Aku
tidak akan pernah lupa hari itu, Sabtu tanggal 18 Januari 2014.
Hari
masih pagi, jam setengah 8. Aku sedang bersiap berangkat ke kantor, ketika
HP-ku berdering, dari Mami. Apa yang dikatakan Mami membuatku jantungku berdetak
kencang, terpaku. “Mami dapet telepon dari Pak Dartok, temennya Papi. Katanya
Papi lagi ada di Garut, pagi ini tadi tau-tau jatuh trus meninggal. Mami udah
telepon HP-nya Papi tapi ga aktif. Udah, kamu jangan terlalu percaya dulu, Mami
cari-cari info ntar kamu ta’kabari lagi.” Aku diam tak tahu harus berbuat apa…
Dengan
perasaan tidak karuan, aku berangkat ke kantor. Seperti biasa, setiap hari
Sabtu pagi sebelum memulai aktivitas, di kantorku ada persekutuan doa (PD).
Saudara-saudara seiman duduk bersekutu, menyanyi, memuji Tuhan, dan
mendengarkan firman yang dibawakan oleh salah satu dari kami. Air mataku
menetes, padahal selama ini aku tidak pernah sampai menangis saat PD. Tenanglah jiwaku, dalam naungan sayapMu…Menembus
awan kelabu, pandang kemuliaanMu…
Aku
harus tetap bekerja, entah apa yang kukerjakan, aku sudah benar-benar kalut.
Sekitar jam 09.30, telepon dari Mami menyampaikan kabar itu. Papiku benar
meninggal. Kabar yang sangat mengejutkan itu membuatku berpikir untuk cepat
pulang. Harusnya, setiap tanggal 20, aku harus laporan kepada General Manager
perihal presensi karyawan (rekap personalia). Langsung kukerjakan laporan itu,
karena aku tidak mungkin kembali ke kantor pada hari Senin hanya untuk
mengerjakannya. Setelah selesai, aku segera mengajukan izin kepada Manager
untuk pulang lebih awal, tapi aku tidak mengatakan alasan yang sebenarnya kalau
Papiku meninggal. Sejujurnya, aku masih menyangkal kabar itu, sebelum aku
melihat dengan jelas bahwa Papiku memang sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Manager sempat mengajukan ‘protes’, “Kemana lagi kamu, Arzy?” karena beberapa
hari sebelumnya aku sudah izin tidak masuk guna mengurus perpanjangan masa
berlaku SIM-ku.
“Ada
urusan keluarga, Bu…” kataku.
“Kamu
nanti dicari Bu Elva, lho,” lanjutnya. Bu Elva, General Managerku.
“Saya
usahakan Senin sudah masuk, Bu,” kataku. Maaf Bu, aku terpaksa mengatakan itu
–padahal kalau kabar itu benar, aku pasti tidak masuk– untuk membuat keadaan
terkendali, karena aku tidak mau bilang kalau Papiku meninggal. Aku
menyangkalnya.
Akhirnya
aku memperoleh izin dari Manager. Segera aku pulang ke kost, lalu packing. Sebelumnya aku sudah memesan
travel yang biasa kuandalkan untuk pulang ke Kediri.
Dalam
perjalanan pulang ke Kediri, aku menangis. Untung tempat duduk di sebelahku
kosong. Hal yang sangat mengusik pikiranku adalah kenapa Papiku sampai ada di
Garut? Seminggu sebelumnya, Papiku pamit hendak pergi ke Bogor dan Jakarta
untuk mengantar atlet-atlet tenis meja. Papiku memang salah satu pengurus PTMSI
(Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia) yang sangat aktif. Di Kediri,
pembinaan atlet tenis meja bernama PTM Sanjaya, dibawah grup PT Gudang Garam,
dan Papiku menjabat sebagai ketua bagian pembibitan dan pembinaan. Beliau pun tercatat
sebagai Wakil Ketua PTM Jawa Timur. Jadi Papiku memang sering keluar kota untuk
mendampingi anak didiknya mengikuti turnamen. Tidak hanya menjadi pengurus,
dari muda pun Papiku aktif bermain tenis meja. Jadi, kalau pamitnya cuma akan
ke Bogor dan Jakarta, kenapa bisa sampai ke Garut?
