengan visi-visinya yang cerdas, tepat sasaran, dan aplikatif, Pak Jokowi jadi difavoritkan banyak pihak bakal sukses menduduki jabatan RI-1.

Akhirnya, jutaan rakyat Indonesia yang rindu adanya perubahan di negeri ini berhasil menjadikan Pak Jokowi sebagai Presidennya. Termasuk aku. Selama ini, aku cenderung cuek terhadap segala jenis Pemilu, karena aku di Surabaya sedangkan alamat KTP masih di Kediri. Jadi kalau ingin ikutan pada setiap acara “coblosan”, aku harus pulang kampung karena namaku terdaftar disana. Mending kalau acaranya hari Sabtu atau Minggu. Lha Pemilu selalu di hari kerja. Mudik satu hari hanya untuk nyoblos? OMG... capek di jalan! No, thanks. Aku tau kalau bisa menggunakan hak pilih di domisili sekarang dengan cara mendaftar di kelurahan setempat, tapi aku bukan orang yang mau repot seperti itu. Hasilnya, setiap kali Pemilu, entah itu pemilihan Gubernur Jawa Timur atau pemilihan apa saja, aku sukses menjadi “golput”. Hehehe…

Tapi kali ini beda. Aku ikut semangat memasang foto dengan slogan “I Stand On The Right Side” untuk menunjukkan dukungan pada pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Pesona Pak Jokowi membuat aku rela menempuh perjalanan dari Surabaya ke Kediri yang biasanya cuma 3 jam menjadi selama 7 (tujuh) jam –ya, karena macet banget!– untuk mencoblos gambarnya di surat suara. Aku sangat bersemangat! Aku yakin begitu pula seluruh rakyat Indonesia. Buktinya, siang hari setelah selesai pemilihan, foto jari kelingking / telunjuk yang tercelup tinta bertebaran di seluruh akun social media. Inilah pesta demokrasi yang disambut oleh seluruh rakyat dengan sukacita ^____^

Sejak Pak Jokowi menjadi Presiden, media mulai beramai-ramai memberitakan kehidupan pribadi beliau, selain soal politik dan urusan kenegaraan. Termasuk soal keluarganya. Salah satu berita yang jadi naik daun adalah tentang putra bungsunya yang bernama Kaesang Pangarep. Kaesang yang kuliah di Singapura, Kaesang yang humoris, Kaesang yang hobi nge-gym, Kaesang yang aktif di social media seperti Twitter, dan Kaesang yang suka nge-blog. Nah, poin terakhir inilah yang membuat aku tertarik untuk menelisik blog-nya Kaesang.

Sebelumnya, aku ga kenal Kaesang di dunia blog. Satu blogger yang aku favoritkan dari dulu sampai sekarang adalah Raditya Dika. Dari dia aku belajar bahwa menulis blog itu ga harus yang ”wah”, maksudnya ga harus tentang sesuatu yang inspiratif atau topik-topik ’berat’ agar disukai. Be yourself, justru tulisan yang apa adanya, bahkan tentang kehidupan sehari-hari pun bisa menarik dan disukai pembaca. Kalau aku lihat, kebanyakan tulisan Raditya Dika adalah tentang pengalaman pribadi yang diceritakannya dengan gaya bahasa lucu dan ceplas-ceplos. Pengalaman memalukan, sedih, gembira, kocak, bodoh, membanggakan, dan sebagainya... Raditya Dika ga ragu menuangkan semua yang dia alami menjadi tulisan. Ringan dan menghibur! Apa adanya dia banget! Dari situ aku –sebagai pembaca– jadi tau gimana kehidupan sehari-harinya, plus menyimpulkan gimana membuat sebuah blog yang merepresentasikan diri sendiri, bukan meniru milik orang lain.
Selain itu, aku suka banget Raditya Dika kalau Stand Up Comedy. Selalu bikin ngakak!!! Materinya aja udah lucu, ditambah ekspresi mukanya, gesture badannya kemana-mana, intonasi suaranya, hahaha... Haduuhh, tuh orang makan apa bisa lucu begitu??? Aku selalu nge-fans sama dia. Berawal dari blog ”Kambing Jantan”, kemudian diterbitkan jadi buku, lalu film, hingga Raditya Dika berhasil eksis sampai sekarang.
Aah, I love you, Raditya Dika! ^____^

Nah, sekarang tentang Kaesang. Namanya mulai dikenal seiring popularitas ayahnya. Blog yang diberi judul Diary Anak Kampung itu ikut mendapat perhatian. Kabarnya, blog-nya Kaesang juga lucu dan menghibur. Penuh rasa ingin tau, aku baca tulisan si ”Misterkacang” ini. Secara umum, banyak menceritakan kehidupan pribadi. Ternyata bener, apa yang ditulis Kaesang mencerminkan siapa dirinya yang dikenal selama ini: muda, gaul, enerjik, konyol, heboh, galau (karena kelamaan jomblo), cengengesan, dan... sumpah bikin ketawa seru-seru!! Hahaha... Kalau lagi sedih atau melow-melow, baca deh! Dijamin bikin hari segar kembali...
Lain Raditya Dika, lain pula Kaesang. Menurutku, gaya bahasa Kaesang sedikit lebih ’sopan’ dibandingkan dengan Raditya Dika yang lebih blak-blakan, walaupun sama-sama gila dan tanpa sensor. Hehehe... Kaesang pun jadi idola baru anak muda. Aku juga.

Satu kesimpulan yang aku ambil dari Raditya Dika dan Kaesang Pangarep. Blog merupakan salah satu media untuk menyalurkan hobi. Awal nge-blog dulu, aku berpikir untuk membuat tulisan tentang tutorial, imajinatif, atau cerita inspiratif agar jadi terkenal. Ternyata ga harus kayak gitu. Seperti yang aku ungkapkan tadi, bikin blog ga harus yang ”wah”. Sebuah blog jadi terkenal merupakan sebuah proses, nilai plus yang didapat bukan semata-mata karena banyak di-search kata kuncinya oleh masyarakat. Berdasarkan itu, misi berubah arah. Aku menulis blog sekehendak hati, seadanya ide, dan ga dibebani oleh visi awal itu. Mau pengalaman sehari-hari, curahan hati, ide tentang sesuatu, asyiknya tempat wisata, dan sebagainya. Topik campur-campur aja. Mau pakai bahasa resmi, bahasa santai, asal jangan bahasa kalbu (ntar susah dipahami), semua aku tulis rileks aja, dan hasilnya? Aku puas.

Aku memang belum terkenal seperti Raditya Dika atau Kaesang. Tapi pastinya aku punya mimpi untuk membuat blog yang eksis abis seperti milik mereka. Blog kan juga bisa menjadi lahan untuk mendapatkan uang, jika populer dan disukai pembaca. Soal meng-komersil-kan blog ini, belum terpikirkan gimana caranya, ga terlalu penting juga, jadi pending dulu.

Nah, sama seperti fans yang ingin bertemu dengan idolanya, aku pengeeeennn...bangeettt ketemu sama Raditya Dika!!! ^____^ Adakah yang mau mensponsori atau menjadi mak comblang??? Hehehe...
  

Sabtu, 20 September 2014

Emotional Day


Tuhan, hari ini emosional buatku...
Tapi aku tahu, Tuhan, bahwa aku harus ikhlas dan senantiasa mengucap syukur...
 
Aku sudah merasakannya sejak awal, September adalah bulan yang mengaduk perasaan, sehingga sebelumnya kutuangkan dalam tulisan ”Seharusnya 13 Hari Lagi”.
Hari ini, seharusnya hari terpenting dalam hidupku, dimana aku akan memulai hidup baru...
Hari ini, seharusnya aku menikah dengannya, sesuai cita-cita kami sejak beberapa tahun lalu...
Hari ini, seharusnya aku dan dia saling berhadapan di depan altar, mengucapkan janji setia hingga maut memisahkan...
Malam ini, seharusnya kami berdua berbagi bahagia bersama sahabat dan kerabat dalam sebuah pesta sederhana...
Mulai malam ini, seharusnya kami sudah bersama-sama seterusnya...
But it's not "My Best Day Ever" anymore...

Aku tidak menyalahkan segala sesuatu yang membuat rencana ini urung terwujud. Satu hal yang paling kupercaya dalam hidup ini adalah waktu Tuhan. IA bekerja dengan caraNya sendiri. Seringkali hal yang aku rencanakan tidak berhasil karena belum sesuai dengan waktuNya. Tuhan merancang waktu yang tepat, tidak terlalu awal, tidak pula terlambat. Aku hanya butuh bersabar dan terus menaruh harapan kepada Tuhan, maka hasilnya akan kelihatan, segalanya akan menjadi indah pada akhirnya...

Memang masih terasa sayaaang sekali hari ini harus batal...
Tapi hanya dengan bersyukur, aku bisa melaluinya. Justru dibalik kegagalan sekarang, Tuhan bisa memberikan yang lebih baik lagi.
Tetap semangat dan tidak pernah menyerah untuk memperjuangkannya! ^___^
  

Minggu, 07 September 2014

Seharusnya 13 Hari Lagi



Hari ini, 7 September 2014, merupakan hari yang membahagiakan bagi sahabatku, Mahar Mardhana Putra. Seperti yang sudah pernah aku tulis di blog sebelumnya “It’s Our New Start”, akhirnya perjalanan cinta itu mendapatkan hasil yang indah. Telah diresmikan sebagai pasangan suami-istri pada tanggal 23 Agustus lalu di Gereja Katolik Sakramen Maha Kudus Surabaya, hari ini Mahar dan Elisa melangsungkan resepsi pernikahannya. Sebagai sahabatnya, aku turut bahagia, sekaligus berdoa semoga kisahku juga happy ending sebagaimana milik mereka yang begitu menginspirasiku.

Bulan September…
Sebagian orang mengidentikkannya dengan “September Ceria”, sebuah lagu lawas milik penyanyi Vina Panduwinata. Lagu yang manis. Ya, aku pun sangat menyukai bulan September, bulan yang mempunyai sejuta makna, khususnya bagi kehidupan cinta.

Aku dan Vian jadian di bulan September, beberapa tahun yang lalu. Proses pacaran kami mengalami jalan yang berliku karena tidak disetujui oleh keluargaku. Walaupun begitu, kami berdua sangat serius dan telah merenda impian untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Tanggal 20 September 2014 kami pilih sebagai tanggal dimana kami akan mengucapkan janji suci pernikahan di depan altar. ”My Best Day Ever!” aku sudah memasang reminder itu di kalenderku.

Seharusnya 13 hari lagi...
Benar, tanggal 20 September 2014 tinggal 13 hari lagi. Seharusnya aku antusias menyambutnya, tapi ternyata tidak. Memasuki bulan September ini, hatiku bukannya ceria, malah pedih sekali kalau mengingatnya... Apa yang terjadi membuatku harus sedikit bersabar mencapai kebahagiaan itu.
Januari lalu, Papiku dipanggil oleh Tuhan (blog: ”In Memoriam Papiku Tersayang") Hatiku hancur. Papi adalah orang yang menyetujui hubunganku dengan Vian. Papi adalah harapanku, di saat Mami dan kebanyakan saudara menolak keberadaan Vian sebagai pasanganku. Aku dan Vian tau bahwa kami tidak boleh mengandalkan Papi saja untuk menjadi perantara restu dari mereka untuk kami. Akhirnya kami memang harus berjuang sendiri. Tapi aku yakin dan percaya, ada tujuan Tuhan di balik setiap peristiwa. Papi sudah tenang disana bersama-Nya, sementara itu, aku dan Vian harus mempersiapkan diri lebih baik lagi.

Masih teringat jelas ketika aku dan Vian merancang tanggal 20 September 2014 sebagai hari bahagia. Sejak saat itu, pikiran kami fokus bagaimana membuat harapan itu menjadi nyata. Tapi justru ketika awal tahun ini tiba, yaitu awal tahun yang membuatku semangat untuk melakukan berbagai persiapan, segalanya berubah. Rencana yang telah lama kami idamkan itu buyar, tapi bukan berarti batal. Tak apa kebahagiaan kami tertunda, demi kebahagiaan Papi di surga. Harus ikhlas.

Re-schedule, itulah yang kami lakukan setelah kepergian Papi. Tahun depan, tetap di tanggal yang sama. Tentu saja di tanggal yang sama, karena kami suka sekali tanggal itu. Dua puluh September jika ditulis menggunakan angka menjadi 20-09, bisa diartikan sebagai tahun dimana kami bertemu. Jadi, 2009-2015, maknanya adalah tahun-tahun dimana kami berdua bersama, mulai dari bertemu hingga akhirnya menikah.

Ya sudahlah, sekali lagi: harus ikhlas. Tuhan akan mengganti dengan yang lebih indah nantinya. Walaupun pedih karena batal di tahun ini, setidaknya kami masih punya waktu. Banyak hal yang bisa didapat dan dipersiapkan ulang selama satu tahun ini. Beberapa hari lalu, Mamiku sempat bilang, ”Kalau Vian memang jodohmu, nanti ya pasti jadi.” Tuhan, aku seneng banget dengernya! Sepertinya tangan Tuhan mulai bekerja dalam hati Mami. Mungkin belum terlalu kelihatan, tapi mending karena Mami sudah mulai mengakui kalau jodoh pasti jadi, daripada ditentukan siapa yang akan jadi jodohku. Segala sesuatu yang layak diperjuangkan, termasuk perjuanganku bersama pasangan, akan diperhitungkan nantinya.
  
Kasih...
Kau singkap tirai kabut di hatiku
Kau isi harapan baru untuk menyongsong
harapan bersama 
September ceria.. September ceria..
September ceria.. September ceria..
Milik kita bersama...


Seharusnya 13 + 365 hari lagi... 
Ya Tuhan, kumohon, tahun depan jangan batal lagi, ya!!!

Sabtu, 16 Agustus 2014

Kerja Keras Menembus Batas


Dulu, aku selalu pasang target bisa bekerja di perusahaan besar. Setidaknya perusahaan yang ternama. Jika orang bertanya, ”Kerja dimana sekarang?” lalu aku jawab, ”Di perusahaan A”, mereka ga lantas mengernyitkan dahi dan bertanya lagi, ”Perusahaan apa itu? Ada dimana?”, melainkan langsung berkomentar, ”Wah, perusahaan gede tuh! Pasti enak disana, ya? Hebat bisa masuk sana...” Hmm.. bukankah itu membanggakan? ^__^

Bisa diterima kerja di perusahaan besar itu ga gampang. Untuk mendapatkan karyawan terbaik, mereka pasti menerapkan sistem seleksi yang berlapis. Misalnya interview sebagai syarat mutlak untuk menilai kelayakan calon karyawan ga cuma diadakan satu kali. Awalnya dengan HRD, akhirnya dengan manager atau kepala bagian masing-masing. Pasti ada psikotes, mungkin juga disertai tes kesehatan, bahkan bisa jadi ada tes bahasa Inggris pula. Jelas, karena pelamar banyak sekali, mereka harus memastikan orang yang benar-benar qualified untuk menduduki posisi tersebut. The right man at the right place in the right time. Begitu pula dengan calon karyawan. Persiapan diri sendiri berupa keterampilan dan wawasan sangat perlu jika ga ingin tereliminasi di tahap awal. Anda setuju?

Begitu pun dengan aku. Sejak lama aku pengen banget kerja di Kompas Gramedia, penerbit buku yang tersohor itu. Aku pengen jadi editor, redaksi, penulis naskah, copywriter, dan segala jabatan yang mirip seperti itu. Sayang, kesempatan itu ’terpaksa’ aku lewatkan karena setiap aku melamar kesana, selalu akan ditempatkan di Jakarta. Pernah nego soal penempatan, ternyata belum ada lowongan di Surabaya. Memang, peluang untuk berkembang di bidang media (baik online maupun cetak) itu lebih besar ada di Jakarta, tapi aku ga mau kerja di Jakarta! Gimana nggak, semua pasti sudah tau soal kemacetan jalanan Jakarta, banjir, polusi, belum lagi soal kriminalitasnya, trus makanan yang suka dianeh-anehin (pengaruh nonton reportase)... Memang ga semua tempat di Jakarta seperti itu, tapi sedikit/banyak hal-hal itu mempengaruhi pertimbanganku kalau mau kerja di Jakarta. Alhasil, sampai sekarang aku tetep di Surabaya tercinta... ^_^

Apa sih enaknya kerja di perusahaan besar? Aku sih ga tau pasti. Salah satu perusahaan cukup ternama yang pernah aku jajal pengalamannya adalah di Sasana Artha Finance (sekarang bernama MPM Finance), anak perusahaannya MPM Motor, dealer sepeda motor Honda. Kantornya besar dan karyawannya banyak. Struktur manajemen jelas, peraturan perusahaan tegas, kegiatan operasional terpantau, fasilitas oke, tunjangan dan kesejahteraan karyawan (bahasa HRD: compensation and benefits for employee) diperhatikan dengan baik. Gaji? Lumayan... Pada waktu masuk sudah di atas UMK untuk ukuran karyawan baru, dan selalu ada peningkatan setiap tahun. Aku cukup nyaman kerja disana, hampir 3 tahun, hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk move on tanpa paksaan dari pihak manapun (blog sebelumnya: Farewell SAF!).

Yang namanya kerja ”ikut orang”, ga lepas dari perilaku ”menurut”. Harus menurut apa kata bos (dan melaksanakannya), menuruti peraturan (dan mendapat sanksi jika melanggar), menurut saat manajemen perusahaan menetapkan kebijakan yang kadang ga sesuai dengan diri kita (baca: karyawan) dan akhirnya.... kita ga bisa berbuat apa-apa. Walaupun sudah menyuarakan aspirasi, tapi kalau dirasa belum cukup kuat, para petinggi akan tetap pada keputusannya. Dampaknya, jangan menggerutu kalau libur hari raya cuma pas tanggal merah, lembur tak berkesudahan, gaji jalan di tempat, bonus telat keluar, izin cuti ga di-acc, dan sebagainya. Ingat ya, ini bukan salah HRD yang ga memperjuangkan karyawan, namun semata-mata karena HRD juga karyawan yang masih punya atasan. #curhat pengalaman, hehehe...

Lalu, apakah kerja di perusahaan besar itu enak? Selama masih berstatus karyawan, otomatis akan selalu ada gap (jarak) antara apa yang kita inginkan dengan kemauan perusahaan. Selanjutnya, terserah masing-masing orang apakah mau tetap ”menurut” atau ”membelot” dari ketetepan itu. Toleransi setiap orang terhadap zona nyaman-nya berbeda-beda. Aku sudah kerja selama 5 tahun, dengan jabatan dan di perusahaan yang berbeda-beda. Selama itu pula aku melihat dan menyimpulkan bahwa kerja di perusahaan besar itu belum tentu enak! Kenapa? Karena perusahaan besar itu bisa tetap berjalan walaupun ga ada aku di dalamnya... Jadi jika aku kerja di perusahaan besar, aku harus membuat diriku sedemikian berharga, penting, dan berpengaruh sehingga manajemen ga akan berani memecat aku, atau rugi jika kehilangan aku! Weiss, mantap!

Bagaimana dengan gaji yang besar? Belum tentu! Kerja di perusahaan besar belum tentu dibayar besar pula. Kenapa? Karena banyak sekali orang yang ingin bekerja disana, bahkan berlomba-lomba, sehingga mereka ga takut kehabisan stok calon karyawan. Akibatnya, jika satu calon karyawan ga sepakat dengan gaji yang mereka tawarkan, tentu akan ada orang lain yang bersedia menerimanya. Kecuali... kalau kita mempunyai banyak pengalaman, menduduki jabatan yang cukup tinggi, serta bisa memberikan kontribusi cemerlang di perusahaan, maka kita layak untuk mendapatkan gaji besar, berkali lipat dari jabatan serupa di perusahaan lain. Ini terlepas dari tunjangan dan fasilitas, ya... Bisa jadi fasilitasnya lebih baik, perusahaan besar pun bisa memberikan tunjangan transport, makan, sampai tunjangan kesehatan karyawan beserta keluarga intinya yang membuat setiap pekerjanya merasa aman. 

Bagaimana dengan jenjang karir yang (dijanjikan) akan terus naik? Belum tentu juga! Berapa banyak kita lihat orang bekerja sebagai staff selama bertahun-tahun? Atau berapa lama para Supervisor menunggu tapi belum juga berubah jabatan jadi Manager? Padahal mereka kan sudah senior dan cukup ahli di bidangnya. Kenapa? Jawabannya: karena masih ada atasannya! Selama masih ada Supervisor, bagaimana bisa staff menjadi Supervisor juga? Selama Managernya masih bisa bekerja dengan baik, kapan para Supervisor naik pangkat? Jadi menurutku, alasan seseorang bisa mendapatkan karir yang lebih tinggi adalah karena atasannya pensiun, atasannya meninggal, buka divisi baru di kantor itu, atau buka cabang baru di tempat lain sehingga karyawan senior itu bisa dipromosikan atau dimutasikan dan langsung menduduki jabatan yang lebih tinggi. Ada alasan lain lagi?

Jadi, apa lagi yang biasa ditawarkan oleh perusahaan besar, selain fasilitas, gaji, dan jenjang karir? Tentu ga mudah melalui semua tahap menjadi pribadi yang cerdas dan berpengaruh penting ke perusahaan. Bukan berarti ga bisa, namun pasti perlu waktu untuk mewujudkannya. Practice makes perfect. Ga mungkin Manager masih coba-coba atau belum terlalu menguasai bidangnya. Sementara perusahaan terus berjalan setiap hari, dibutuhkan orang-orang yang berpengalaman, cekatan, tanggap, berpikir maju, dan cepat mengambil keputusan.

Aku menulis ini berdasarkan pengalaman melamar kerja ke sebuah perusahaan otomotif. Perusahaan besar, terkenal, dan banyak orang menggunakan kendaraan dari pabrik tersebut. Sebenarnya waktu itu ga ada lowongan yang cocok dengan bidangku, tapi aku iseng memasukkan lamaran kesana. Aku dipanggil, dan aku ikuti tahap awal berupa psikotes bersama ratusan orang di sebuah ruangan besar. Beberapa hari menunggu, aku dipanggil lagi untuk interview.
Pada waktu interview, aku ditanya, ”Melamar kerja posisi apa?”
”HRD Supervisor, Bu,” jawabku. Langsung kusebutkan Supervisor karena aku sudah pengalaman sebagai staff.
”Oh, kalau Supervisor HRD sudah ada. Staff HRD masih bisa, tapi bagian admin training, ya?”
“Hmm, kalau selain bagian admin ada, Bu?” Aku ga suka kerjaan administrasi, tapi aku ga bilang alasannya itu.
”Selain admin, maunya di bidang apa?” tanyanya lagi. Pikirku, baik betul ini Ibu masih bisa nego jabatan begitu...
”Sebenarnya kalau boleh memilih, saya lebih suka jadi HRD secara umum, jadi yang rekrutmen, interview, psikotes, gitu, walaupun bukan supervisor. Tapi kalau adanya di bagian training, kalau bisa saya jadi Trainer-nya, bukan admin-nya,” jawabku.
”HRD Staff-nya sudah cukup, justru yang lagi dibutuhkan bagian admin. Kalau Trainer, kamu sudah ada pengalaman sebagai Trainer?”
”Belum banyak, Bu, tapi pernah,” jawabku singkat, padahal aku jadi Trainer waktu kuliah, bukan waktu kerja, hehehe...
Singkat cerita, si Ibu Manager HRD itu berkata akan mempertimbangkan aku. Tapi sebelum interview berakhir, dia bertanya, ”Berapa gaji yang diharapkan?” Wajar, setiap interviewer pasti menanyakan itu kepada calon karyawan.
Aku menyebutkan angka yang merupakan gajiku terakhir, dengan harapan ga kurang dari gaji tersebut. Waktu itu sekitar 1,5 x UMK Surabaya tahun 2011. ”Tapi sesuai kebijakan perusahaan saja,” tambahku agar bisa dinegosiasi.
Si Ibu Manager menanggapi, ”Wah, tinggi juga. Kalau disini, staff ga bisa segitu. Standarnya UMK. Segitu standarnya Supervisor, yaa lebih dikit lah...”
Jujur aku sempat kaget. Supervisor disana, perusahaan besar dan terkenal itu, gajinya sama dengan gajiku sekarang yang seorang staff???
Oh, I see...
Memang, standar gaji di masing-masing perusahaan berbeda-beda. Aku juga ga menyalahkan perusahaan besar yang –ternyata– menggaji karyawannya sesuai UMK saja, sementara banyak orang di luar sana –termasuk aku– mengira bahwa bekerja di sana pasti mendapatkan gaji besar. Jenjang karir juga begitu. Awalnya aku pikir karir pasti meningkat setelah beberapa tahun bekerja, namun tampaknya ga semudah itu. Selain prestasi, perlu kerja keras dan peluang untuk mewujudkan setiap impian menjadi kenyataan.

