Senin, 27 Agustus 2012

Serba-Serbi Jualan Makanan


Awal Agustus lalu, di kota Kediri dibuka restoran baru. Namanya Warung Leko, dengan tagline “Spesialis Iga Sapi Penyet”. Tentu menu andalannya adalah iga, bisa dipenyet, digoreng tepung, dibakar, dibuat sup, atau dipanggang di hot plate. Selain iga, juga ada ayam, bebek, gurami, empal, babat, sumsum, bakwan, dan menu-menu Indonesia lainnya. Restoran ini merupakan franchise dengan berbagai cabang di Indonesia tapi berpusat di Surabaya, dan pemilik franchise di Kediri itu adalah saudaraku.




Membangun sebuah restoran yang cukup besar dan sudah punya nama di Surabaya merupakan tantangan berat bagi saudaraku. Apalagi karena ga ada background atau pengalaman usaha restoran sebelumnya. Berada di tengah kota yang cukup strategis, dekat dengan jalan besar dan perkantoran, restoran ini didatangi pembeli setiap hari. Sejak pembukaannya pun, restoran ini selalu rame ga kenal waktu. Saat libur lebaran yang lalu, aku menengok restoran itu dan mengorek cerita dari mereka.

Karena merupakan franchise, menu dan rasa masakannya harus otentik dengan aslinya. Jadi 25 orang karyawannya di-training dulu di Surabaya selama satu bulan. Untuk urusan racikan bumbu, ga perlu khawatir, karena semua dikirim dari Surabaya. Jadi pihak sini tinggal menyediakan bahan mentahnya. Urusan mencari supplier bahan juga ga mudah. “Kami sangat selektif memilih iga, karena kebanyakan supplier di sini menjual iga yang kecil dengan daging tipis, sedangkan di Surabaya iganya besar-besar,” cerita awalnya. Semua itu demi menyamakan kualitas dengan kepunyaan Surabaya.

Sebelum punya supplier tetap, mereka mengaku harus belanja sendiri ke pasar. Bangun jam 4 atau setengah 5 pagi, mereka berburu iga dan bahan-bahan lainnya. Lalu menyiapkan dan mengecek stok di dapurnya, briefing para pegawai, sampai restoran buka jam 11 siang.
Sekarang mereka sudah mempunyai supplier bahan mentah –khususnya iga– yang sesuai dengan standar restoran: iga besar-besar dengan daging tebal. Hmmm... Tapi mereka juga tetap belanja bahan tertentu, yang ga bisa diantar oleh supplier-nya.
Di dapur, mereka punya tiga freezer besar penuh berisi stok daging mentah, lalu ada freezer untuk sayuran, juga kotak-kotak berisi bahan-bahan lain. Cukup siap untuk memenuhi permintaan pengunjung.

Betapa ribetnya restoran saat awal-awal buka dulu! Nama besar Warung Leko, ditambah dengan banyaknya pilihan menu, rasa yang enak, dan harga yang pantas membuat antusiasme pengunjung sangat tinggi, apalagi menjelang waktu berbuka puasa. Begitu adzan terdengar, mereka pun “komplain” meminta makanannya segera dikeluarkan, padahal kan tetap harus menunggu antrian dan makanan ga bisa matang dalam sekejap. Akibatnya, mereka pun pontang-panting melayani pengunjung. Agak di luar dugaan rupanya. “Gila, saking ramenya, aku ga bisa istirahat. Sampai otakku ini hang. Ga nyambung kalau diajak ngomong, badan juga capek banget, wes ga bisa mikir pokoke...” kata saudaraku.

Saat sedang rame-ramenya pengunjung, aku mengintip ke dapurnya. Suasana dapur begitu ribut dan sibuk! Untung pembagian tugas sudah jelas, ada koki yang memasak, kemudian bagian makanan dan minuman semuanya dikerjakan tersendiri. Kualitas makanan dan minuman selalu dipastikan baik sebelum disajikan ke pengunjung oleh bagian Quality Control. Saudaraku juga sampai turun tangan ke dapur, mengawasi dan memastikan pesanan sudah dimasak dengan benar. Bagian yang nyuci piring pun ga berhenti bekerja karena piring-piring dan gelas kotor selalu menggunung. Ribetnya dapur dan para pelayan pun makin menjadi waktu ada pesanan tambahan, pesanan yang di-cancel, maupun pesanan yang diganti atau ditukar dengan menu lain. Fisik, mental, dan keterampilan benar-benar ditempa di sini.

Bersiaplah mengantri dan mencari meja kosong saat jam makan tiba. Pada jam makan siang, pegawai-pegawai kantoran datang berombongan. Oya, di sana juga tersedia ruang VIP untuk minimal 10 orang, jadi bisa makan sambil ngobrol lebih santai dan private. Pernah ada rombongan dari suatu bank yang makan dan ngobrol di situ sampai 4 jam! Tapi makanannya banyak yang sisa, “Mentang-mentang diklaim-kan ke kantor,” kata saudaraku geleng-geleng kepala.
Nah, kalau jam makan malam, giliran keluarga dengan anak-anak yang mendominasi restoran. Yang pesan take away juga banyak.

Para staf di dapur maupun waiter dan waitress-nya mengaku sangat kewalahan dan kekurangan tenaga, karena pesanan datang terus menerus. Sampai sekarang, restoran selalu rame dan beberapa pengunjung terlihat kembali lagi sambil membawa kenalan atau keluarga. Akhirnya saudaraku itu memberdayakan adik-adiknya, sepupu-sepupu, dan saudara lainnya untuk membantu di restoran, misalnya bagian kasir, atau ikut membantu hal yang ringan seperti mencetak nasi. Pokoknya mbantuin semua hal yang bisa dibantuin lah!
Hampir tiap hari Mamaku kesana untuk membantu. Katanya, pernah dalam sehari iga-nya terjual 100 kilo! Belum termasuk menu-menu lain. Luar biasa.

Namanya juga berurusan dengan pengunjung, otomatis harus siap menerima segala pertanyaan, aduan, dan keluhan. Paling sering sih kalau makanannya terlalu lama keluar. Macem-macem deh kelakuan pengunjung itu. Ada yang tanya bisa pesan untuk jam 8 pagi atau ga? Ya pasti ga bisa karena dapurnya belum siap. Ada kejadian pesan take away sup iga tapi bawa rantang sendiri, dengan pesan “Kuahnya yang banyak.”

Trus ada cerita lucu. “Waktu itu, ada 2 orang datang untuk reservasi, mau pakai ruangan VIP lagi! Alasannya, ‘Kok berisik, ya?’ Masa cuma 2 orang aja pakai reservasi?! Aku tolak soalnya kalau reservasi dan di ruang VIP minimal 10 orang. Eh ternyata dia marah-marah, katanya, ‘Apa bedanya? Kan kita sudah ngasih uang ini. Kalau gini kan mengecewakan customer..bla bla bla..’ Gayanya itu sok banget! Aku udah pengen ngamuk, tapi mau apa lagi selain cuma bisa bilang maaf, ga bisa. Dan akhirnya, mereka mau kok duduk di meja pojok situ. Tapi, ga tau apakah mereka itu pacaran, atau lagi pedekate, atau baru jadian, mereka duduk di situ 2 jam lebih! Gitu gaya mau pakai ruang VIP. Kalau kamu cuma 2 orang tapi sampai 2 jam di ruang VIP ya aku sing mumet, Le...” gitu curhatan saudaraku. Haha...

Sudah hampir satu bulan buka, mereka mengaku sekarang keadaan lebih terkontrol. Tentu masih banyak kekurangan di sana-sini, dan mereka juga terbuka terhadap masukan dari orang lain, demi peningkatan pelayanan dan kenyamanan. Mereka sudah mampu mengelola kepanikan yang terjadi saat rame-ramenya pengunjung.  Otaknya sudah ga se-hang dulu, tapi tetep masih sering hang, hahaha!
“Awalnya masih bisa bangun setengah 5 buat ke pasar, tapi hari berikutnya jadi jam 6, besoknya lagi jadi jam 7. Pokoknya molor terus soalnya ga kuat, badan capek banget,” katanya sambil menjelaskan ritme kerjanya. “Siap-siap di restoran mulai jam 9 atau 10, buka jam 11 siang, trus rame sampai malem. Jam 9 malem kan last order, tapi orang makan bisa sampai jam setengah 10 atau jam 10. Setelah tutup, cek stok di dapur, beres-beres, trus briefing pegawai bisa sampai sekitar jam 12 malem. Pulang ke rumah, mandi, tidur sekitar jam 1 pagi. Eh, jam 5 pagi alarm udah bunyi. Begitu terus tiap hari...” Yah, namanya juga cari uang...  Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian ^_^

Jualan makanan atau bisnis kuliner memang ga gampang. Terutama karena kita harus menyesuaikan dengan selera banyak orang. Produksinya memerlukan kreativitas, dan kualitas makanan menjadi prioritas. Konsistensi rasa makanan harus tetap dijaga sama enaknya setiap hari, begitu pula jika sudah mempunyai banyak cabang –seperti Warung Leko ini– cita rasa dan kualitas di semua cabang harus sama.

Setujukah Anda, jika kini makanan ga cuma sebuah kebutuhan untuk hidup, melainkan sudah menjadi semacam gaya hidup, khususnya di kota-kota besar. Persaingan jadi semakin sengit karena bermunculannya restoran-restoran baru, dengan menu-menu yang unik. Nah, kalau pandai melihat peluang dan menggabungkan dengan gaya hidup masyarakat, bisa jadi produk makanan kita disukai banyak orang.

Selain itu, tak kalah pentingnya adalah menyesuaikan dengan daya beli masyarakat. Lingkungan tempat bisnis harus diperhatikan. Jangan sampai harga makanan kita mahal, sementara daya beli masyarakat rendah.  Kacau deh bisnisnya.

Aspek lainnya yang perlu diperhatikan adalah pemasaran. Untuk itu kita perlu melakukan analisis pasar; apakah untuk kalangan menengah ke atas atau menengah ke bawah? Lalu bagaimana teknik pemasaran yang akan digunakan. Beruntungnya, sistem franchise jadi menekan biaya untuk promosi. Tanpa memasang iklan, spanduk, ataupun menyebar brosur, pembeli datang dengan sendirinya karena sudah familiar dengan namanya.

Apapun pilihan bisnis yang kita jalani, semuanya memerlukan passion, ketekunan, dan keuletan untuk sukses. Begitu juga dengan bisnis kuliner. Mulai dari bahan baku, alur produksi, penyajian, dan layanan harus direncanakan dengan matang. Ditambah inovasi berkelanjutan yang menekankan pada keunggulan produk, jangan abaikan faktor kebersihan, serta adanya penanganan resiko yang baik.

Jadi kalau ke Kediri, jangan lupa makan di Warung Leko, ya! Makanannya juga sudah terbukti enak-enak, harganya berkisar mulai Rp 8 ribu-Rp 40 ribu. Tempatnya di Jalan Ronggowarsito. Buka setiap hari jam 11 siang sampai jam 9 malam (weekdays), dan untuk Sabtu-Minggu tutupnya jam 9.30 malam. 
Hidup iga penyet!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar