Awal Agustus lalu, di kota
Kediri dibuka restoran baru. Namanya Warung Leko, dengan tagline “Spesialis Iga Sapi Penyet”. Tentu menu andalannya adalah
iga, bisa dipenyet, digoreng tepung, dibakar, dibuat sup, atau dipanggang di hot plate. Selain iga, juga ada ayam,
bebek, gurami, empal, babat, sumsum, bakwan, dan menu-menu Indonesia lainnya.
Restoran ini merupakan franchise dengan
berbagai cabang di Indonesia tapi berpusat di Surabaya, dan pemilik franchise di Kediri itu adalah
saudaraku.
Membangun sebuah restoran yang
cukup besar dan sudah punya nama di Surabaya merupakan tantangan berat bagi
saudaraku. Apalagi karena ga ada background
atau pengalaman usaha restoran sebelumnya. Berada di tengah kota yang cukup
strategis, dekat dengan jalan besar dan perkantoran, restoran ini didatangi
pembeli setiap hari. Sejak pembukaannya pun, restoran ini selalu rame ga kenal
waktu. Saat libur lebaran yang lalu, aku menengok restoran itu dan mengorek
cerita dari mereka.
Karena merupakan franchise, menu dan rasa masakannya
harus otentik dengan aslinya. Jadi 25 orang karyawannya di-training dulu di
Surabaya selama satu bulan. Untuk urusan racikan bumbu, ga perlu khawatir,
karena semua dikirim dari Surabaya. Jadi pihak sini tinggal menyediakan bahan
mentahnya. Urusan mencari supplier
bahan juga ga mudah. “Kami sangat selektif memilih iga, karena kebanyakan supplier di sini menjual iga yang kecil
dengan daging tipis, sedangkan di Surabaya iganya besar-besar,” cerita awalnya.
Semua itu demi menyamakan kualitas dengan kepunyaan Surabaya.
Sebelum punya supplier tetap, mereka mengaku harus
belanja sendiri ke pasar. Bangun jam 4 atau setengah 5 pagi, mereka berburu iga
dan bahan-bahan lainnya. Lalu menyiapkan dan mengecek stok di dapurnya, briefing para pegawai, sampai restoran
buka jam 11 siang.
Sekarang mereka sudah mempunyai
supplier bahan mentah –khususnya iga–
yang sesuai dengan standar restoran: iga besar-besar dengan daging tebal.
Hmmm... Tapi mereka juga tetap belanja bahan tertentu, yang ga bisa diantar
oleh supplier-nya.
Di dapur, mereka punya tiga freezer besar penuh berisi stok daging
mentah, lalu ada freezer untuk
sayuran, juga kotak-kotak berisi bahan-bahan lain. Cukup siap untuk memenuhi
permintaan pengunjung.
Betapa ribetnya restoran saat
awal-awal buka dulu! Nama besar Warung Leko, ditambah dengan banyaknya pilihan
menu, rasa yang enak, dan harga yang pantas membuat antusiasme pengunjung
sangat tinggi, apalagi menjelang waktu berbuka puasa. Begitu adzan terdengar,
mereka pun “komplain” meminta makanannya segera dikeluarkan, padahal kan tetap harus
menunggu antrian dan makanan ga bisa matang dalam sekejap. Akibatnya, mereka
pun pontang-panting melayani pengunjung. Agak di luar dugaan rupanya. “Gila,
saking ramenya, aku ga bisa istirahat. Sampai otakku ini hang. Ga nyambung kalau diajak ngomong, badan juga capek banget,
wes ga bisa mikir pokoke...” kata saudaraku.
Saat sedang rame-ramenya
pengunjung, aku mengintip ke dapurnya. Suasana dapur begitu ribut dan sibuk!
Untung pembagian tugas sudah jelas, ada koki yang memasak, kemudian bagian makanan
dan minuman semuanya dikerjakan tersendiri. Kualitas makanan dan minuman selalu
dipastikan baik sebelum disajikan ke pengunjung oleh bagian Quality Control. Saudaraku juga sampai
turun tangan ke dapur, mengawasi dan memastikan pesanan sudah dimasak dengan
benar. Bagian yang nyuci piring pun ga berhenti bekerja karena piring-piring
dan gelas kotor selalu menggunung. Ribetnya dapur dan para pelayan pun makin
menjadi waktu ada pesanan tambahan, pesanan yang di-cancel, maupun pesanan yang diganti atau ditukar dengan menu lain.
Fisik, mental, dan keterampilan benar-benar ditempa di sini.
Bersiaplah mengantri dan
mencari meja kosong saat jam makan tiba. Pada jam makan siang, pegawai-pegawai
kantoran datang berombongan. Oya, di sana juga tersedia ruang VIP untuk minimal
10 orang, jadi bisa makan sambil ngobrol lebih santai dan private. Pernah ada rombongan dari suatu bank yang makan dan
ngobrol di situ sampai 4 jam! Tapi makanannya banyak yang sisa,
“Mentang-mentang diklaim-kan ke kantor,” kata saudaraku geleng-geleng kepala.
Nah, kalau jam makan malam,
giliran keluarga dengan anak-anak yang mendominasi restoran. Yang pesan take away juga banyak.
Para staf di dapur maupun waiter dan waitress-nya mengaku sangat kewalahan dan kekurangan tenaga, karena
pesanan datang terus menerus. Sampai sekarang, restoran selalu rame dan
beberapa pengunjung terlihat kembali lagi sambil membawa kenalan atau keluarga.
Akhirnya saudaraku itu memberdayakan adik-adiknya, sepupu-sepupu, dan saudara
lainnya untuk membantu di restoran, misalnya bagian kasir, atau ikut membantu
hal yang ringan seperti mencetak nasi. Pokoknya mbantuin semua hal yang bisa
dibantuin lah!
Hampir tiap hari Mamaku kesana
untuk membantu. Katanya, pernah dalam sehari iga-nya terjual 100 kilo! Belum
termasuk menu-menu lain. Luar biasa.
Namanya juga berurusan dengan
pengunjung, otomatis harus siap menerima segala pertanyaan, aduan, dan keluhan.
Paling sering sih kalau makanannya terlalu lama keluar. Macem-macem deh
kelakuan pengunjung itu. Ada yang tanya bisa pesan untuk jam 8 pagi atau ga? Ya
pasti ga bisa karena dapurnya belum siap. Ada kejadian pesan take away sup iga tapi bawa rantang
sendiri, dengan pesan “Kuahnya yang banyak.”
Trus ada cerita lucu. “Waktu
itu, ada 2 orang datang untuk reservasi, mau pakai ruangan VIP lagi! Alasannya,
‘Kok berisik, ya?’ Masa cuma 2 orang aja pakai reservasi?! Aku tolak soalnya
kalau reservasi dan di ruang VIP minimal 10 orang. Eh ternyata dia marah-marah,
katanya, ‘Apa bedanya? Kan kita sudah ngasih uang ini. Kalau gini kan mengecewakan
customer..bla bla bla..’ Gayanya itu
sok banget! Aku udah pengen ngamuk, tapi mau apa lagi selain cuma bisa bilang
maaf, ga bisa. Dan akhirnya, mereka mau kok duduk di meja pojok situ. Tapi, ga
tau apakah mereka itu pacaran, atau lagi pedekate, atau baru jadian, mereka
duduk di situ 2 jam lebih! Gitu gaya mau pakai ruang VIP. Kalau kamu cuma 2
orang tapi sampai 2 jam di ruang VIP ya aku sing
mumet, Le...” gitu curhatan
saudaraku. Haha...
