Minggu, 22 Desember 2013

Cinta yang Berhikmat

Haha… Akhirnya momen yang kupertanyakan itu benar-benar terjadi…

Berkaitan dengan blogku sebelumnya, “KetikaNepotisme dan Like or Dislike Berbicara, kali ini aku akan melanjutkan kisah yang terjadi pada dua manusia berinisial Mr.F dan Ms.R itu.

Sejak Ms.R dinyatakan tidak diperpanjang kontraknya, terjadi dilema antara mereka berdua. Profile picture dan status BBM yang dipasang oleh Mr.F menunjukkan kekecewaan, walaupun ga secara spesifik menyebutkan kenapa dan siapa yang dimaksud, tapi teman-teman disini yang membaca itu pasti udah tau maksudnya. Selama bulan November lalu, mereka terlihat masih bekerja seperti biasa. Ya, perlahan-lahan dalam hati sudah pasrah dan lebih bisa menerima keadaan.

Rupanya, keadaan yang terlihat baik-baik saja itu ga bertahan lama. Pertengahan bulan November, Mr.F menjadi pergunjingan di kalangan departemen BC karena kerjanya mulai ga fokus. Ia yang biasanya semangat dan loyal pada pekerjaannya, jadi mulai sering izin ga masuk karena sakit atau karena hal pribadi lain, jauh lebih santai, dan memantau operasional F&B seadanya aja. Akibatnya, beberapa kali sang OM memanggil dia secara pribadi. Ngajak diskusi, tanya-tanya apa ada masalah yang membuat dia jadi kehilangan semangat kayak gitu. Tapi Mr.F selalu menjawab ga ada masalah apa-apa. Lalu, ketika si OM ga berhasil membuka tabir tersembunyi Mr.F, akhirnya “yang lebih berkuasa” turun tangan. Mr.F pun menghadap Ibu GM. Aku ga tau persis apa yang mereka bicarakan, tapi pastinya ya membahas tentang hal itu.

Hari demi hari berlalu, hingga masuklah bulan Desember. Semakin diperhatikan, fisik Mr.F memang ada di sini, tapi hati dan konsentrasinya entah ada dimana. Suatu hari, beredar kabar yang mengatakan bahwa Mr.F akan resign! Aha! Dugaanku benar terjadi. Aku cukup surprise saat tau hal itu, apalagi para petinggi seperti OM dan GM. Apa sebenarnya yang sedang direncanakan oleh Mr.F? Motivasi apa yang melatar belakangi ia mengambil keputusan itu? Apakah semata-mata karena faktor ga ada Ms.R di kantor ini lagi?

Setelah sekian lama menyimpan ‘rahasia’, akhirnya Mr.F buka suara. Ia mengambil keputusan untuk resign karena melamar kerja di tempat lain, yaitu di sebuah hotel bintang 5 yang terkenal. Memang belum fix diterima, tapi udah hampir pasti. Jadi rencananya dia resign per tanggal 31 Desember. Keputusan yang  cukup berani, soalnya dia masih berada pada masa kontrak. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuknya baru akan berakhir tanggal 28 Februari 2014. Dengan ia mengajukan resign per 31 Desember, berarti ia harus membayar kepada perusahaan sisa masa kontraknya, yaitu sebesar 2 kali gajinya. Hmmm… Cukup besar lho! Mungkin baginya ga masalah, karena sebentar lagi dia kerja di hotel bintang 5, tentunya gajinya bakal lebih besar daripada disini.

Kami senang kalau ada teman yang punya niat untuk maju, tentunya kami ga akan menghalangi teman yang mau keluar karena memilih karir di tempat yang lebih baik.  Mr.F masih muda, punya potensi, dan kami yakin kalau ia akan terus berkembang di tempat barunya. Apalagi bagi setiap lulusan perhotelan, bekerja di hotel bintang 5 tersebut adalah “impian”. Beruntunglah Mr.F karena mampu menggapai impian tersebut.

Segera setelah Mr.F mengajukan resign, yang kelabakan adalah OM dan HRD. Ya iyalah, soalnya kami harus memilih orang yang menggantikan posisi F&B Manager. Maunya mengangkat supervisor disini, supaya ada jenjang karir, tapi juga pasang iklan lowongan agar ga menutup kemungkinan terjaring orang luar yang mumpuni. Mr.F pun laris “ditanggap” banyak orang untuk dimintai cerita: kenapa resign, bagaimana prosedur seleksi di sana, kapan mulai masuk disana, dan sebagainya

Kalau aku, tetep pada keingintahuanku dari awal: apakah Mr.F resign ini semata-mata mengejar karir di hotel bintang 5 itu atau karena terpengaruh oleh keluarnya Ms.R? Kalaupun memang betul ingin mengejar karir, kenapa harus buru-buru? Kan bisa menunggu sampai kontraknya selesai di akhir Februari, daripada harus membayar ke perusahaan sebesar sisa kontrak itu? Yang paling kecewa dengan keluarnya Mr.F adalah sang GM, karena beliau yang “membawa” Mr.F ke hotel ini. Pastinya beliau berharap agar Mr.F turut andil memajukan hotel ini. Beberapa kali Ibu OM dan GM menanyakan keseriusan Mr.F untuk resign itu. Ya semacam “menahan supaya ga resign” gitu lah… Tapi Mr.F tetep pada keputusannya. Akhirnya manajemen bisa menerima dan menghormatinya.

Seharusnya, ketika seseorang memutuskan untuk resign, dia harus tetap konsentrasi dan melakukan pekerjaannya sampai tuntas. Tapi Mr.F agaknya udah bener-bener ga fokus disini. Melihat hal itu, marahlah sang GM, “Buat apa dipertahankan di sini kalau sudah ga efektif begitu?”, sehingga beliau menyuruh Mr.F segera resign aja, per tanggal 15 Desember. Beliau udah ga mempermasalahkan hitungan “setengah bulan” Desember yang ditinggalkan Mr.F, padahal mestinya masih menjadi tanggung jawabnya. Semua file F&B, juga rincian tugas dan tanggung jawab sebagai FB Manager diserah terimakan kepada OM (sementara, karena belum dapat penggantinya). Jadi, Mr.F beneran resign per tanggal 15 Desember lalu... Ya, mendadak sekali.

Pasca Mr.F resign, keadaan operasional F&B tetap berjalan seperti biasa, karena baik di “Service” maupun “Kitchen” sudah ada supervisornya. Cuma si OM nih yang sedikit ada tambahan kerjaan lagi.

Suatu sore, sudah lewat jam pulang kantor tapi aku masih mengerjakan beberapa tugas yang belum selesai. Kantor sudah sepi, cuma tinggal aku dan si OM. Tiba-tiba si Ibu GM keluar dari ruangannya dan duduk di depan meja OM yang bersebelahan dengan mejaku. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, ternyata Ibu GM membahas tentang Mr.F (lagi). Begini katanya,
“Aku tanya sama F, ‘Sekarang umurmu berapa?’ Katanya 23. ’Kamu mau nikah umur berapa? Satu tahun lagi? Dua tahun lagi?’ ‘Ya enggak, Bu, paling umur 29 / 30-an,’ katanya. ‘Kamu sekarang umur 23, mau nikah umur 30. Sekarang kamu rela resign demi cewek itu. Tujuh tahun lamanya, cewek itu mau nungguin kamu terus ta?’ Aku ga habis pikir sama anak itu...” Eh, ternyata Ibu GM membahas hubungan Mr.F dengan Ms.R. “Kalau mau nikah setahun-dua tahun lagi ga masalah sekarang belain cewek itu, lha orang masih panjang jalannya. Gitu ngambil keputusan kok ga mikir panjang… Ya itu yang dibilang cinta itu buta, cinta tai kucing rasa coklat...” curhatnya.
“Yah, namanya anak muda, Bu…” kata si OM menanggapi.

Tiba-tiba Ibu GM beralih ke aku. “Makanya Arzy, kamu kalau masih pacaran, jangan lupa berdoa...”
“Oh, iya, Bu,” kaget juga aku, tau-tau dibilangi kayak gitu.
“Selama belum nikah, doa minta hikmat sama Tuhan, supaya motivasi mencintai itu ga salah. Bilang sama Tuhan, berikan aku hikmat supaya aku bisa mencintai orang lain seperti Engkau mencintai aku. Aku tau cewek itu (Ms.R –red) nangis-nangis katanya ga mau pisah sama F. Lha kalau gitu apa udah bener motivasi cintanya? Mestinya kan ya mendukung, kalau F mau berkarir di sini, bukan malah bikin kerjanya jadi ga fokus begitu… Si F juga gitu, malah mbelain yang cewek sampai kayak gitu kelakuannya. Kalau cinta yang berhikmat itu datangnya dari Tuhan, pasti nanti mencintai pasangan itu berlandaskan takut akan Tuhan, saling mencintai dengan jujur, untuk kebaikan, sama kayak cintanya Tuhan ke kita gitu… ”
Hmmm… sore-sore, dapat “wejangan” dari Ibu GM.

Cinta yang berhikmat. Memang aku belum pernah dengar istilah itu, tapi oke juga kok, dapat masukan baru untuk memperkaya pengetahuan dan iman.
Tuhan memang dapat menggunakan siapa saja, kapan saja, dimana saja, dalam keadaan apapun juga, untuk memberitakan kasihNya kepada umatNya. Contohnya ini, lewat kejadian Mr.F dan Ms.R dan lewat Ibu GM, aku jadi diingatkan untuk terus berdoa. Apalagi di masa-masa sebelum menikah ini, aku harus terus memantapkan diri untuk mencintai pasangan dengan motivasi dan tujuan yang benar, supaya aku ga salah langkah dan menyesal di kemudian hari. Pastinya aku juga menambahkan satu pokok doa lagi, yaitu supaya aku dapat cinta yang berhikmat…

“Tuhan, berikan aku hikmat supaya aku bisa mencintai orang lain seperti Engkau mencintai aku. Amin.”


Kamis, 07 November 2013

Ketika Nepotisme dan "Like or Dislike" Berbicara



Tersebutlah sebuah kisah nyata tentang anak manusia. Peristiwa ini terjadi dekat denganku, di lingkungan kerjaku. Sekarang aku kerja di sebuah hotel bintang 3 di Surabaya. Dengan jabatan yang lebih tinggi, gaji yang lebih baik, dan fasilitas yang memadai. Well, I think it’s good for my career. Menjabat sebagai HRD Supervisor, kerjaanku memang lebih banyak, dan otomatis dituntut jiwa kepemimpinan. Tapi itu sembari berjalan lah, karena aku juga masih baru kerja di dunia perhotelan, masih harus banyak belajar, karena sistem kerjanya beda dengan kantor pada umumnya.

Pembagian kerjanya ada beberapa departemen. Pertama, departemen Bussiness Centre (BC), tempat para staf berkumpul, seperti Marketing, Purchasing (bagian belanja/pembelian), Receiving (bagian penerima barang-barang), Inventory (bagian stok dan mencatat barang keluar-masuk), Operation Manager, General Manager, Accounting, Legal, Administrasi, juga HRD. Lalu ada departemen operasional yang terdiri dari Food and Beverage Product (FBP), Food and Beverage Service (FBS), House Keeping (HK), Front Office (FO), Maintenance Engineering (ME), dan Maintenance Building (MB). Hotel beroperasi 24 jam, sehingga ada sistem kerja shift, kecuali departemen BC. Jadwal kerja diatur oleh masing-masing kepala departemen, jadi HRD tinggal mencocokkan antara jadwal dengan “real presensi”-nya karyawan, soalnya pasti banyak yang tukar shift atau off.