Jam
7 malam, aku tiba di rumah. Sudah ada beberapa orang kerabat berkumpul disana. Aku
sudah cemas sekali, aku terus berdoa semoga berita itu hoax belaka. Mamiku
beberapa kali meng-update info dari
rekan Papiku yang memberi kabar itu, karena mereka berangkat dari Garut sekitar
jam 11 siang. Perjalanan Garut-Kediri dengan naik ambulance memakan waktu 15 jam! Sembari menunggu, aku dan Mamiku
mempersiapkan barang-barang Papiku yang akan disertakan ke dalam peti jenazahnya-
kalau itu benar. Sekali lagi aku merasa tak percaya, karena masih sangat
berharap Papiku pulang dalam keadaan sehat.
Minggu
dini hari, hampir jam 00.30, kakakku datang dari Singapura. Begitu mendengar
kabar itu, dia pun bergegas mencari tiket dan berangkat pada pukul 8 malam.
Tiba di bandara Juanda, ia segera pulang ke Kediri. Sambil terus berbenah dan
berjaga-jaga, aku berdoa, benar-benar berpasrah pada Tuhan… Akhirnya yang kami
tunggu datang juga. Ambulance dari
Garut sudah sampai di “Giki”, nama rumah duka yang ada di Kediri (kalau di
Surabaya bernama “Adijasa”), pada pukul 3 pagi. Harap-harap cemas, aku,
kakakku, Mamiku, dan pembantuku berangkat kesana.
Sesampainya
disana, kami masuk ke ruangan dimana di dalamnya sudah ada “seseorang” yang
dibaringkan dengan ditutupi kain putih. Aku berkata pada diriku sendiri: harus
kuat. Ketika kain putih itu disingkapkan, ternyata benar, itu Papiku, terbujur
kaku, tidak bergerak. Tumpahlah tangis kami…
Berikutnya,
kami mengorek keterangan dari Pak Dartok, rekan Papiku yang mengantar itu. Dia
dan Papiku memang sudah satu minggu di Bogor dan Jakarta, namun ketika Pak
Dartok hendak ke Garut (rumah mertuanya), Papiku mau ikut. “Saya ikut Pak
Dartok aja, mau refreshing,” begitu
kata Pak Dartok menirukan ucapan Papiku waktu itu. Sabtu sekitar jam 6 pagi,
Papiku bangun dan menuju meja makan, hendak minum kopi, waktu itu semua belum
bangun. Tiba-tiba terdengar suara keras, ‘gubrak!’ Ketika dilihat, Papiku sudah
jatuh tersungkur di bawah meja. Orang-orang di rumahnya langsung menolong
dengan menekan dadanya (bantuan CPR), dan pada waktu itu masih teraba denyut nadinya.
Lalu Papiku segera dilarikan ke rumah sakit, namun Tuhan berkehendak lain. Jam
06.35, Papiku telah tiada…
Papiku
memang tidak menderita sakit apapun. Sebelumnya ia sangat sehat, tidak pernah
mengeluh bagian dadanya nyeri, ataupun sakit berat lainnya. Tapi beliau memang perokok,
dan –setahuku– tidak pernah check-up
kesehatan. Serangan jantung, the silent
killer itu menyebabkannya pulang ke rumah Tuhan. Tidak ada firasat, tidak
ada pesan-pesan terakhir, tidak ada hal-hal aneh menandai akan perginya beliau.
Sangat mendadak, memang. Kita tahu, banyak hal yang mempengaruhi terjadinya
serangan jantung. Gaya hidup, stress, pola makan, bahkan olahraga berlebihan.
Sering olahraga –bisa dibilang olahragawan– mungkin itu juga salah satu yang membuat
Papiku merasa selalu sehat, sehingga tidak merasakan ada perubahan sekecil
apapun pada kesehatannya. Ingat almarhum Adjie Massaid dan Ricky Johannes?
Kami
pulang pada pukul 4 pagi, setelah memercayakan jenazah Papiku pada pihak rumah
duka. Baru bisa tidur jam 04.30, tapi aku sudah bangun jam 05.30 dan segera
kembali ke rumah duka guna mengurus segala persiapan persemayaman. Setelah
dimandikan, jenazah dibaringkan dalam peti. Kata petugas yang memandikan
jenazah Papiku, tidak ada luka di sekujur tubuhnya, namun kuku-kuku jari
tangannya terlihat membiru. “Biasanya begitu kalau meninggalnya karena serangan
jantung.” jelasnya.
Di
beberapa bagian tubuh juga tampak lebam, namun itu merupakan efek formalin yang
disuntikkan –karena perjalanan jauh selama 15 jam akan membuat jenazah rusak
jika tidak diberi formalin– selebihnya tampak wajar. Kami memang tidak tahu
bagaimana kejadian yang sebenarnya, kami percaya pada penjelasan Pak Dartok.
Kami tidak melakukan otopsi pada jenazahnya, karena pada waktu itu benar-benar
tidak terlintas di benak kami bahwa mungkin saja Papiku menjadi korban
kejahatan orang lain. Dari rumah sakit di Garut itu ada surat keterangan
meninggal. Setelah kami tanyakan ke salah satu dokter, ia mengatakan, “Kalau
rumah sakit sudah mengeluarkan surat keterangan meninggal, berarti dokter yang
memeriksanya tahu bahwa meninggalnya secara wajar. Karena kalau dokter
mencurigai ada yang tidak wajar pada kematian seseorang, ia pasti tidak mau
mengeluarkan surat kematian, tapi meminta dilakukan visum lebih dulu. Visum itu
prosesnya lebih lama, tidak bisa keluar surat keterangan dengan cepat.”
Berdasarkan
keterangan dokter itu, satu hal yang membuat aku terus berdoa di samping
jenazahnya, “Kalau Papi meninggalnya wajar, aku ikhlas. Tapi kalau Papi
meninggalnya tidak wajar, mohon Papi beri petunjuk, kepada siapapun, entah
bagaimana caranya, tentang kejadian yang sebenarnya, tentang siapa yang
menjahati Papi…” Ya, aku percaya siapapun yang menjahati Papiku sampai
membuatnya seperti itu –kalau memang benar demikian– akan diberikan ganjaran oleh
Tuhan sendiri.
Minggu siang, sebelum peti ditutup, diadakan misa requiem (misa arwah). Itulah saat
terakhir aku melihatnya. Wajah Papiku terlihat tenang, seperti orang tidur. Jenazahnya
disemayamkan di rumah duka Giki selama 4 hari, 19-22 Januari 2014, dan
rencananya dikremasi pada tanggal 23 Januari. Aku mengajukan izin satu minggu
tidak masuk kantor. Managerku sampai kaget waktu kuberitahu alasannya. Iya,
semua orang kaget dengan kepergiannya yang begitu mendadak. Tidak ada yang
menyangka, bahkan sempat tak percaya.
Selama
disemayamkan, tamu yang melayat datang silih berganti, juga berbagai karangan
bunga dari banyak pihak. Sanak keluarga dan beberapa teman sukarela membantu.
Beberapa kali, orang dari lingkungan gereja dan Romo datang mengadakan doa
bersama. Aku paling suka saat menemani teman-teman Papiku yang datang, baik
dari Gudang Garam, PTM Sanjaya, PTMSI, maupun KONI Jatim, karena mereka suka
bercerita. Aku ingat betul kesan-kesan mereka tentang Papiku.
“Pak
Simon sangat membanggakan putri-putrinya. Yang satu di Singapore, dulunya di
Belanda, satunya psikolog. Pinter-pinter, ya…” kata salah satu ibu dari Gudang
Garam.
“Pak
Simon itu suka ndagel, guyon, pokoknya
kalau ada dia, suasana jadi rame. Diminta jadi MC dadakan langsung sanggup, diminta
dekorasi bisa juga. Fleksibel. Seni-nya kuat, link-nya banyak kemana-mana. Perhatian juga sama orang lain. Kalau
pas Lebaran sama tahun baru, saya selalu di-SMS ucapan selamat,” kenang seorang
Bapak dari Gudang Garam juga.
“Pak
Simon itu ibarat pahlawan di tenis meja Jawa Timur. Atlet-atletnya bisa seperti
ini berkat beliau. Di Jawa Timur, andalan atlet pingpong kan dari Sanjaya, anak
binaannya Pak Simon itu. Di PTM juga jadi Wakil Ketua. Sekarang kami harus
mencari pengganti beliau, minimal ya harus yang sama dedikasinya seperti
beliau, ga tau ada atau ga…” seorang pengurus dari KONI Jatim menyampaikan
testimoninya.
“Ya,
begitu itu, kalau orang baik, meninggalnya pun ga menyusahkan orang lain…”
ucapan seorang Bapak yang langsung membuatku sangat terharu…
“Pak
Simon dan teman-teman dari Gudang Garam sering baksos ke tempat kami. Pak Simon
kan koordinatornya. Saya kenal baik betul, ga pernah kelihatan capek, suka
menghibur...” kata seorang ibu perwakilan dari sebuah rumah sakit di Pare.
Selama bercerita, dia banyak memandang peti jenazah Papiku sambil menghela
nafas panjang.
“Papamu
meninggal dengan cara yang banyak diinginkan oleh orang: ga sakit apapun, ga
menderita. Kamu harus kuat, Tuhan menyayangi Papamu…” ucap seorang Bapak yang
mengaku satu ruangan kerja dengan Papiku semasa masih di Gudang Garam.
“Kamu
pasti putrinya Pak Simon,” kata seorang ibu yang datang berombongan dengan
teman-temannya kepadaku. Dari seragam yang dikenakannya aku tahu, mereka pasti
dari bagian produksi di Gudang Garam. “Iya, Bu,” jawabku. “Wuih, persis banget
sama Pak Simon!” katanya yang langsung diamini oleh teman-temannya, “Iya, jan fotokopi plek!” Kemudian setelah beberapa saat berbincang denganku, “Wah, kayak
ngomong sama Pak Simon, ya…” katanya. “Beneran lho, ga cuma wajah, tapi cara
ngomongnya juga, kamu mirip banget sama Papamu. Jadi inget Pak Simon lagi, nih…”
timpal yang lain.
Aku
sangat bersyukur. Papi, banyak yang sayang
sama Papi…
Sampai
tibalah hari Kamis, 23 Januari 2014. Rasanya berat sekali melepasnya diberangkatkan
ke krematorium. Banyak pihak mengikutinya kesana. Di krematorium itu, untuk terakhir
kali sebelum peti jenazahnya dimasukkan ke tempat kremasi, diadakan doa
bersama. Lagu-lagu yang dinyanyikan oleh orang lingkungan gereja menambah
keharuan suasana. Aku tidak tahu (dan tidak peduli) bagaimana mukaku karena terus menangis. Hujan
deras dan angin kencang terjadi saat peti jenazahnya dimasukkan ke pembakaran,
namun tak lama kemudian, langit kembali cerah. Di halaman, kami melepaskan
seekor burung merpati, sebagai tanda bahwa ia akan terbang tinggi mengangkasa,
menemui Sang Pencipta…
Kremasi
memakan waktu yang cukup lama. Esok harinya, kami kembali ke krematorium untuk
mengambil abu jenazahnya. Abu jenazah dimasukkan dalam sebuah kendil kemudian
diselimuti dengan kain merah, sementara abu dari petinya dimasukkan dalam
sebuah kotak kardus. Umumnya, setelah dikremasi, abu jenazah dilarung di pantai
atau laut, tetapi sekarang di Pohsarang ada tempat yang bisa digunakan untuk
‘menitipkan’ abu jenazah, bentuknya lemari kecil seperti loker begitu. Untuk
mendapatkannya, harus menghubungi Keuskupan Surabaya dan membayar sejumlah
harga. Aku adalah orang yang sangat menentang abu jenazah Papiku dilarung. Masa
dilarung? Rasanya seperti 'membuang' begitu. Kalau dimakamkan, masih ada tempat
untuk mengenang dan mengunjunginya. Tapi kalau dilarung, kemana aku kalau mau
mengunjunginya? Bisa jadi Papiku sudah terombang-ambing di lautan dan jauh dari
tempat awal melarung.
Tanggal
31 Januari adalah Imlek. Kata tradisi, menjelang Imlek tidak boleh melarung abu
jenazah. Maka dari itu, oleh para ‘tetua’ dicarikan ‘hari baik’ yang
disesuaikan pula dengan tanggal meninggalnya. Akhirnya terpilih tanggal 3
Februari. Jadi masih ada waktu sekitar 1 minggu sebelum memutuskan apakah
abunya mau dilarung atau disimpan di Pohsarang. Sementara menunggu, abu
tersebut disimpan di rumah duka Giki. Banyak pihak sudah memberi penjelasan
kepadaku, intinya, “Dilarung itu bukan membuang, tapi dikembalikan ke alam,
dalam hal ini ke laut, sama dengan dimakamkan ke dalam tanah. Itu kan cuma
raganya yang tersisa, sudah jadi abu pula, tapi jiwanya sudah tidak ada. Kalau
disimpan di Pohsarang, masa mau dibiarkan ‘terkurung’ gitu? Nanti setelah
dilarung, kita bisa mengunjunginya di pantai atau laut mana saja, lalu nabur bunga
disitu, sebagai simbolisasi, jadi tidak harus khusus datang ke Pohsarang.
Pastinya kita bisa mengenang lewat doa, kita doakan terus…”
Tak henti aku berdoa tentang itu. Banyak hal kupikirkan. Aku ingin memberikan yang
terbaik untuk Papiku. Apakah keinginanku untuk ‘menyimpan’nya di Pohsarang baik
baginya? Atau lebih baik membiarkannya bebas di alam? Tapi suatu hari tiba-tiba
aku mengalami keikhlasan yang luar biasa, rasanya ada yang berkata di
pikiranku: tidak apa-apa dilarung, karena tidak akan merepotkan siapa pun.
Tuhan, apakah ini tanda dariMu? Papi, apakah ini kehendakmu?
Perlahan-lahan,
aku mulai mengikhlaskan abu Papiku dilarung. Baiklah, mungkin ini memang tanda
dari Tuhan dan yang terbaik bagi Papiku.
Segala
persiapan dilakukan untuk mengiringi acara pelarungan tersebut. Akhirnya
tanggal 3 Februari jam 8 pagi, kami pergi ke Pantai Popoh, pantai yang terletak
sekitar 30 kilometer sebelah selatan Kabupaten Tulungagung. Beberapa saudara,
kerabat, serta orang dari lingkungan gereja turut mengantar kami kesana. Puji
Tuhan, perjalanan lancar. Sesampainya disana, tak lupa kami berdoa bersama
dengan dipimpin oleh seorang asisten imam. Kami mau menyerahkan Papiku kembali ke alam
ciptaan Yang Kuasa. Menghadap ke lautan lepas, dengan ombak tinggi yang berdebur-debur,
perasaanku seperti diaduk-aduk. Aku (akan) membiarkan Papiku berada di tempat
seperti ini?
Berdoa,
berdoa, dan terus berdoa. Aku terus menguatkan diriku. Ketika tiba waktunya
pelarungan, mendung tebal menggelayut lalu hujan lebat disertai angin kencang
tercurah dari langit. Kendil berisi abu jenazah Papiku sudah berada di laut,
begitu pula satu kardus hasil pembakaran petinya. Bunga yang kami taburkan
terlihat mengambang di permukaan air. Aku menatapnya lama. Tuhan, aku ikhlaskan
Papiku kembali ke pelukanMu…Terimalah ia dalam kerajaanMu…
Tepat ketika upacara
pelarungan selesai, seketika hujan lebat tersebut reda. Kejadian yang sama
ketika waktu dikremasi dulu!
Kini,
Papiku tinggal kenangan. Terakhir kali aku kontak dengannya lewat SMS tanggal
15 Januari. Beliau berkata, “Nanti kalau pulang dari sini (Bogor dan Jakarta), Papi mampir ke
Surabaya, ya…” Janji yang tak akan pernah ditepatinya. Ah, sudahlah, aku
mengikhlaskan janji tersebut, daripada membuat Papiku tidak tenang karena aku
terus memikirkannya…
Teringat
masa kecilku, kau peluk dan kau manja
Indahnya
saat itu buatku melambung
Di sisimu
terngiang hangat nafas segar harum tubuhmu
Kau
tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu
Kau
ingin ku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi
perintahmu, jauhkan godaan
Yang
mungkin kulakukan dalam waktuku beranjak dewasa
Jangan
sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak
Tuhan
tolonglah, sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku
terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah
dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan
ku buktikan, ku mampu penuhi maumu...
Andaikan
detik itu kan bergulir kembali
Kurindukan
suasana basuh jiwaku
Membahagiakan
aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk
wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati…
Tuhan
tolonglah, sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku
terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah
dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan
ku buktikan, ku mampu penuhi maumu...
(Yang
Terbaik Bagimu ~~ Ada Band feat Gita Gutawa)
“Tidak
ada yang perlu ditabahkan dari sebuah kematian, apalagi didukakan. Mati itu
mulia, karena kembali ke keabadian yang sejati”
Selamat
jalan, Papiku tersayang…
Augustinus
Simon Sujono (24 Mei 1955 - 18 Januari 2014)
Papi
akan selalu hidup dalam hatiku,
Beristirahatlah
dalam damai,
Berbahagialah dalam kerajaan Allah,
Doaku
selalu menyertaimu…