Jadi, ini bukan soal kerja di perusahaan apa, terkenal atau tidak. Bukan berarti aku meng-underestimate semua perusahaan besar. Aku sharing hal ini setelah mendapat ’pencerahan’ dari tempatku bekerja sekarang. Seperti apa kerjaanku sekarang? Nantikan detilnya ceritanya di blog selanjutnya... ^_^

Secara umum, pada waktu awal kerja di perusahaan ini, aku diberi motivasi bahwa kita harus menjadikan diri kita berani keluar dari zona nyaman. Berpikir ’out of the box’, berani mencoba hal baru, dan pantang menyerah saat menemui kesulitan. Setelah menempa diri dengan optimisme dan kegigihan, selanjutnya adalah menjadikan kita layak untuk dibayar mahal! Caranya antara lain dengan selalu menambah wawasan, keterampilan, dan belajar kepemimpinan. Lewat orang-orang hebat di kantorku sekarang, pola pikirku berubah. Jangan mengharapkan penghasilan tinggi jika apa yang dikerjakan belum maksimal, mau gampangnya aja, pasrah, dan ga berusaha untuk meningkatkan kualitas diri sendiri. Bagaimana mungkin jadi seorang pemimpin jika ga mau bekerja keras dan banyak mengeluh saat menghadapi situasi sulit?

Intinya adalah pada diri sendiri. Jika ingin berbahagia, fokuslah pada yang membahagiakan, bukan pada masalah. Bibit kekuatan itu terletak pada keputusan.
Dimanapun tempat kita bekerja (ga perlu selalu perusahaan besar), apapun jabatan yang kita emban, setiap hari adalah tantangan dan kesempatan. Dengan optimisme, senyuman, kerja keras, disertai doa, mari kita mantapkan tekad dan ciptakan sukses yang lebih luar biasa!

There will be obstacles,

There will be doubters,

There will be mistakes,

But with hard work,

There are no limits.

Work hard, and be proud of what you achieve!

Minggu, 29 Juni 2014

Mister Charming Is Here!




Sejak tanggal 23 Juni lalu, aku ikut training di salah satu perusahaan konsultan perdagangan komoditi di Surabaya. Begitu banyak jenis komoditi yang ada di Indonesia, tercatat seperti minyak sawit mentah (Crude Palm Oil, CPO), kakao (coklat), kopi, kedelai, gula, dan sebagainya. Nah, andalan utama perusahaan yang aku ikuti ini adalah komoditi emas murni. Tapi emas yang dimaksud ini bukanlah berupa emas fisik (batangan), tetapi berupa ”kontrak”, penjelasan gampangnya adalah seperti penanaman dana di sebuah bursa lalu dibuat transaksi jual-beli. Yaa seperti saham begitu lah... Acuan harganya ada di pasar emas terbesar di dunia yaitu di London, jadi disebutnya Loco London Gold. Hal ini disebut juga Sistem Perdagangan Alternatif (SPA). Karena berupa komoditas, harganya ditentukan oleh permintaan dan penawaran yang ada di pasaran, bukan berdasarkan ketetapan dari penjual sendiri.
Akhir-akhir ini banyak orang sudah melakukan investasi berupa emas, alasannya karena mengetahui bahwa harga emas selalu naik. Benar. Emas adalah satu-satunya jenis investasi yang mempunyai sifat ”Zero Inflation Effect” atau tidak terpengaruh oleh inflasi. Maka ga heran kalau harganya cenderung terus naik dari waktu ke waktu.

Peran perusahaan ini adalah sebagai konsultan, jadi menginformasikan pergerakan harga naik/turunnya emas dunia, lalu mendampingi atau memberi saran dan arahan kepada klien untuk bertransaksi. Jadi konsultan disini ga berhak melakukan transaksinya klien, kecuali kalau ada surat kuasa dari klien ke konsultan, semua keputusan transaksi ada di tangan klien. Namanya bisnis atau dagang, pastinya mengharapkan keuntungan. Walaupun gitu, ga menutup kemungkinan bisa rugi juga, kan? Maka dari itu peran konsultan juga menerapkan manajemen resiko, bagaimana meminimalkan resiko sekecil mungkin dan berusaha mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Itu sekilas info aja tentang SPA di tempatku training. Hmm, maaf karena aku masih tahap belajar, jadi belum terlalu paham tentang bagaimana sistem transaksinya, belum bisa menjelaskan lebih banyak, takut salah ngasih info, hehehe... Masih product knowledge, rumit banget! Diajari tentang sistem perdagangan di Indonesia dan dunia, komoditi emas (semua hal tentang emas), grafik-grafik pergerakan harga, garis besar cara analisa pasar, dan sebagainya. Haduuh, puyeng saya! Ga pernah berurusan dengan dagang-dagangan, apalagi emas-emasan. Bukan pula dari background ekonomi, jadi ga tau sistem perekonomian yang mempengaruhi pasar. Aku harus belajar lebih keras! Dan aku yakin aku pasti bisaaa!!! Nanti ya, kalau sudah bisa, akan aku sharing ilmu dan pengalamanku di blog selanjutnya ^_____^

Nah, sekarang aku mau cerita tentang hal yang aku fasih aja, tentang cowok. Hahaha... Aku sering banget ya cerita tentang cowok yang berbeda-beda :p
Berada di tempat baru, otomatis berhadapan dengan banyak orang yang belum dikenal. Di tempat training, aku berkenalan dengan beberapa orang yang ternyata rata-rata usianya di bawah aku, sekitar 22-25 tahun, bahkan ada yang 18 tahun! OMG... Berasa senior banget disana...
Training hari pertama sampai kedua, kami masih ditempatkan di satu kelas besar, pesertanya sekitar 60 orang. Yang memberikan training adalah Manager HRD, seorang pria berusia 29 tahun (ngakunya dia) yang mukanya mirip Uya Kuya. Beneran! Sama, mbanyolnya juga kayak Uya Kuya. Hahaha.... Dia menjelaskan tentang company profile, trus tentang kepribadian manusia (maklum, HRD), lalu juga garis besar sistem perdagangan komoditi emas. Dia cukup menguasai karena sudah 6 tahun bekerja di sana, dan awalnya ia adalah konsultan, sebelum pindah ke divisi SDM.

Hari ketiga training, kami mulai ‘dipecah’ ke kelas yang lebih kecil, sekitar 25 orang per kelas. Presenternya bukan si Manager HRD lagi, tapi yang sudah expert alias para konsultannya. Saat itulah aku melihat dia yang mengajar di kelasku. Seorang pria muda (hampir semua orang disana masih muda!), rapi dan profesional dengan jas dan dasinya (semua pria disana memakai jas dan dasi!), serta bertampang lumayan keren dan pembawaannya cool (tidak semua pria disana keren dan cool). Ya ampun, setelah kuamati, kantor itu penuh para eksekutif muda! Keren! ^_^
Training diawali dengan dia memperkenalkan diri, lalu dia meminta masing-masing peserta training berdiri dan menyebutkan nama, setelah itu barulah ia presentasi. Lewat caranya presentasi, aku tau bahwa pasti dulunya dia pemalu atau ga biasa ngomong di depan umum. Ternyata benar, dia cerita kalau dulunya bukan orang yang ”bisa tampil” seperti itu. Sekarang dia bisa presentasi, jelas dan kelihatan kalau dia pintar, tapi tetep kesan pemalunya itu masih tersisa sedikit. Itulah yang bikin dia charming banget di mataku. Ngegemesin banget! Hehehe...

Beda dengan kelas sebelumnya yang banyak orang, di kelas kecil ini kami bisa berinteraksi lebih dekat. Tanya-tanya, sampai saling sharing pengalaman kerja masing-masing dan ditanggapi oleh teman-teman. Termasuk si Mr.Charming. Usianya baru 28 tahun (lagi-lagi ini ngakunya dia lho!), asalnya Jawa Tengah, dulu ia ditempatkan di kantor pusat Jakarta, lalu dipindah ke Surabaya, aku lupa kapan tepatnya dia mulai di kantor Surabaya. Karena lama di Jakarta daripada Surabaya, dia memaparkan perbedaan karakteristik antara orang Jakarta dengan Surabaya, untuk membantu kami menganalisa calon nasabah/klien dan memperlakukannya.

Hari Jumat lalu, kami diberi kesempatan untuk praktek Contacting, yaitu menelepon calon klien untuk membuat janji bertemu. Selain Mr.Charming, kelas didatangi oleh beberapa orang konsultan senior lagi, untuk mendampingi kami yang amatir ini. Di sela-sela riuhnya anak-anak menelepon, dia berkeliling kelas. Tau-tau dia duduk di kursi sebelahku, yang kebetulan kosong.
”Kamu panggilannya Arzy apa Jessica?”
Heh?! Kaget juga dia bisa hafal namaku diantara sekian banyak anak training disitu #bangga..
”Arzy boleh, Jessica boleh, terserah Bapak aja,” jawabku sambil ngedipin mata ke dia. Hahahaha... Ga lah, yang terakhir itu cuma bercanda, abaikan... :p
”Kok terserah? Lha biasanya apa?” tanyanya. Aduuh, sorot matanya... Lemes aku lihatnya!
”Biasanya Arzy. Tapi ada yang bilang susah diucapin, jadi manggil Jessica. Ga masalah,” jawabku.
Berawal dari itu, lalu kami terlibat percakapan, tentang pengalaman kerja, sempat ngomongin Mario Teguh karena aku bilang suka nonton acara/film yang berbau motivasi, bahkan dia sempat mendikte aku jawaban dari pertanyaan calon klien yang kutelepon.
Lalu terjadilah peristiwa ini: dia melihat HP-ku, lalu spontan bilang, ”Iih, HP-mu lucu banget!” HP-ku warnanya putih ada garis hijau muda dan biru di sampingnya. Asli itu warnanya, bukan casing. Warna itu juga yang bikin aku jatuh cinta dan membelinya. HP apa hayo? Hehehe... Tanpa izin yang punya, dia ambil itu HP, dibolak-balik, dipencet navigatornya dan dilihat halaman awalnya aja, syukurlah dia ga sampai ’kepo’ mencet-mencet yang lain...
Aku jawab, ”Iya, lucu kayak orangnya, kan?” Kubuat tampangku sedatar mungkin, aku kan ga bermaksud menggodanya!
Heh?! Gantian dia yang agak shock denger jawabanku. Hehehe... Sambil nunduk dia jawab pelan, ”Yaaa...”
Hohohohoo... Aku senyum penuh kemenangan. Seneng banget aku!!! \\^___^//
Setelah itu dia berdiri dan keliling kelas lagi. Tanpa ngomong apa-apa. Pamitan kek, ngasih perintah ”Yaudah lanjutin contacting-nya” kek, minta nomor HP-ku kek, hahahaa... yang terakhir ini ngarep banget, ga kok...becanda...

Oh, Mr.Charming, kenapa dirimu membuat kesan di hatiku? Kalau kamu ga gitu kan aku ga kepikiran kamu terus... Hahaha...

Ini cuma cerita aja, bukan berarti aku jatuh cinta padanya. Di mataku dia memang menarik, tapi entah pendapat anak training lain tentangnya, atau cuma aku yang mengganggapnya menarik? Bisa aja, kan? Menarik atau tidaknya seseorang kan ga cuma ditentukan oleh penampilan fisik, tapi lebih kepada kebaikan hati. Fisik yang menarik pun ga akan ada artinya jika hatinya ga baik. Dengan perbuatan sederhana seperti peduli pada orang lain dan mau membantu, kesan baik kita akan tertinggal ke diri yang diperhatikan.
Kalau Jumat lalu Mr.Charming ga berbuat gitu ke aku, misalnya cuma presentasi dan keliling kelas, pastinya aku ga serta merta menulis ”hal biasa” itu disini. Aku juga ga GR, aku tau perbuatannya itu bukan berarti dia suka aku dan berupaya mendekati aku kok, melainkan hanya sebagai wujud peduli pada anak didiknya.

”Keindahan hidup ga ditentukan oleh seberapa bahagianya diri kita, tapi oleh seberapa bahagianya orang lain karena kita. Maka, jadilah berkat!”

See you tomorrow at class, Mr.Charming! ^______^

Rabu, 11 Juni 2014

Hawa Tak Berjodoh Dengan Adamnya



"Aku ga menyangka bisa bertemu dengannya lagi..."
Hari itu, 6 (enam) tahun yang lalu.

Suatu malam yang cerah, aku dan Mama pergi keluar rumah untuk makan malam. Kami menuju ke depot soto yang terkenal enak di salah satu jalan daerah padat pertokoan. Baru masuk, mataku menangkap seseorang yang sedang duduk menyantap sotonya. Aku kenal cowok itu. Kebetulan, dia juga langsung mengenali keberadaanku dan kami saling melambaikan tangan. Karena duduk agak jauh, kami ga saling ngobrol sampai akhirnya dia beserta keluarganya berdiri dan pamitan kepada kami, ”Duluan, ya!”
Aku kenal satu keluarga itu, mulai dari kedua orang tuanya, kakaknya, juga adiknya. Mamaku juga berteman baik dengan Mamanya. Ya, karena aku dan cowok itu adalah teman semasa kecil...
Ketika aku dan Mama sudah selesai makan dan keluar dari depot, kami mendapati satu keluarga itu masih berdiri ga jauh dari sana. Sepertinya mereka sedang menunggu sesuatu, entah apa. Tiba-tiba temanku itu menghampiri aku, ”Hai, Hawa!”
”Hai, Adam!”
Hahaha, kami tertawa bersama.
”Kamu kuliah dimana?” tanyanya.
Lalu terjadilah percakapan singkat diantara kami yang berujung dengan tukar nomor HP sebelum pulang ke rumah masing-masing.

Malam itu pula, aku dan dia SMS-an. Seru sekali karena kami lama ga bertemu. Namanya bukan Adam, tapi Harry. Kenapa dia kupanggil Adam, karena sebelumnya dia memanggilku Hawa! Haha... Jadi ceritanya kami dulu satu sekolah TK. Pada waktu drama Natal, aku mendapatkan peran sebagai Hawa dan dia sebagai Adam. Sejak saat itu, entah kenapa guru-guru kami sangat senang mencocokkan kami sebagai pasangan Adam dan Hawa. Setiap kali drama, bahkan sampai SD, kami selalu mendapatkan peran itu lagi. Oleh sebab itu, image sebagai Adam dan Hawa selalu lekat pada kami. Makanya kami ga canggung menyapa dengan sebutan itu.

Beberapa tahun ga bertemu dan berkomunikasi, tiba-tiba kami bertemu di kampung halaman sendiri. Dia kuliah di Kanada, sedangkan aku di Surabaya. Kami ngobrolin banyak hal mulai dari kegiatan sehari-hari, hobi, sampai curhat masalah pribadi.
Aku ingat betul dia sempat nanya begini, ”Arzy, kamu sudah ada cowok di Surabaya?”
”Belum. Kamu sendiri? Pasti banyak cewekmu, ya?”
”Haha, aku juga ga ada cewek, ga ada yang mau sama aku.”
Hahaha... Sama seperti yang kukenal, dia orang yang ramah dan menyenangkan...
Sayangnya, beberapa hari di Kediri, kami berdua ga sempat keluar bareng karena ketidakcocokan jadwal. Lalu aku harus kembali ke Surabaya dan itu sempat disayangkannya.
”Kok cepet  balik ke Surabayanya?”
”Iya, kan aku harus kuliah. Kamu kapan balik ke Kanada? Kabari ya!”
Untungnya, masih ada waktu beberapa hari sebelum dia kembali ke Kanada. Jadi kami masih sempat SMS-an seperti biasa, aku di Surabaya dan dia masih di Kediri.

Akhirnya waktu itu tiba. Sebelum kembali ke Kanada, dia memberitahu aku nomor HP yang dipakainya disana. Seneng sekali karena berarti aku bisa keep contact dengan dia. Pada hari keberangkatannya, aku sempat menyusulnya ke Bandara Juanda, maksud hati ingin mengantarnya. Tapi aku sedikit terlambat dan dia sudah masuk untuk check in. Aku sempat melihat dia lewat kaca. Mau manggil juga percuma, dia ga bakal dengar. Setelah check in, dia langsung masuk ke dalam ruang tunggu dan ga keluar lagi. Ingin rasanya bisa lari masuk dan menemui dia seperti adegan Cinta dan Rangga di film AADC, hahaha...
Apa boleh buat, ga ada kesempatan itu. Aku belum mengucapkan selamat jalan padanya. Tapi rupanya Mamanya melihat aku disana, lalu ia berbaik hati menelepon si Adam supaya mau keluar lagi menemui aku. Sayangnya dia sudah ga bisa ditelepon dan aku pun hanya mengucapkan terima kasih pada mereka yang sudah membantu. Aku ga tau, apakah kemudian keluarganya memberi tahu dia kalau aku menemuinya di Juanda itu...

Berapa lama perjalanan dari Indonesia ke Kanada? Setauku hampir 24 jam. Lewat dari jam itu, ga ada kabar apa-apa dari dia. Jadi aku berinisiatif SMS dia dan menanyakan kabarnya.
”Sudah nyampe, aku capek banget, Hawa. Jadi tidur seharian...”
Syukurlah, aku senang mendengar kabarnya baik-baik saja.

Waktu berlalu begitu cepat. Kami disibukkan dengan kegiatan sehari-hari, masih sesekali SMS-an, tapi lama-lama ga sering ngobrol lagi. Apalagi waktu sudah lulus, bekerja, dan akhirnya aku punya pacar. Tentu aku ga melupakan dia sebagai temanku, tapi aku memang sudah ga tau kabar apa-apa tentang dia lagi. Lalu apa yang membuat aku menulis kenangan masa kecil dan peristiwa 6 tahun yang lalu ini?

Semuanya berawal dari beberapa bulan yang lalu, saat temanku menikah. Teman masa kecil juga. Aku memang masih sering berhubungan dengan teman-temanku semasa SD. Dia mengundang aku, katanya, ”Dateng ya, Zy... Anak-anak banyak yang aku undang,” lalu dia menyebutkan beberapa nama yang tentu saja sudah kukenal semua. ”Katanya Harry juga mau dateng sama tunangannya...” tambahnya.
Hmm, Harry??? Ingatanku langsung flashback ke kejadian itu. Tapi, tunangannya?
Oh, jadi dia sudah punya tunangan?
Sayangnya pada hari H aku ga bisa datang memenuhi undangan pernikahan temanku karena ada urusan kerjaan waktu itu. Dia sedih dan kecewa, tapi ga apa-apa katanya. Sebetulnya aku juga sedih, terutama karena aku ingin melihat dia lagi: Harry, bersama tunangannya yang katanya akan datang. Seperti apa ya tunangannya? Apa cewek Asia? Atau jangan-jangan cewek bule? Sumpah penasaran banget! Yah, entahlah akhirnya dia jadi datang atau ga, bersama tunangannya atau ga, aku juga ga bertanya ke yang punya acara. Sudah ga terlalu aku pikirkan lagi...

Sampai akhirnya aku menemukan jawabannya! Sabtu lalu aku pulang ke Kediri dan melihat sebuah undangan pernikahan yang ditujukan untuk Mamaku. Aku kenal nama mempelai pria yang tertulis disitu, itu si Harry! Ada fotonya juga. Ternyata dia sudah menikah dengan seorang wanita cantik berambut pirang, dan resepsinya akan digelar di Kediri tanggal 20 Juni nanti. Cukup mengejutkan.

Aku juga heran mengapa masih teringat kejadian tahun 2008 itu, saat bertemu dia di depot soto... Walaupun kami hanya sebentar bercakap-cakap, tapi sangat berkesan bagiku. Namun kini dia sudah bahagia bersama wanitanya. Apa lagi yang bisa kuharapkan? Patah hati?  Hmm, sedikit… :p
Well, rupanya untuk yang satu ini, Hawa tidak berjodoh dengan Adam-nya. Hahaha…#AkuRaPopo

Ya Tuhan, jujur aku tidak ingin Harry membaca tulisanku ini, karena aku malu sekali, hehehe…
Tapi tetap ada yang ingin kusampaikan padanya: 
~~~Congratulations for your wedding, Harry and Ashley! ~~~


...Friendship is made in the heart. A silent, unwritten, unbreakable by distance, unchangeable by time…

   

Sabtu, 15 Februari 2014

In Memoriam Papiku Tersayang



Aku tidak akan pernah lupa hari itu, Sabtu tanggal 18 Januari 2014.
Hari masih pagi, jam setengah 8. Aku sedang bersiap berangkat ke kantor, ketika HP-ku berdering, dari Mami. Apa yang dikatakan Mami membuatku jantungku berdetak kencang, terpaku. “Mami dapet telepon dari Pak Dartok, temennya Papi. Katanya Papi lagi ada di Garut, pagi ini tadi tau-tau jatuh trus meninggal. Mami udah telepon HP-nya Papi tapi ga aktif. Udah, kamu jangan terlalu percaya dulu, Mami cari-cari info ntar kamu ta’kabari lagi.” Aku diam tak tahu harus berbuat apa…

Dengan perasaan tidak karuan, aku berangkat ke kantor. Seperti biasa, setiap hari Sabtu pagi sebelum memulai aktivitas, di kantorku ada persekutuan doa (PD). Saudara-saudara seiman duduk bersekutu, menyanyi, memuji Tuhan, dan mendengarkan firman yang dibawakan oleh salah satu dari kami. Air mataku menetes, padahal selama ini aku tidak pernah sampai menangis saat PD. Tenanglah jiwaku, dalam naungan sayapMu…Menembus awan kelabu, pandang kemuliaanMu…

Aku harus tetap bekerja, entah apa yang kukerjakan, aku sudah benar-benar kalut. Sekitar jam 09.30, telepon dari Mami menyampaikan kabar itu. Papiku benar meninggal. Kabar yang sangat mengejutkan itu membuatku berpikir untuk cepat pulang. Harusnya, setiap tanggal 20, aku harus laporan kepada General Manager perihal presensi karyawan (rekap personalia). Langsung kukerjakan laporan itu, karena aku tidak mungkin kembali ke kantor pada hari Senin hanya untuk mengerjakannya. Setelah selesai, aku segera mengajukan izin kepada Manager untuk pulang lebih awal, tapi aku tidak mengatakan alasan yang sebenarnya kalau Papiku meninggal. Sejujurnya, aku masih menyangkal kabar itu, sebelum aku melihat dengan jelas bahwa Papiku memang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Manager sempat mengajukan ‘protes’, “Kemana lagi kamu, Arzy?” karena beberapa hari sebelumnya aku sudah izin tidak masuk guna mengurus perpanjangan masa berlaku SIM-ku.
“Ada urusan keluarga, Bu…” kataku.
“Kamu nanti dicari Bu Elva, lho,” lanjutnya. Bu Elva, General Managerku.
“Saya usahakan Senin sudah masuk, Bu,” kataku. Maaf Bu, aku terpaksa mengatakan itu –padahal kalau kabar itu benar, aku pasti tidak masuk– untuk membuat keadaan terkendali, karena aku tidak mau bilang kalau Papiku meninggal. Aku menyangkalnya.
Akhirnya aku memperoleh izin dari Manager. Segera aku pulang ke kost, lalu packing. Sebelumnya aku sudah memesan travel yang biasa kuandalkan untuk pulang ke Kediri.

Dalam perjalanan pulang ke Kediri, aku menangis. Untung tempat duduk di sebelahku kosong. Hal yang sangat mengusik pikiranku adalah kenapa Papiku sampai ada di Garut? Seminggu sebelumnya, Papiku pamit hendak pergi ke Bogor dan Jakarta untuk mengantar atlet-atlet tenis meja. Papiku memang salah satu pengurus PTMSI (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia) yang sangat aktif. Di Kediri, pembinaan atlet tenis meja bernama PTM Sanjaya, dibawah grup PT Gudang Garam, dan Papiku menjabat sebagai ketua bagian pembibitan dan pembinaan. Beliau pun tercatat sebagai Wakil Ketua PTM Jawa Timur. Jadi Papiku memang sering keluar kota untuk mendampingi anak didiknya mengikuti turnamen. Tidak hanya menjadi pengurus, dari muda pun Papiku aktif bermain tenis meja. Jadi, kalau pamitnya cuma akan ke Bogor dan Jakarta, kenapa bisa sampai ke Garut?

Jam 7 malam, aku tiba di rumah. Sudah ada beberapa orang kerabat berkumpul disana. Aku sudah cemas sekali, aku terus berdoa semoga berita itu hoax belaka. Mamiku beberapa kali meng-update info dari rekan Papiku yang memberi kabar itu, karena mereka berangkat dari Garut sekitar jam 11 siang. Perjalanan Garut-Kediri dengan naik ambulance memakan waktu 15 jam! Sembari menunggu, aku dan Mamiku mempersiapkan barang-barang Papiku yang akan disertakan ke dalam peti jenazahnya- kalau itu benar. Sekali lagi aku merasa tak percaya, karena masih sangat berharap Papiku pulang dalam keadaan sehat.

Minggu dini hari, hampir jam 00.30, kakakku datang dari Singapura. Begitu mendengar kabar itu, dia pun bergegas mencari tiket dan berangkat pada pukul 8 malam. Tiba di bandara Juanda, ia segera pulang ke Kediri. Sambil terus berbenah dan berjaga-jaga, aku berdoa, benar-benar berpasrah pada Tuhan… Akhirnya yang kami tunggu datang juga. Ambulance dari Garut sudah sampai di “Giki”, nama rumah duka yang ada di Kediri (kalau di Surabaya bernama “Adijasa”), pada pukul 3 pagi. Harap-harap cemas, aku, kakakku, Mamiku, dan pembantuku berangkat kesana.

Sesampainya disana, kami masuk ke ruangan dimana di dalamnya sudah ada “seseorang” yang dibaringkan dengan ditutupi kain putih. Aku berkata pada diriku sendiri: harus kuat. Ketika kain putih itu disingkapkan, ternyata benar, itu Papiku, terbujur kaku, tidak bergerak. Tumpahlah tangis kami…

Berikutnya, kami mengorek keterangan dari Pak Dartok, rekan Papiku yang mengantar itu. Dia dan Papiku memang sudah satu minggu di Bogor dan Jakarta, namun ketika Pak Dartok hendak ke Garut (rumah mertuanya), Papiku mau ikut. “Saya ikut Pak Dartok aja, mau refreshing,” begitu kata Pak Dartok menirukan ucapan Papiku waktu itu. Sabtu sekitar jam 6 pagi, Papiku bangun dan menuju meja makan, hendak minum kopi, waktu itu semua belum bangun. Tiba-tiba terdengar suara keras, ‘gubrak!’ Ketika dilihat, Papiku sudah jatuh tersungkur di bawah meja. Orang-orang di rumahnya langsung menolong dengan menekan dadanya (bantuan CPR), dan pada waktu itu masih teraba denyut nadinya. Lalu Papiku segera dilarikan ke rumah sakit, namun Tuhan berkehendak lain. Jam 06.35, Papiku telah tiada…

Papiku memang tidak menderita sakit apapun. Sebelumnya ia sangat sehat, tidak pernah mengeluh bagian dadanya nyeri, ataupun sakit berat lainnya. Tapi beliau memang perokok, dan –setahuku– tidak pernah check-up kesehatan. Serangan jantung, the silent killer itu menyebabkannya pulang ke rumah Tuhan. Tidak ada firasat, tidak ada pesan-pesan terakhir, tidak ada hal-hal aneh menandai akan perginya beliau. Sangat mendadak, memang. Kita tahu, banyak hal yang mempengaruhi terjadinya serangan jantung. Gaya hidup, stress, pola makan, bahkan olahraga berlebihan. Sering olahraga –bisa dibilang olahragawan– mungkin itu juga salah satu yang membuat Papiku merasa selalu sehat, sehingga tidak merasakan ada perubahan sekecil apapun pada kesehatannya. Ingat almarhum Adjie Massaid dan Ricky Johannes?

Kami pulang pada pukul 4 pagi, setelah memercayakan jenazah Papiku pada pihak rumah duka. Baru bisa tidur jam 04.30, tapi aku sudah bangun jam 05.30 dan segera kembali ke rumah duka guna mengurus segala persiapan persemayaman. Setelah dimandikan, jenazah dibaringkan dalam peti. Kata petugas yang memandikan jenazah Papiku, tidak ada luka di sekujur tubuhnya, namun kuku-kuku jari tangannya terlihat membiru. “Biasanya begitu kalau meninggalnya karena serangan jantung.” jelasnya.

Di beberapa bagian tubuh juga tampak lebam, namun itu merupakan efek formalin yang disuntikkan –karena perjalanan jauh selama 15 jam akan membuat jenazah rusak jika tidak diberi formalin– selebihnya tampak wajar. Kami memang tidak tahu bagaimana kejadian yang sebenarnya, kami percaya pada penjelasan Pak Dartok. Kami tidak melakukan otopsi pada jenazahnya, karena pada waktu itu benar-benar tidak terlintas di benak kami bahwa mungkin saja Papiku menjadi korban kejahatan orang lain. Dari rumah sakit di Garut itu ada surat keterangan meninggal. Setelah kami tanyakan ke salah satu dokter, ia mengatakan, “Kalau rumah sakit sudah mengeluarkan surat keterangan meninggal, berarti dokter yang memeriksanya tahu bahwa meninggalnya secara wajar. Karena kalau dokter mencurigai ada yang tidak wajar pada kematian seseorang, ia pasti tidak mau mengeluarkan surat kematian, tapi meminta dilakukan visum lebih dulu. Visum itu prosesnya lebih lama, tidak bisa keluar surat keterangan dengan cepat.”

Berdasarkan keterangan dokter itu, satu hal yang membuat aku terus berdoa di samping jenazahnya, “Kalau Papi meninggalnya wajar, aku ikhlas. Tapi kalau Papi meninggalnya tidak wajar, mohon Papi beri petunjuk, kepada siapapun, entah bagaimana caranya, tentang kejadian yang sebenarnya, tentang siapa yang menjahati Papi…” Ya, aku percaya siapapun yang menjahati Papiku sampai membuatnya seperti itu –kalau memang benar demikian– akan diberikan ganjaran oleh Tuhan sendiri.

Minggu siang, sebelum peti ditutup, diadakan misa requiem (misa arwah). Itulah saat terakhir aku melihatnya. Wajah Papiku terlihat tenang, seperti orang tidur. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka Giki selama 4 hari, 19-22 Januari 2014, dan rencananya dikremasi pada tanggal 23 Januari. Aku mengajukan izin satu minggu tidak masuk kantor. Managerku sampai kaget waktu kuberitahu alasannya. Iya, semua orang kaget dengan kepergiannya yang begitu mendadak. Tidak ada yang menyangka, bahkan sempat tak percaya.

Selama disemayamkan, tamu yang melayat datang silih berganti, juga berbagai karangan bunga dari banyak pihak. Sanak keluarga dan beberapa teman sukarela membantu. Beberapa kali, orang dari lingkungan gereja dan Romo datang mengadakan doa bersama. Aku paling suka saat menemani teman-teman Papiku yang datang, baik dari Gudang Garam, PTM Sanjaya, PTMSI, maupun KONI Jatim, karena mereka suka bercerita. Aku ingat betul kesan-kesan mereka tentang Papiku.

“Pak Simon sangat membanggakan putri-putrinya. Yang satu di Singapore, dulunya di Belanda, satunya psikolog. Pinter-pinter, ya…” kata salah satu ibu dari Gudang Garam.

“Pak Simon itu suka ndagel, guyon, pokoknya kalau ada dia, suasana jadi rame. Diminta jadi MC dadakan langsung sanggup, diminta dekorasi bisa juga. Fleksibel. Seni-nya kuat, link-nya banyak kemana-mana. Perhatian juga sama orang lain. Kalau pas Lebaran sama tahun baru, saya selalu di-SMS ucapan selamat,” kenang seorang Bapak dari Gudang Garam juga.

“Pak Simon itu ibarat pahlawan di tenis meja Jawa Timur. Atlet-atletnya bisa seperti ini berkat beliau. Di Jawa Timur, andalan atlet pingpong kan dari Sanjaya, anak binaannya Pak Simon itu. Di PTM juga jadi Wakil Ketua. Sekarang kami harus mencari pengganti beliau, minimal ya harus yang sama dedikasinya seperti beliau, ga tau ada atau ga…” seorang pengurus dari KONI Jatim menyampaikan testimoninya.

“Ya, begitu itu, kalau orang baik, meninggalnya pun ga menyusahkan orang lain…” ucapan seorang Bapak yang langsung membuatku sangat terharu…

“Pak Simon dan teman-teman dari Gudang Garam sering baksos ke tempat kami. Pak Simon kan koordinatornya. Saya kenal baik betul, ga pernah kelihatan capek, suka menghibur...” kata seorang ibu perwakilan dari sebuah rumah sakit di Pare. Selama bercerita, dia banyak memandang peti jenazah Papiku sambil menghela nafas panjang. 

“Papamu meninggal dengan cara yang banyak diinginkan oleh orang: ga sakit apapun, ga menderita. Kamu harus kuat, Tuhan menyayangi Papamu…” ucap seorang Bapak yang mengaku satu ruangan kerja dengan Papiku semasa masih di Gudang Garam.

“Kamu pasti putrinya Pak Simon,” kata seorang ibu yang datang berombongan dengan teman-temannya kepadaku. Dari seragam yang dikenakannya aku tahu, mereka pasti dari bagian produksi di Gudang Garam. “Iya, Bu,” jawabku. “Wuih, persis banget sama Pak Simon!” katanya yang langsung diamini oleh teman-temannya, “Iya, jan fotokopi plek!” Kemudian setelah beberapa saat berbincang denganku, “Wah, kayak ngomong sama Pak Simon, ya…” katanya. “Beneran lho, ga cuma wajah, tapi cara ngomongnya juga, kamu mirip banget sama Papamu. Jadi inget Pak Simon lagi, nih…” timpal yang lain.

Aku sangat bersyukur. Papi, banyak yang sayang sama Papi…

Sampai tibalah hari Kamis, 23 Januari 2014. Rasanya berat sekali melepasnya diberangkatkan ke krematorium. Banyak pihak mengikutinya kesana. Di krematorium itu, untuk terakhir kali sebelum peti jenazahnya dimasukkan ke tempat kremasi, diadakan doa bersama. Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh orang lingkungan gereja menambah keharuan suasana. Aku tidak tahu (dan tidak peduli) bagaimana mukaku karena terus menangis. Hujan deras dan angin kencang terjadi saat peti jenazahnya dimasukkan ke pembakaran, namun tak lama kemudian, langit kembali cerah. Di halaman, kami melepaskan seekor burung merpati, sebagai tanda bahwa ia akan terbang tinggi mengangkasa, menemui Sang Pencipta…

Kremasi memakan waktu yang cukup lama. Esok harinya, kami kembali ke krematorium untuk mengambil abu jenazahnya. Abu jenazah dimasukkan dalam sebuah kendil kemudian diselimuti dengan kain merah, sementara abu dari petinya dimasukkan dalam sebuah kotak kardus. Umumnya, setelah dikremasi, abu jenazah dilarung di pantai atau laut, tetapi sekarang di Pohsarang ada tempat yang bisa digunakan untuk ‘menitipkan’ abu jenazah, bentuknya lemari kecil seperti loker begitu. Untuk mendapatkannya, harus menghubungi Keuskupan Surabaya dan membayar sejumlah harga. Aku adalah orang yang sangat menentang abu jenazah Papiku dilarung. Masa dilarung? Rasanya seperti 'membuang' begitu. Kalau dimakamkan, masih ada tempat untuk mengenang dan mengunjunginya. Tapi kalau dilarung, kemana aku kalau mau mengunjunginya? Bisa jadi Papiku sudah terombang-ambing di lautan dan jauh dari tempat awal melarung.

Tanggal 31 Januari adalah Imlek. Kata tradisi, menjelang Imlek tidak boleh melarung abu jenazah. Maka dari itu, oleh para ‘tetua’ dicarikan ‘hari baik’ yang disesuaikan pula dengan tanggal meninggalnya. Akhirnya terpilih tanggal 3 Februari. Jadi masih ada waktu sekitar 1 minggu sebelum memutuskan apakah abunya mau dilarung atau disimpan di Pohsarang. Sementara menunggu, abu tersebut disimpan di rumah duka Giki. Banyak pihak sudah memberi penjelasan kepadaku, intinya, “Dilarung itu bukan membuang, tapi dikembalikan ke alam, dalam hal ini ke laut, sama dengan dimakamkan ke dalam tanah. Itu kan cuma raganya yang tersisa, sudah jadi abu pula, tapi jiwanya sudah tidak ada. Kalau disimpan di Pohsarang, masa mau dibiarkan ‘terkurung’ gitu? Nanti setelah dilarung, kita bisa mengunjunginya di pantai atau laut mana saja, lalu nabur bunga disitu, sebagai simbolisasi, jadi tidak harus khusus datang ke Pohsarang. Pastinya kita bisa mengenang lewat doa, kita doakan terus…”

Tak henti aku berdoa tentang itu. Banyak hal kupikirkan. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk Papiku. Apakah keinginanku untuk ‘menyimpan’nya di Pohsarang baik baginya? Atau lebih baik membiarkannya bebas di alam? Tapi suatu hari tiba-tiba aku mengalami keikhlasan yang luar biasa, rasanya ada yang berkata di pikiranku: tidak apa-apa dilarung, karena tidak akan merepotkan siapa pun. Tuhan, apakah ini tanda dariMu? Papi, apakah ini kehendakmu?
Perlahan-lahan, aku mulai mengikhlaskan abu Papiku dilarung. Baiklah, mungkin ini memang tanda dari Tuhan dan yang terbaik bagi Papiku.

Segala persiapan dilakukan untuk mengiringi acara pelarungan tersebut. Akhirnya tanggal 3 Februari jam 8 pagi, kami pergi ke Pantai Popoh, pantai yang terletak sekitar 30 kilometer sebelah selatan Kabupaten Tulungagung. Beberapa saudara, kerabat, serta orang dari lingkungan gereja turut mengantar kami kesana. Puji Tuhan, perjalanan lancar. Sesampainya disana, tak lupa kami berdoa bersama dengan dipimpin oleh seorang asisten imam. Kami mau menyerahkan Papiku kembali ke alam ciptaan Yang Kuasa. Menghadap ke lautan lepas, dengan ombak tinggi yang berdebur-debur, perasaanku seperti diaduk-aduk. Aku (akan) membiarkan Papiku berada di tempat seperti ini?

Berdoa, berdoa, dan terus berdoa. Aku terus menguatkan diriku. Ketika tiba waktunya pelarungan, mendung tebal menggelayut lalu hujan lebat disertai angin kencang tercurah dari langit. Kendil berisi abu jenazah Papiku sudah berada di laut, begitu pula satu kardus hasil pembakaran petinya. Bunga yang kami taburkan terlihat mengambang di permukaan air. Aku menatapnya lama. Tuhan, aku ikhlaskan Papiku kembali ke pelukanMu…Terimalah ia dalam kerajaanMu… 
Tepat ketika upacara pelarungan selesai, seketika hujan lebat tersebut reda. Kejadian yang sama ketika waktu dikremasi dulu!

Kini, Papiku tinggal kenangan. Terakhir kali aku kontak dengannya lewat SMS tanggal 15 Januari. Beliau berkata, “Nanti kalau pulang dari sini (Bogor dan Jakarta), Papi mampir ke Surabaya, ya…” Janji yang tak akan pernah ditepatinya. Ah, sudahlah, aku mengikhlaskan janji tersebut, daripada membuat Papiku tidak tenang karena aku terus memikirkannya…

Teringat masa kecilku, kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Di sisimu terngiang hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu
Kau ingin ku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu, jauhkan godaan
Yang mungkin kulakukan dalam waktuku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak
Tuhan tolonglah, sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan, ku mampu penuhi maumu...
Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Kurindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati…
Tuhan tolonglah, sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan, ku mampu penuhi maumu...
(Yang Terbaik Bagimu ~~ Ada Band feat Gita Gutawa)

“Tidak ada yang perlu ditabahkan dari sebuah kematian, apalagi didukakan. Mati itu mulia, karena kembali ke keabadian yang sejati”

Selamat jalan, Papiku tersayang…
Augustinus Simon Sujono (24 Mei 1955 - 18 Januari 2014)
Papi akan selalu hidup dalam hatiku,
Beristirahatlah dalam damai,
Berbahagialah dalam kerajaan Allah,
Doaku selalu menyertaimu…