Selain karyawan tetap dan kontrak, ada yang namanya karyawan Cassual, yaitu mereka digaji per hari. Ada pula Trainee. Nah, para Trainee ini diambil dari sekolah-sekolah kejuruan (SMK), diutamakan yang jurusan perhotelan. Anak-anak Trainee ini mengikuti On The Job Training (OJT) yang direncanakan oleh sekolah mereka, biasanya selama periode 6 bulan. Jadi mereka ga digaji karena bekerja sebagai bagian dari program pendidikannya, cuma diberi makan siang. Itulah yang aku rasakan, enak kerja di hotel, karena dapat makan siang di kantor. Makanannya bukan nasi bungkus, tapi prasmanan, ambil sendiri sepuasnya. Kenyataannya, anak-anak BC tempatku berada ini makannya banyak-banyak! Mereka ga malu untuk nambah. Ga cowok, ga cewek, makannya kalap semua! Awalnya aku masih malu-malu, tapi lama-lama ngikut juga, hahaha…

HRD disini lebih ribet. Total karyawan tetap dan kontraknya sih cuma 39 orang, tapi ditambah Cassual dan Trainee yang selalu berubah-ubah, belum lagi yang outsourcing juga banyak. Karyawan yang outsourcing itu driver, security, ME, gardener, dan pest control. Jumlah karyawannya jadi sekitar 100 orang.

Apa yang diutamakan oleh sebuah hotel? Tentu saja kepuasan tamu. Gimana tamu bisa puas dengan segala pelayanan dan fasilitas hotel lalu bisa kembali lagi dengan membawa kenalan serta sanak keluarganya, atau merekomendasikan hotel ke orang lain. Hotel tempatku bekerja tergabung dalam PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), dimana setiap 3 tahun sekali akan diadakan “klasifikasi” untuk menentukan kelayakan bintang 3 yang kami miliki. Kebetulan tanggal 27 Oktober lalu, klasifikasi itu dilakukan. Lima orang dari PHRI datang, dan yang mengikuti “sidang klasifikasi” adalah seluruh supervisor dan manager, termasuk aku, padahal aku baru masuk kerja 1 minggu! Wow, itu pengalaman yang sangat berharga. Tentunya sebelum itu aku diajari dulu apa aja yang harus HRD persiapkan untuk menghadapinya. Jadi aku bisa tau apa aja yang orang-orang PHRI itu lakukan di hotel. Puji Tuhan, hasilnya positif, PHRI memutuskan hotel kami masih layak menyandang bintang 3.

Itulah sekilas tentang kerjaan baruku. Berikutnya, aku ga cerita tentang bagaimana kerjaanku disini, tapi aku pengen sharing tentang yang aku kemukakan di awal: kisah nyata tentang dua orang manusia yang terjadi di lingkunganku ini…

Sebut saja namanya F. dia seorang Manager Food and Beverage. September 2012, dia masuk kesini dengan jabatan Supervisor. Tapi 6 bulan kemudian, ia naik pangkat menjadi Manager. Ternyata, menurut kesaksian HRD lama (yang posisinya aku gantikan ini), Mr.F ini masih punya hubungan kerabat dengan sang General Manager, yaitu keponakannya. Bukannya berpikiran negatif, tapi praktek nepotisme semacam ini memang jamak terjadi di perusahaan. Setelah aku lihat, ternyata Mr.F ini ga serta-merta naik pangkat hanya karena dia keponakannya GM, tapi dia memang layak dan punya kemampuan untuk itu. Evaluasi kinerjanya bagus, dia cerdas, pengetahuannya tentang food and beverage bagus, pintar masak, juga pintar mengatur anak buah. Wajar aja, soalnya dia lulusan S1 perhotelan di Malaysia, dan guess what: umurnya masih 23 tahun! Wow, anak muda yang energik, pokoknya oke lah!

Ceritanya, Mr.F yang charming ini menjalin hubungan dekat dengan seorang karyawati bagian Inventory, sebut saja namanya R. Aku ga tau sedekat apa hubungan mereka, tapi katanya jalinan asmara itu sudah berlangsung semenjak Ms.R masuk kerja di sini, yaitu 6 bulan yang lalu. Aku cuma pernah lihat beberapa kali mereka berdua ngobrol dengan serunya, si Mr.F juga sering mampir ke tempat kerjanya Ms.R. Lama-lama, hubungan mereka berdua sampai ke telinga si Ibu GM.

Sepertinya, Ibu GM ga suka terjadinya kisah kasih dua orang itu. Entah apa sebabnya. Apa mungkin karena perbedaan jabatan diantara keduanya? Ah, masa gitu aja dipermasalahkan? Entahlah. Padahal Ms.R itu ga jelek, lumayan manis kok. Seumuran dengan Mr.F dan masih single juga. Aku taunya waktu beberapa hari lalu, si Ibu GM bisik-bisik dengan Operation Manager (OM) yang duduknya di sebelahku, “Kok mereka mepet-mepet terus sih?” Si OM juga menanggapi dengan seru, “Iyo, pancet ae. Padahal wes ditegur…” Aku ga terlalu dengar mereka ngomongin apa lagi, yang pasti aku jadi tau, oh ternyata dia ga suka.

Hingga terjadilah peristiwa itu: evaluasi karyawan. Setiap 6 bulan sekali, karyawan akan dievaluasi kinerjanya. Bagi yang masih kontrak, hasil evaluasi menentukan apakah diperpanjang kontraknya (untuk 6 bulan berikutnya), diangkat menjadi karyawan tetap, atau diberhentikan (tidak diperpanjang kontraknya). Miss R masuk pada tanggal 1 Juni 2013, jadi kontraknya akan berakhir tanggal 30 November nanti. Akhir bulan Oktober lalu, ia dievaluasi. Aku yang merekap hasil evaluasi itu, dan terlihat memang evaluasinya kurang bagus. Si OM bilang ke aku, “Sebenernya R itu kerjanya bagus banget ya enggak, tapi juga ga jelek, jadi biasa aja. Tapi memang dia belum bisa memenuhi target untuk merekap semua inventory di hotel. Selama ini dia fokusnya cuma inventory bahan makanan punyanya kitchen aja, padahal yang namanya inventory itu semua bagian, termasuk apa aja yang ada di kamar, stok-nya house keeping, dan sebagainya. Lagian, staf di bagian itu terlalu banyak, padahal mestinya bisa ditangani oleh jumlah yang kurang dari sekarang. Pilihannya, memang harus ada 1 orang yang kita keluarkan. Yang lain, masa kerjanya sudah lebih dari 1 tahun. R itu yang paling baru, jadi keputusan manajemen, sepengetahuan dan persetujuan GM, kontraknya R ga akan kita perpanjang.”

Hmmm, oke kalau itu keputusannya. Sesuai peraturan, 1 bulan sebelum jangka waktu kontrak berakhir, perusahaan harus menyampaikan pada karyawannya. Tanggal 1 November yang lalu, si OM memanggil Ms.R dan menyampaikan hasil evaluasi. Plus, keputusan untuk “memberhentikan” nya per 30 November nanti dengan alasan utama “kinerjanya kurang bagus”. Tapi, dibalik keputusan dan semua alasan yang dikemukakan oleh manajemen atas itu, aku masih bertanya-tanya, mungkinkah alasannya hanya murni karena itu? Apakah ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhinya?

Analisaku, mungkinkah faktor “like or dislike” terjadi di sini? Faktanya jelas, Ibu GM ga suka keponakannya (Mr.F) dekat dengan Ms.R. Sebagai seorang yang mempunyai kedudukan di perusahaan, tentu Ibu GM berhak untuk mempekerjakan seseorang dan/atau memberhentikan karyawannya. Terlepas dari apapun alasan yang dikemukakan, semua menjadi mungkin sebab untuk “menutupi” maksud sebenarnya, yaitu ‘memisahkan’ mereka berdua. Aku ga tau mengapa, benar atau ga, ini hanya opiniku aja…

Nepotisme dan “like or dislike” di dunia kerja memang ga objektif. Aku juga pernah merasakannya. Aku pernah bekerja di perusahaan milik kakak sepupuku. Masuk ga pakai tes dan interview. Tapi aku ga langsung menduduki jabatan atas, waktu itu aku hanya staf biasa, staf editor. Awalnya memang terasa ga nyaman, dengan hubungan “adik sepupunya bos”, aku sempat takut dimusuhi dan dianggap sebagai mata-mata. Tapi syukurlah aku membuktikan bahwa aku layak untuk menduduki posisi itu. Aku memang masuk berdasarkan nepotisme, tapi aku bukanlah orang yang ga berkemampuan. Aku punya kapabilitas untuk bekerja dan mampu berkontribusi positif ke perusahaan. Tapi dibalik itu, ada ga enaknya juga kerja di tempat saudara. Walaupun teman-temannya baik, jadi ga bebas gitu rasanya.

Selain nepotisme, banyak sekali contoh “like or dislike” di kantor. Setiap pindah kerja, aku selalu nemu kasus seperti itu. Misalnya yang disukai atau dekat dengan bos akan cepat naik pangkat dan/atau naik gaji, sedangkan yang ga disukai atau dianggap mengancam otoritas bos akan ‘disingkirkan’ baik dengan cara halus, misalnya dipindah ke divisi/cabang lain, atau dengan cara seperti yang dialami Ms.R, yaitu diberhentikan. Melihat semua aspek yang terjadi di kasus Mr.F dan Ms.R, aku berkesimpulan pasti ada unsur “like or dislike” itu, walaupun mungkin sedikit sekali.

Gimanapun juga, keputusan manajemen ga akan berubah. Ms.R tetap diberhentikan dan entah apa yang akan terjadi pada Mr.F beserta hubungan mereka berdua. Memang ga ada yang bisa memungkiri terjadi peristiwa “jatuh cinta” dengan rekan kerja. Toh selama keduanya masih single, ga masalah kan? Lain lagi ceritanya kalau kedua insan yang terjerat “cinta lokasi” itu memutuskan untuk menikah. Kebanyakan perusahaan ga memperbolehkan sesama karyawan menikah, jadi akhirnya salah satu harus keluar. Kalau sudah gitu, penyelesaiannya ya tergantung keputusan kedua belah pihak.

Lokasi hanya akan memisahkan kedekatan raga, tapi siapa yang dapat menduga kedalaman hati seseorang? Mungkin aja Mr.F dan Ms.R tetap memutuskan untuk bersama walaupun salah satunya ga di kantor ini lagi. Masih banyak tempat di luar sana yang bisa menjadi ajang mereka bertemu. Malah enak kan, kalau biasanya ‘pacaran’ di kantor serba canggung karena batasan rekan kerja, di luar sana justru lebih bisa bebas. Hehehe…  Jadi, untuk sementara, ini yang bisa aku laporkan dari TKP tentang hal ini. To be continued
Kalau mungkin ada kejadian apa lagi, akan aku tuliskan selanjutnya.

Senin, 21 Oktober 2013

Farewell SAF!


Sabtu, 19 Oktober 2013, adalah saat aku harus bilang selamat tinggal pada rekan-rekanku di kantor, Sasana Artha Finance. Selama dua tahun 7 bulan bekerja di SAF, aku sudah mengalami banyak proses, pembelajaran, kebersamaan, dan segala suka-duka.

Flashback, Maret 2011
Aku diterima bekerja di SAF dengan jabatan HRD. Surprise juga saat dibawa kenalan keliling kantor oleh partnerku, Mbak Dwi, waktu itu. First impression: wow, orangnya banyak banget! Kok banyak cowoknya? Kok mukanya tua-tua? Hehe... Secara umum sih cukup terkesan dengan fisik kantornya, fasilitasnya oke, juga keberagaman manusia yang ada disini.

Beda dari kerjaanku sebelumnya sebagai editor dan penulis di media penerbitan buku, HRD merupakan suatu hal baru. Aku belajar mulai dari hal sederhana seperti meng-update dan mengelola data-data karyawan, merekap presensi dan izin, menghitung cuti, hingga yang agak ribet seperti memeriksa dan memproses klaim medical, klaim rumah sakit, klaim perjalanan dinas; memproses lembur; kontrak kerja karyawan (buat baru, perpanjangan, jatuh temponya); berbagai hal yang berhubungan dengan pihak luar seperti psikotes, tes kesehatan, dan asuransi; serta tugas-tugas lainnya. Aku juga belajar mengoperasikan program yang dimiliki kantor yaitu PGA (Personal and General Affairs) dan EMF (E-Multi Finance). Segala laporan yang berkaitan dengan ketenaga kerjaan diproses dari program itu. Aku rasa PGA memang membantu meringankan kerjaan, tapi bisa juga membuat sebel luar biasa kalau pas muncul lemotnya, bahkan eror!

Satu bulan bekerja, aku masih adaptasi, ternyata Mbak Dwi resign. Otomatis aku mengambil alih kerjaannya. Sebenernya Mbak Dwi menangani HRD dan GA, tapi mungkin karena aku masih baru, sementara kerjaan HRD dan GA cukup banyak, akhirnya si bos memilihkan rekan kerja buatku, yaitu Mbak Tri (jangan-jangan ntar kalau Mbak Tri resign, penggantinya Mbak Catur, lalu Mbak Panca, dan seterusnya. Hahaa...) Jadi aku fokus ke penanganan SDM dan hubungannya di dalam kantor, sedangkan Mbak Tri sebagai GA menangani hal yang berhubungan dengan SDM bersama pihak luar, seperti pajak, barang cetakan, akomodasi dan transportasi kalau ada training, dan sebagainya.

Sepeninggalan Mbak Dwi, bagai anak ayam kehilangan induk, aku sempat bingung karena kalau ga ngerti, nanya ke siapa? Masa dikit-dikit ngetok pintu ruangan si Bapak buat nanya? Tapi, di kantor juga ada personalia namanya Mbak Dina. Kalau aku dan Mbak Tri mengurusi karyawan SAF seluruh cabang di Indonesia, Mbak Dina ini khusus personalia kantor cabang Surabaya. Thanks God, masih ada Mbak Dina, jadi masih bisa tanya-tanya kalau ada yang ga dimengerti.

Hari demi hari berlalu di SAF, ternyata HRD ga se-ribet yang kubayangkan sebelumnya. Mungkin karena kerjaanku lebih ke arah administrasinya, filing dokumen, rekap-rekap, dan semacamnya. Aku punya banyak temen HRD (awalnya temen waktu kuliah), lalu sering sharing pengalaman kerja. Ada temenku yang tanya, “Kamu bisa ngitung Jamsostek? Prosesnya gimana gitu?”
“Ga bisa. Cuma daftarin awal aja.”
“Bisa payroll?”
“Ga bisa. Itu ditangani sama bos di Jakarta.”
“Interview? Psikotes?”
“Ga juga.”
“Wow, lha terus kerjaanmu apa?”

Hahaha... Aku tau temenku cuma bercanda. Tapi berdasarkan itu, aku jadi mikir, ternyata banyak hal ketenaga kerjaan yang belum aku pahami. Bayangan awalku, HRD itu dijadikan tumpuan penyelesaian setiap persoalan karyawan, seperti kalau ada pelanggaran kedisiplinan, rendahnya kinerja, ada yang mengundurkan diri, kekacauan perhitungan lembur, persetujuan gaji, serta keputusan-keputusan lain yang menyangkut kepegawaian. Akibatnya, HRD terkesan seperti “polisi”-nya karyawan, yang tugasnya mengawasi aduan/pelanggaran/tuntutan, lalu menertibkannya. Padahal sebenarnya, HRD harus jadi penengah antara kepentingan karyawan dengan perusahaan, harus punya tanggung jawab moral untuk mengatakan “yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah”, baik untuk perusahaan maupun karyawan. Atau HRD juga bisa menjadi seperti “Santa Claus”, yang disanjung karena memberikan anugerah berupa bonus atau kenaikan gaji? Sebaliknya, bila ga ada bonus atau kenaikan gaji, berarti juga “dosa” HRD? HRD pun bisa menjadi sasaran umpatan atau -parahnya- menjadi “musuh bersama”, bila ada kebijakan perusahaan yang merugikan karyawan. Hmmm, kayaknya selama di SAF aku ga pernah ngrasain itu semua deh, haha! Adem ayem aja nih kerjaan... Bukannya minta ada masalah, tapi nothing more challenging...

Kadang yang membuat agak repot adalah waktu ditelepon pihak bank, seperti ini:
“Halo, ini HRD, ya? Bisa minta alamatnya si X? Nomer telepon terbarunya? Soalnya dia ga bayar tagihannya. Di rumahnya ga ada, ditelepon ga aktif, bla.. bla.. bla..”
“Karyawan X sudah resign, Pak. Saya tidak tau ada update info terbaru dari dia.”
“Masa ga ada nomer teleponnya? Anda jangan bersekongkol menyembunyikan orang ini lho ya!”
Buseett, sapa yang mau menyembunyikan orang?? Lebay deh ni orang...
Atau pernah juga begini:
“Halo, ini HRD, ya?” Bilang sama karyawan Anda si Q, maling itu. Dia sudah ga bayar utang 3 kartu kreditnya, totalnya ada (xxx) juta! Gimana Anda sebagai HRD kalau karyawan Anda seperti itu? Bilangin ya, suruh transfer hari ini juga! Kalau ga, bla..bla..bla...”
Hadeh... “Iya, saya sampaikan,” kataku sama si orang bank itu.
Jadi itulah HRD yang ga cuma bisa direpoti sama karyawan (rekan kerja) sendiri, tapi juga ikut diomeli orang lain, padahal ga tau-menau masalahnya. Bukan repot mengurusi penyelesaian masalah antara si karyawan dengan pihak bank, tapi karena harus mendengarkan orang bank yang ngomel-ngomel di telepon, kadang masih aja ngotot ga percaya walau udah dibilangi.

Berkutat dengan hal yang sama setiap hari, pasti semua orang pernah merasa bosan sama kerjaannya. Ketika bosan melanda, aku mulai galau dan mempertanyakan "Aku: Editor atau HRD?" Untungnya kawan-kawan di sini baik, lucu-lucu, jadi masih ada hiburan dengan cara ngobrol lewat chating di YM, hehe... Lalu aku bersyukur karena diberi kesempatan untuk dinas ke Jakarta. Setidaknya udah membantu mengatasi rasa bosan karena tinggal di lingkungan yang baru. Tanggal 10-31 Desember 2012, aku bertugas di kantor Jakarta. Seru juga! Kenalan sama orang-orang di kantor sana, janji ketemuan sama temen lama yang kerja di Jakarta, jalan-jalan, mencoba makanan-makanan baru, asik deh pokoknya! Malah sebelum pulang, salah satu bos disana bilang, “Lho, pulang? Bukannya mutasi dari Surabaya kesini?”
“Ooo... Siap, Pak. Asal ada penyesuaian jadi berapa (gajinya)?” hehehe...

Januari 2013, mengapa hal ini terjadi: Mbak Dina resign! Waduuh... Tiada lagi tumpuan pertanyaanku. Setelah Mbak Dina resign, kerjaan personalia Surabaya jadi melimpah ke aku. Susyahnya, kenapa kantor ga cari pengganti? Aku jadi dobel-dobel kerjaan. Bukannya ga mau, bukannya mengeluh, tapi aku minta naik gaji 2x lipat dong! Hehehe... Syukurlah badai segera berlalu. Mulai April, salah satu karyawan dirotasi menjadi personalia, Mbak Maria. Aku udah cukup menguasai sistem kerja personalia, jadi bisa mengajari sekaligus mengembalikan kerjaannya Mbak Dina dulu ke dia.

Sampai terjadilah peristiwa "Kecelakaan Menjadi Pengubah Semangat" itu. Lebih dari dua bulan absen dari kerjaan, begitu masuk aku kaget oleh perubahan dari EMF ke program baru, Confins. Sistem kerja HRD juga berubah. Aku yang dulunya laporan cuma 1 bulan sekali di awal, sekarang bisa 3x: awal, tengah, dan akhir bulan. Form laporan berubah, sistem pembayaran klaim (medical, rumah sakit, perjalanan dinas) berubah, pokoknya sangat banyak perubahan. Butuh kesabaran ekstra saat menghadapinya, soalnya selain lebih ribet, aku kan juga belum fit 100%, jadi ga boleh terlalu capek. Bener aja, pasca perubahan sistem, kerjaanku jadi tambah banyak. Alurnya lebih panjang, menuntut follow up yang kontinyu. Ditambah sistem recruitment swadaya dimulai, berupa psikotes. Jadi mulai banyak ngetes calon karyawan. Belum lagi kalau dikomplain sama yang ngeklaim karena klaimnya ga dibayar. “Waduh, Pak/Bu, saya tuh udah laporan soal klaimnya. Lha yang transfer kan bukan saya, tapi pihak Jakarta. Jadi saya ga tau kalau belum dibayar sampai sekarang...”
Frustasi juga lama-lama... (=___=”!)

Alhasil, setelah 3 bulan menghadapi rutinitas yang lebih sibuk dan complicated, kesehatanku drop lagi. Dokter menyarankan aku untuk lebih banyak istirahat. Memikirkan dampak jangka panjang untuk kesehatan, akhirnya aku mengambil keputusan ini...
Sama seperti waktu memutuskan untuk resign dari kantor yang lama, keluar dari zona nyaman yang telah membesarkan semangatku selama ini sangatlah amat sulit! Ada ketakutan tersendiri. Tapi aku kan masih muda dan single (:but not available), jadi HARUS BERANI mengepakkan sayap dan menyongsong kehidupan baru di luar sana yang lebih menantang. SAF udah memberikan banyak ilmu dan pengalaman, dari aku yang ga tau apa-apa, belajar semua sistem HRD dari nol, sekarang udah tau gimana HRD itu, dengan segala kompleksitas yang ada.

Terima kasih buat kalian semua, baik yang di Surabaya maupun di cabang lain, atas kerjasama dan persahabatan yang kita jalin selama ini. Maafin ya kalau ada salah-salah kata dan perbuatan, karena kita ini ga sempurna (Sempurna itu hanya milik Gita Gutawa dan Andra & The Backbone).

Terakhir, aku mau sharing salah satu lagu favoritku. Aku tau keadaannya memang lagi ga mudah. Lagu ini selalu berhasil menyemangati aku, di kala aku jatuh dan merasa hopeless...

There’s a hero, if you look inside your heart
You don’t have to be afraid, of what you are...
There’s an answer, if you reach into your soul
And the sorrow that you know will melt away...
And then a hero comes along, with the strength to carry on
And you cast your fears aside, ‘cause you know you can survive!
So when you feel like hope is gone, look inside you and be strong!
And you’ll finally see the truth, that a hero lies in you!
Lord knows, dreams are hard to follow,
But don’t let anyone tear them away...
Hold on, there will be tomorrow,
In time, you’ll find the way!
(Hero ~~ Mariah Carey)
  
Tetep semangat yaa, teman-teman! ^_____^
Goodbye, SAF. You’ll always be in my heart...

Ini akan menjadi kenangan :)

Kamis, 10 Oktober 2013

Kejutan Dari Teman Baru

PERHATIAN! Demi melindungi privasi, tulisan ini merahasiakan beberapa info dan data dari para pelaku di dalamnya. Jika ada ketidakjelasan hari, tanggal, tempat, tujuan, dan hal-hal lain, ini merupakan kesengajaan.


Minggu lalu, aku punya teman baru. Berawal dari tujuan melengkapi beberapa syarat administratif, aku menuju sebuah kantor di Jalan Manyar itu. Kebetulan aku ditemui oleh seorang pria muda yang rapi, dan... well, aku akui dia good looking. Sebut aja namanya Sendy. Setelah ngobrol menanyakan hal-hal yang harus aku lengkapi, dia berjanji, ”Nanti saya hubungi kalau jadi, ya...” Lalu kami bertukar nomor HP agar lebih mudah berkomunikasi.

Beberapa hari berlalu tanpa kabar, aku follow up perkembangan administrasiku ke Sendy lewat SMS. Satu kali, ga dibales. Besoknya, aku kirim SMS lagi. Ga dibales lagi! Akhirnya setelah hampir ngirim SMS ketiga, dia menghubungi aku. Katanya, administrasi yang aku urus sudah selesai. Oke, lega, case closed.

Setelah itu, aku ga pernah nyangka kalau obrolan dengan Sendy bakal berlanjut. Perkiraanku sih, mungkin karena aku keukeuh banget nanya, dia jadi terkesan: gigih banget ini orang, haha... (aku nulis begini karena belum konfirmasi ke dia bener atau ga. Peace, Sen! Y^_^Y)
Dia memang baik dan sebab utama obrolan kami bisa nyambung adalah karena kami lulusan fakultas yang sama dan berprofesi sama. Awalnya aku manggil dia ”Pak” untuk menunjukkan penghormatan, padahal sebenernya dia ga pantes dipanggil ”Pak”. Mungkin dia cuma lebih tua 1-2 tahun dari aku. Suasana mulai cair saat dia bilang, ”Jangan panggil Pak ah, panggil aja Sendy”. Jadi kami biasa ngobrol lewat Whatsapp, bertukar info tentang kerjaan. Gimana kerjaanmu disana? Ngapain aja? Kalau aku di sini seperti ini, bla.. bla.. bla... Oh, kamu disana kayak gitu?
Yah, begitulah. Seru aja, karena pada dasarnya aku memang suka menambah teman, suka belajar dan memperluas pengetahuan, apalagi dari orang baru.

Lama-lama, obrolan kami ga cuma soal kerjaan lagi. Mulai seru-seruan, saling mengorek informasi pribadi. Suatu hari, dia bilang kalau bisa ilmu grafologi (membaca tulisan tangan dan tanda tangan untuk menentukan kepribadian seseorang). Wah, aku juga pernah baca tentang grafologi, jadi tau sedikit-sedikit. Bisa grafologi memang menunjang profesi kami yang banyak berhubungan dengan orang. Ilmu grafologi itu sangat menarik dan aku memang sudah lama mau belajar lebih lanjut, mau menekuni, juga karena profesi sebagai seorang Grafolog masih jarang ada di Indonesia. Tapi pertimbangannya, kursus grafologi itu mahal banget! Jadi selama ini aku cuma belajar dari internet. Nah, mumpung punya temen yang (ngakunya) bisa grafologi, apa salahnya belajar dari dia? Aji mumpung. Hehe...
Untunglah, dia juga punya pikiran yang sama dengan aku. Jadi kami mau belajar bareng. Dari situ nanti bisa sharing pengetahuan, karena yang aku tau belum tentu dia tau, dan sebaliknya, sekaligus meyakinkan: bener ga sih grafologi yang aku pelajari dari internet itu?

Pada hari dan jam yang telah disepakati bersama, kami ketemuan di suatu tempat. Ini bukan kencan, lho! Ini adalah ”belajar bersama”, hahaa... (kayak anak sekolah aja)
Minta kertas dan pinjam pulpen dari waiter-nya, aku tanda tangan, lalu minta dianalisa. Hasilnya:
Katanya aku punya ”sense of  art” yang tinggi >> Betul.
Katanya aku mempunyai kekaguman pada orang tua >> Betul.
Katanya aku punya emosi yang besar (bisa positif ataupun negatif), tapi masih bisa menyalurkan dengan baik dan dikontrol oleh rasio (misalnya apa yang aku lakukan untuk emosi ini) >> Betul.
Katanya aku masih sering mengingat masa lalu, dan walaupun masa lalu itu berakhir dengan baik, masih menyisakan ’sesal’ atau ’tanda tanya’ yang ga pernah bisa tuntas. Kalau berakhir dengan ga menyenangkan, bisa menimbulkan kekecewaan dan ’dendam’ yang harus dipenuhi >> Bisa jadi.
Katanya dalam hal menyelesaikan masalah, aku cenderung kurang mantap dan kurang stabil >> Kadang-kadang.
Katanya aku punya kebutuhan yang tinggi untuk dilindungi >> Betul.

Hmm, interesting! Dia ungkapkan lebih banyak dari itu, memang ga semua betul 100%, malah ada yang salah (ga aku cantumkan soalnya lupa). Aku kagum sama pengetahuannya. Waktu gantian aku coba analisa tanda tangannya, syukurlah ternyata info yang aku dapat dari internet itu cukup akurat. Walaupun aku ga bisa menjelaskan sebanyak dia, tapi dia mengakui kalau cocok dengan kepribadiannya. Seneng banget, soalnya belum terlalu kenal, jadi belum tau pribadinya seperti apa, tapi lewat tanda tangan bisa dianalisa dan lumayan sesuai. Keren! ^_^

Didorong oleh keinginan yang kuat untuk bisa, aku jadi minta diajari, bagian-bagian mana yang bisa membuat dia menganalisa pribadiku seperti itu. Sambil guyon, dia bilang, ”Belajar ini biayanya mahal, lho! Kamu bisa bayar ga?” haha...

Ternyata sama kayak aku, dia ga belajar grafologi secara khusus yang membutuhkan biaya mahal itu. Dia belajar grafologi dengan cara menggabungkan berbagai interpretasi dari tes grafis psikologi. Kalau kalian dipsikotes, pasti diminta menggambar sesuatu. Bisa orang, pohon, atau orang-rumah-pohon, bisa juga melengkapi gambar dari bagian yang sudah ada, kan? Nah, secara psikologi, semua gambar itu bisa diinterpretasikan sebagai kepribadian seseorang. Setiap tarikan garis, lengkungan, titik, arsiran, coretan, proporsi gambar, penekanan, bahkan bekas yang tertinggal akibat hapusan pensil pun bisa dianalisa. Wow, kalau dia bisa belajar sendiri dengan menggabungkan interpretasi dari tes grafis, itu mengagumkan, soalnya pasti ga gampang. Analisa tes grafis ga boleh sembarangan, harus hati-hati banget, teori harus kuat, dan pastinya grafologi juga gitu. Bahkan, para Grafolog yang aku tau, sampai pakai kaca pembesar dan penggaris waktu menganalisa tanda tangan atau tulisan seseorang. Keren! ^_^

Setelah Sendy menjabarkan bagian-bagian dari tanda tanganku berikut penjelasannya, aku masih penasaran pengen belajar. ”Ayo sekarang yang tulisan tangan. Kamu analisa tulisanku, ya...”
”Aku ga bisa kalau tulisan tangan. Aku bisanya cuma tanda tangan.”
Hah? Aku kaget waktu dia bilang gitu. Heran jadinya, bukannya itu satu kesatuan, ya? Mungkin karena dia belajarnya dari tes grafis aja, jadi cuma bisa menerjemahkan yang tanda tangan.
Kalau gitu, gantian aku yang beraksi, haha... Setelah dia nulis beberapa kalimat, aku coba menganalisanya. Yeah, akurat juga! Yaa, tetep ada yang salah, tapi sekali lagi, aku cukup bangga akan hasilnya. Hehehe...

”Kamu kok ga mau tau sih, dari bagian mana aku bisa analisa kayak gitu?” tanyaku saat melihat dia ga bereaksi antusias pengen tau.
”Ga, aku memang ga mau tau kok,” katanya tapi dengan tampang cengengesan.
”Oooh, curang. Ga mau bayar, ya?”
”Hahahaa...” dia ketawa.
Apa jangan-jangan emang dia udah bisa jadi ga perlu dikasih tau...

Terakhir, aku unjuk kemampuan lain: membaca garis tangan. Aku juga belajar otodidak, dari buku. Ketika telapak tangannya terentang di hadapanku, dari garis-garisnya aku melihat bahwa, "Wah, kamu orangnya tenang banget!”
”Iya, bener,” balasnya ngangguk-angguk.
Mencoba analisa yang lain lagi, ternyata kecenderungannya masih sesuai. Wah, lama-lama aku bisa jadi dukun beneran ini. Amiinn *eh?

Dua jam nongkrong, ngobrol, makan, dan belajar grafologi. Nice experience with new friend.
Aku bersyukur karena Tuhan merancangkan ini semua. Saat lagi antusias dengan grafologi, eh kenalan dengan orang baru yang ternyata bisa grafologi. Sendy orangnya asyik, seru, ramah, mbanyol, dan ga pelit berbagi ilmu. Walaupun dia lebih pinter grafologinya daripada aku (tapi dia ga mengakui kalau dia pinter), dia menerima masukan saat aku berpendapat, misalnya ”Setauku di tanda tangan itu ga boleh ada lingkaran, soalnya menunjukkan  sifat posesif atau over protektif...”
”Oya? Bisa jadi referensi tuh... Coba ntar aku cari tau juga.”

Jadi memang bener, jika diibaratkan diri kita adalah gelas yang penuh berisi air, ketika kita ga membiarkan air itu dituang ke tempat lain, kita ga akan pernah diisi dengan air baru. Lewat teman baruku, aku  menyemangati diri sendiri untuk menjadi manusia baik yang bermanfaat bagi orang lain.
Keep moving, keep challenging, keep improving!