Sudah hampir satu bulan buka,
mereka mengaku sekarang keadaan lebih terkontrol. Tentu masih banyak kekurangan
di sana-sini, dan mereka juga terbuka terhadap masukan dari orang lain, demi
peningkatan pelayanan dan kenyamanan. Mereka sudah mampu mengelola kepanikan
yang terjadi saat rame-ramenya pengunjung.
Otaknya sudah ga se-hang dulu,
tapi tetep masih sering hang, hahaha!
“Awalnya masih bisa bangun
setengah 5 buat ke pasar, tapi hari berikutnya jadi jam 6, besoknya lagi jadi
jam 7. Pokoknya molor terus soalnya ga kuat, badan capek banget,” katanya
sambil menjelaskan ritme kerjanya. “Siap-siap di restoran mulai jam 9 atau 10,
buka jam 11 siang, trus rame sampai malem. Jam 9 malem kan last order, tapi orang makan bisa sampai jam setengah 10 atau jam
10. Setelah tutup, cek stok di dapur, beres-beres, trus briefing pegawai bisa sampai sekitar jam 12 malem. Pulang ke rumah,
mandi, tidur sekitar jam 1 pagi. Eh, jam 5 pagi alarm udah bunyi. Begitu terus
tiap hari...” Yah, namanya juga cari uang... Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang
kemudian ^_^
Jualan makanan atau bisnis
kuliner memang ga gampang. Terutama karena kita harus menyesuaikan dengan selera banyak orang. Produksinya
memerlukan kreativitas, dan kualitas makanan menjadi prioritas. Konsistensi rasa
makanan harus tetap dijaga sama enaknya setiap hari, begitu pula jika sudah
mempunyai banyak cabang –seperti Warung Leko ini– cita rasa dan kualitas di semua
cabang harus sama.
Setujukah Anda, jika kini
makanan ga cuma sebuah kebutuhan untuk hidup, melainkan sudah menjadi semacam gaya hidup, khususnya di kota-kota
besar. Persaingan jadi semakin sengit karena bermunculannya restoran-restoran
baru, dengan menu-menu yang unik. Nah, kalau pandai melihat peluang dan
menggabungkan dengan gaya hidup masyarakat, bisa jadi produk makanan kita
disukai banyak orang.
Selain itu, tak kalah
pentingnya adalah menyesuaikan dengan daya
beli masyarakat. Lingkungan tempat bisnis harus diperhatikan. Jangan sampai
harga makanan kita mahal, sementara daya beli masyarakat rendah. Kacau deh bisnisnya.
Aspek lainnya yang perlu
diperhatikan adalah pemasaran. Untuk
itu kita perlu melakukan analisis pasar; apakah untuk kalangan menengah ke atas
atau menengah ke bawah? Lalu bagaimana teknik pemasaran yang akan digunakan. Beruntungnya,
sistem franchise jadi menekan biaya
untuk promosi. Tanpa memasang iklan, spanduk, ataupun menyebar brosur, pembeli
datang dengan sendirinya karena sudah familiar dengan namanya.
Apapun pilihan bisnis yang kita
jalani, semuanya memerlukan passion, ketekunan,
dan keuletan untuk sukses. Begitu juga dengan bisnis kuliner. Mulai dari bahan
baku, alur produksi, penyajian, dan layanan harus direncanakan dengan matang. Ditambah
inovasi berkelanjutan yang menekankan pada keunggulan produk, jangan abaikan faktor kebersihan, serta adanya penanganan
resiko yang baik.
Jadi kalau ke Kediri, jangan
lupa makan di Warung Leko, ya! Makanannya juga sudah terbukti enak-enak,
harganya berkisar mulai Rp 8 ribu-Rp 40 ribu. Tempatnya di Jalan Ronggowarsito.
Buka setiap hari jam 11 siang sampai jam 9 malam (weekdays), dan untuk Sabtu-Minggu tutupnya jam 9.30 malam.
Hidup
iga penyet!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar